„Abdullah Al-Qurasyi menjawab: “Meninggalkan semua penyebab yang tidak dapat menyampaikan kepada Allah Swt.
49
Dengan demikian,
lemah lembut,
memaafkan, mendoakan,
musyawarah, dan tawakkal, adalah lima asas kepribadian untuk mencapai tingkat kebajikan tertinggi, sehingga memperoleh kasih sayang Tuhan.
D. Aspek-aspek Kecerdasan Ruhani Guru
Untuk memahami kecerdasan ruhani sebagai anugerah Allah berdasarkan QS. 3Ali-
„Imran: 159, adalah sangat jelas terbaca pada ayat ini yang diawali dengan redaksi,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah...”. Rahmat Allah tersebut telah menghiasi kepribadian Rasulullah yang agung,
sebagai tauladan bagi segenap manusia yang beriman kepada Allah. Kepribadian yang dilandasi keimanan dan melahirkan perilaku akhlak mulia,
adalah manifestasi dari kecerdasan ruhani. Jadi kecerdasan ruhani inilah yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam mendidik. Adapun aspek-aspek
kecerdasan ruhani berdasarkan tafsir QS. 3Ali- „Imran: 159, adalah sebagai
berikut:
1. Lemah Lembut terhadap Mereka linta lahum
Al- Qur‟an adalah petunjuk bagi segenap umat manusia. Mengambil
pelajaran dari kisah Musa dan Harun, serta Muhammad Saw. yang diperintahkan oleh Allah untuk bersikap lemah lembut, maka sikap ini
menjadi contoh yang baik uswatun hasanah bagi setiap guru dalam memperlakukan peserta didiknya.
Kelembutan merupakan manifestasi dari kecerdasan jiwa yang terpancar oleh cahaya kecerdasan ruhani. Jiwa yang cerdas adalah manusia
yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi serta menghindari impuls
50
yang meledak-ledak.
49
Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya ’ ‘Ulumuddin, Terj. oleh Bahrun Abu Bakar. L.C.
cet. I Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, h. 464
50
Impuls bermakna: Rangsangan atau gejolak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dorongan hati.
Tindakan dan sikap itu muncul dari dorongan jiwa yang sangat peka dan sensitif pada lingkungan.
51
Ketiadaan kelembutan, akan melahirkan perilaku kasar yang muncul dari hati yang keras. Jika guru berlaku kasar dan bertindak dengan hati keras
dalam mendidik, maka sebagaimana kelanjutan ayat yang ditafsirkan ini,
tentulah mereka peserta didik akan menjauhkan diri dari guru yang kasar.
Hati dan jiwa peserta didik masih muda dan relatif masih suci, dalam proses perkembangannya untuk menuju tahap pendewasaan diri, sangatlah
penting untuk dibimbing dengan pola asuh kelembutan, bukan dengan kekerasan. Mereka masih muda dan belumlah terkontaminasi dengan
perilaku-perilaku yang mengakibatkan dosa besar. Karena itu apa alasan yang tepat untuk memperlakukan dengan kasar bahkan memperagakan kekerasan
kepada peserta didik secara fisik mau pun secara kejiwaan? Padahal Musa dan Harun diperintahkan oleh Allah untuk berbicara dengan ucapan yang
lemah lembut kepada Fir‟aun. Dengan kata lain, Fir‟aun yang mungkin sejak
zaman Nabi Musa hingga kini, tidak ada seorang pun yang menandingi dosanya bahkan Fir‟aun mengaku dirinya tuhan, hal itu saja, ia masih
diperlakukan lemah lembut, maka mengapa para guru selalu bersikap kasar kepada peserta didik yang masih relatif bersih dari dosa besar? Begitu pula
sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak
pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi Saw. Perangai guru kasar akan membentuk perilaku negatif siswa secara
lahiriah dan kejiwaan. Secara lahiriah, murid enggan mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru yang berperangai kasar, dengan cara selalu
membolos. Sedangkan secara kejiwaan, mesikipun secara fisik selalu mengikuti pelajaran tidak membolos, namun dalam kondisi jiwa yang
tertekan, murid tidak bebas bersikap dalam hal bertanya atau latihan menyampaikan pikiran, karena takut salah yang hanya memancing kemarahan
51
Rif‟at Syauqi Nawawi. Kepribadian Qur’ani, Cet. I, Jakarta: WNI Press, 2009. h. 98