Dasar Pertimbangan Mahkamah atas Putusan Penetapan Tersangka

Ketiga, Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan keuddukan yang sama di hadapan hukum. Keempat, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian exclusionary atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Kelima, bahwa keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun nyatanya, pranata praperadilan tidaklah berjalan maksimal sesuai fungsinya memerankan peran pengawasan, karena praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objekif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Keenam, Mahkamah berpendapat bahwa sejak diberlakukannya KUHAP pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejalan dengan peryataan Hakim Mahkamah, pada sidang Praperadilan Dahlan Iskan, terdapat empat orang berstatus Ahli dan satu orang sebagai saksi fakta yang dihadirkan oleh Jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Pada 31 Juli 2015, seorang ahli yakni Prof.Edward Omar Sharif Hiariej Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa penetapan tersangka perlu diuji karena hal tersebut menyangkut hak asasi manusia HAM, aturan KUHAP merupakan produk Orde Baru yang kurang menghargai HAM, Edward mencontohkan tidak jarang selama ini orang ditetapkan tersangka namun tidak diproses hingga akhirnya meninggal 86 . Inilah yang dimaksudkan oleh Hakim Mahkamah, bahwa problematika penetapan tersangka belum menjadi isu krusial pada saat pembentukan peraturan-perundang-undangn, sejalan dengan dinamisnya kehidupan masyarakat, maka kini objek penetapan tersangka perlulah menjadi hal yang diujikan. Adapun upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk-bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara 86 Lihat Saksi ahli jaksa justru dukung dahlan, www.kaltimpost.co.id- html, diakses pada 24 Agustus 20i5, pukul:16.09 wib. untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Ketujuh, Ditegakkan dan dilindunginya proses praperadilan adalah bertujuan agar tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangkaterdakwa dalam pemerikasaan penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan dan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Kedelapan, dinyatakan apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun pranata praperadilan dihadirkan sebagai upaya realisasi perlindungan hak asasi manusia yang jelas tekmaktub dan dilindungi dalam UUD 1945. Mahkamah berpendapat dimasukannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadialn adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Atas kedelapan pertimbangan tersebutlah, Mahkamah berpendapat bahwa dalil pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.

B. Implikasi Putusan MK No.21PUU-XII2014 terhadap Penambahan

Norma Penetapan Tersangka pada Objek Praperadilan Implikasi hukum secara substantif dari putusan itu adalah mengenai tindakan “lepas tangan” dari Mahkamah Konstitusi tentang presentase tiket keadilan. Permasalahannya adalah, apakah suatu putusan Mahkamah mampu mencerminkan keadilan, dalam arti sesuai dengan heterogenitas masyarakat Indonesia 87 . Pembahasan pada penilitian ini akan diuraikan menegnai implikasi dari penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-XII2014 merupakan 87 Sa msul Wahidin, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, h.200. salah satu upaya untuk mengisi kekosongan hukum sebelum diberlakukan penambahan norma dalam suatu undang-undang. Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyebabkan adanya implikasi pada penegakkan hukum acara pidana di Indonesia. Menurut analisa penulis, implikasi tersebut melingkupi tiga segi utama yakni implikasi terhadap penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi pada implementasi putusan di tengah masyarakat, dan implikasi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang pada dasarnya memiliki prinsip checks and balances. Pertama, implikasi putusan dari segi penegakkan hak konstitusional warga negara, sudah tidak diragukan bahwa negara adalah aspek utama dalam mengatur serta menata kehidupan masyarakat. Cara negara untuk mengatur warga negara adalah salah satunya dengan membentuk suatu aturan yang dinormakan dalam produk undang- undang, dimana undang-undang tersebut adalah aturan yang diserap dari norma dasar yakni UUD 1945, dan disebutlah undang-undang tersebut bersifat konstitusional. Ketika undang-undang tersebut mencederai hak konstitusional warga negara disinilah celah dimana warga negara memiliki hak untuk dapat memperjuangkannya melalui proses judicial review di peradilan konstitusi. Disini pulalah peran negara amat penting dalam memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan salah satu dalil pemohon yang memohon untuk dilindungi hak konstitusionalnya, akibat dicederai dengan tindakan aparatur penegak hukum yang telah menetapkan pemohon sebagai tersangka tanpa memperhatikan adanya due process of law. Mahkamah akhirnya pada putusan Nomor 21PUU-XII2014 mengabulkan „penetapan tersangka‟ sebagai salah satu objek praperadilan. Tujuan tindakan tersebut selaras dengan semangat dari dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution. Adapun alasan utama dari putusan tersebut yakni menegakkan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi negara. Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar sejalan dengan apa yang diuraikan sebelumnya dalam concurring opinion alasan berbedanya mengemukakan bahwa putusan Mahkamah adalah putusan yang memperhatikan hak asasi manusia sebagai hak dasar yang ia miliki, tidak hanya hak yang melekat kepada tersangka tersebut, namun juga melindungi hak-hak yang dimiliki oleh keluarga dari tersangka tersebut 88 dan tentu untuk memberikan kehati-hatian dari aparatur penegak hukum untuk tidak melakukan kesewenangan dalam melakukan penyidikan sehingga tidak hak warga negara yang terampas percuma. 88 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21PUU-XII2014 h.111. Oleh karena itu, alangkah tepat tindakan Mahkamah memutus bahwa Pasal 77 huruf a inkonstitusional, karena tentu tujuannya adalah mengembalikan nyawa dari undang-undang tersebut karena ternyata dalil dan bukti pemohon dapat membuktikan bahwa Pasal tersebut tidak lagi memiliki jiwa atau semangat perlindungan hak asasi manusia. Namun, penulis tetap menyoroti kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya merupakan negatif legislatif, yakni membatalkan suatu pasal yang diujikan, bukan justru menambahkan suatu norma atas perluasan yang dimohonkan oleh Pemohon 89 . Atas hal tersebutlah, penulis melihat adanya ketidaksingkronan apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, Implikasi terkait dengan implementasi putusan di tengah masyarakat, adapun pada umumnya dalam sebuah putusan peradilan konstitusi tidak boleh menjatuhkan putusan di luar yang diminta oleh pihak berperkara pemohon ultra petita 90 . Sebagaimana menurut Ahmad Dimyati Natakusumah anggota DPR fraksi PPP pada sidang pengujian UU No.8 Tahun 2011 perubahan terhadap UU No.24 Tahun 2003 tentang 89 Pendapat penulis sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam Concurring Opinion Alasan berbeda bahwa Patrialis Akbar mendukung dan setuju dengan putusan Mahkamah dalam perkara tersebut, namun akan lebih tepat jika hal ini diserahkan pada pembentuk Undang-Undang untuk menentuka pilihan objek-objek praperadilan asal sejalan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.[Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21PUU-XII2014 h.113. 90 Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Bab III dalam skripsi ini, bahwa putusan ultra petita atau suatu putusan yang melebihi dari apa yang dimohonkan petitum adalah suatu putusan yang berada pada rezim hukum pidana dan hukum perdata.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

0 4 73

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJ.

0 1 1

TESIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

0 0 169

IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA Baktiar Ihsan Agung N 148040013 Hukum Pidana ABSTRAK - IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN

0 0 8