Tekad yang Bulat Disertai Tawakkal

guru. Konsekuensinya, peserta didik tidak memahami dengan baik menguasai pelajaran yang diajarkan oleh guru yang berperangai kasar. Kelembutan dalam mendidik melahirkan kehangatan yang dirasakan oleh setiap peserta didik. Dalam perspektif psikologi pendidikan, jika seorang guru tidak memiliki kehangatan dan kontrol sebagai pola asuhnya, guru tersebut adalah seorang yang lalai negligent. Akibatnya peserta didik menjadi nakal, tidak patuh, cepat frustasi, dan tidak mampu mengendalikan diri. 52 Guru yang berperilaku keras dan berhati kasar, telah menjadikan lembaga pendidikan laksana penjara di zaman penjajahan bahkan seperti di neraka, sebagai tempat penyiksaan seolah-olah peserta didik sebagai terdakwa kriminal atau sebagai pendosa besar yang tak dapat diampuni. Kondisi seperti ini pastinya membuat peserta didik enggan ke sekolah dikarenakan takut dan gelisah jika mendapatkan perangai guru seperti itu. Inilah menurut Kurt Singer 2000, sebagai schwarze paedagogik pedagogi hitam. 53 Bahwa guru berada pada garda terdepan dalam dunia pendidikan. Sehebat apa pun kurikulum yang dirumuskan oleh para pakar, tentulah dibutuhkan guru yang memiliki kecerdasan ruhani, dengan pola asuh kelembutan penuh kasih sayang dalam mendidik. Sudah saatnya untuk menciptakan lembaga pendidikan yang ramah lingkungan bagi peserta didik, guna menghasilkan kader-kader bangsa terbaik dengan sosok pribadi yang mumpuni yakni taat beragama yang dilandasi kekuatan iman dan takwa, serta pribadi yang santun berkarakter. Sosok guru dengan pola asuh kelembutan, dapat diharapkan untuk menjadikan sekolah sebagai surga bagi peserta didik, tempat mereka menemukan kegembiraan dan kebahagiaan dalam proses penggemblengan bakat serta menemukan jati diri. 52 Ahmad Baedowi. “Pendidikan Agama, Budaya Sekolah dan Isu Terorisme Mengkritisi Peran Departemen Agama dalam Pengelolaan Pendidikan” dalam Marwan Saridjo Penyunting. Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: DPP GUPPI bekerja sama dengan RajaGrafindo Persada dan Yayasan Ngali Aksara. 2009. h. 74 53 Rumadi. Sekolah: Surga atau Neraka. Inovasi Kurikulum: Menakar Kurikulum Berbasis Kompetensi. 01. 2003. h. 5 Dengan demikian, mendidik adalah tugas yang mesti dilakukan dengan kasih, mengapa harus dengan kekerasan?

2. Jadilah Sosok Guru Pemaaf ‘aafiina ‘aninnaas

Guru yang berhati lembut, dan tidak berperangai kasar lagi berhati keras, memandang setiap kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik adalah sebuah kewajaran dalam proses pembelajaran untuk menuju perkembangan kualitas diri. Dalam konteks pendidikan, teringatlah sebuah ungakapan bijak: “siapa yang takut salah, maka ia berada dalam suatu kesalahan”. Artinya, takut salah, maka takut berbuat. Misalnya, dalam pelajaran membaca al- Qur‟an yang membutuhkan praktek, mau tidak mau, setiap peserta didik diharuskan untuk berlatih membaca. Jika mereka takut berlatih karena takut salah, alasannya mungkin malu kepada teman-temannya atau takut dimarahi oleh gurunya, maka sampai kapan ia mampu membaca Al- Qur‟an dengan baik? Justru dari kesalahan itulah, seseorang akan mengetahui cara memperbaiki agar melakukan hal yang lebih baik tanpa mengulangi lagi kesalahan yang pernah ia lakukan. “Cobalah dan perhatikan niscaya engkau mengetahui”, begitulah pepatah bijak. 54 Namun tidak dipungkiri, emosi guru sering kali terpancing oleh kenakalan peserta didik yang dinilai telah melampau batas. Lalu secara sadar atau tanpa sadar, ekspresi kemarahan terlihat pada raut wajah. Pada tingkat ini masih dipandang suatu kewajaran yang bersifat manusiawi. Di sinilah dibutuhkan pengendalian diri, untuk tidak meneruskan hal manusiawi tersebut yang akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang berdimensi ruhani. Jangan sampai emosi menguasai jiwa, maka dengan sikap pemaaflah yang akan menundukkan gejolak amarah dalam dada. Memaafkan laksana air yang memadamkan api kemarahan. Sehingga tidak ada cara lain, kecuali jadilah sosok guru pemaaf. Walau pun memang berat untuk menjadi seorang pemaaf. 54 Pepatah; ئطخلا ف ئطخلا ف ف خ م “siapa yang takut salah, maka ia berada dalam suatu kesalahan ”, dan ًفر ع كت طحا رج “cobalah dan perhatikan niscaya engkau mengetahui” tidak berlaku untuk suatu perbuatan yang benar-benar salah menurut etika umum. Memaafkan bukanlah berarti membiarkan kesalahan yang dilakukan secara berulang-ulang. Ini yang disebut, “memaafkan yang tidak bertanggung jawab ”. Hal yang dikhawatirkan adalah jika peserta didik secara sengaja melakukan kesalahan tanpa beban, karena mengetahui gurunya seorang sosok pemaaf, maka dibutuhkan seni dan kiat untuk mengatasinya. Lagi-lagi hanya mereka yang memiliki kecerdasan ruhanilah yang mampu menemukan seni atau kiat untuk memaafkan dengan penuh kearifan dan bertanggung jawab. Untuk mengatasi hal tersebut, setidaknya terdapat beberap cara untuk memaafkan kesalahan peserta didik secara arif dan bijaksana serta penuh tanggug jawab, adalah: a. Menasihatinya dengan kelembutan penuh kasih sayang. Memilih kata-kata yang tepat berupa sindiran, tidak secara terang-terangan sehingga tidak menyinggung perasaan. Karena ungkapan secara terang-terangan justru merusak wibawa yang menghijabi diri gurunya. 55 Ungkapan secara terang-terangan saja tidak diperbolehkan, apalagi kata-kata yang mengiringi kemarahan dan bentakan yang menciutkan hati serta melemahkan mental peserta didik, haruslah dihindari. Misalnya kata-kata yang menyinggung perasaan: “kamu anak kampung, anak miskin, tidak tau diri sudah disekolahkan gratis, tapi masih saja membandel, mau jadi apa kamu hah ?”. b. Jangan perlakukan peserta didik seperti para penjahat dengan menghukum mereka walau pun bertujuan untuk menimbulkan efek jera. Jangan ada hukuman mengandung kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan guru sekalipun untuk tujuan pendisiplinan. 56 c. Bagaimana kalau sudah dilakukan berbagai cara tanpa adanya kekerasan, tetapi peserta didik belum juga menyadari dan tetap membandel? Maka jawabannya adalah mendoakan mereka. 55 Al-Ghazali, op. cit., h.. 33 56 “Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”. Warta KPAI. Edisi III, 2013. h.5