Bermusyawarah dengan Mereka wa syāwirhum
Bahwa setelah adanya kesepakatan antara guru dan murid, maka dapat dimulai proses pembelajaran. Dalam perjalanannya adalah lumrah bahwa
watak seorang murid selalu ingin mengetahui penasaran tentang hal-hal yang belum saatnya untuk dijelaskan. Menunjukkan sikap kritis adalah hal
yang wajar, selama dalam etika sopan santun penuh tanggung jawab, dan yang terpenting tetap hormat serta patuh kepada guru. Nabi Musa
mempertanyakan sikap dan perbuatan gurunya yang ia anggap suatu kesalahan, suatu yang mungkar, dan sia-sia jika tidak meminta upahbayaran.
Tetapi dengan kearifan yang tinggi, Nabi Khaidir berkata: Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
dengan aku. Inilah bentuk peringatan yang halus, lembut penuh kasih sayang, bukan dengan melarang-larang secara kasar yang hanya akan
melemahkan semangat dan motivasi muridnya untuk belajar. Tetapi cukup dengan mengingatkan kesepakatan yang telah dibuat pada permulaan sebelum
dimulai proses pembelajaran. Kemudian secara tulus, Nabi Musa pun menyadari kesalahannya, dan memohon kepada Nabi Khaidir untuk tidak
menghukum agar masih ada kesempatan untuk melanjutkan aktivitas belajar, sebagai bentuk permohonan maaf. Kemudian Nabi Musa berkomitmen, jika
masih melakukan kesalahan yang sama sampai batas 3 kali kesalahan, maka ia rela berhenti atau diberhentikan sebagai murid.
ﰀ
78. Khaidir berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. 79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.
80. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya kepada ibu bapaknya.
82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan
bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
QS. 18Al-Kafi: 78-82
Sudah saatnya Nabi Khaidir menjelaskan perkara-perkara yang membuat Nabi Musa memperlihatkan ketidaksabarannya. Hal ini merupakan
bentuk pertanggungjawaban seorang guru untuk memenuhi harapan muridnya akan ilmu yang benar dengan segala hikmahnya, meskipun muridnya telah
melakukan kesalahan. Betapa arif dan bijaksana Nabi Khaidir sebagai guru. Suatu pedoman penting, bahwa sebagai guru, Nabi Khaidir melakukan semua
itu bukan karena atas kemauannya sendiri, sehingga dapat dipahami, bahwa Nabi Khaidir bukanlah seorang guru yang semena-menaotoriter dalam
mendidik. Sedangkan sebagai murid, Nabi Musa pun konsisten akan komitmennya untuk berpisah dengan Nabi Khaidir akibat ketidaksabaran
yang selalu mengkritisi gurunya tanpa mengindahkan syarat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Dengan demikian, bermusyawarah adalah komitmen terhadap syarat- syarat yang telah ditentukan, untuk itu haruslah dipatuhi agar tujuan bersama
dapat terwujud. Dalam konteks kekinian, seandainya semua guru seperti Nabi Khaidir, dan semua peserta didik seperti Nabi Musa, sungguh betapa idealnya
sebuah aktifitas pendidikan. Hal ini bukanlah utopis belaka, jika mampu memaknai secara seksama kemudian melaksanakannya, meskipun tidak bisa
mencapai kesempurnaan secara mutlak. Setidak-tidaknya substansi musyawarah itulah, sekiranya dapat menjadi bagian dari pola asuh dan
menjadi teori pedagogik yang mencerahkan dalam proses pendidikan dewasa ini.
Boleh jadi pola musyawarah dapat mendamaikan perbedaan teori pedagogik yang sudah berkembang, misalnya; antara pedagogi behaviorism
dengan pedagogi konstruktivisme. Menurut pengkritik pedagogi behaviorism, bahwa pedagogi ini dapat menimbulkan penindasan terhadap peserta didik,
maka mereka menganjurkan teori pedagogi konstruktivisme sebagai pedagogi humanis, yang dapat menciptakan kebebasan bagi peserta didik untuk
mengembangkan proses pembelajaran dan menyimpulkan sendiri hasil belajarnya. Jika dianggap pedagogi humanis sebagai pedagogi yang ideal,
maka apa yang bisa dibayangkan, dengan menyerahkan sepenuhnya kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan proses pembelajaran
dan menyimpulkan sendiri hasil belajarnya tanpa kendali? Maka pola musyawarah sebagai pengendali agar guru tidak bersikap otoriter dalam
mendidik yang akan memasung kebebasan peserta didik, serta kebebasan peserta didik dapat terkontrol dengan baik.
Selanjutnya, tidak hanya kepada peserta didik, tetapi guru juga harus bermusyawarah dengan orang tuawali murid guna membicarkan hal-hal yang
berkenaan dengan perkembangan proses pembelajaran. Karena selaku pemangku kepentingan stacke holder, para orang tuawali murid pun
berhak memperoleh informasi tentang sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai oleh putera-puteri mereka.
Diperlukan adanya interaksi antara guru dengan orang tua, melalui buku penghubung kepada orang tua yang berisi tentang perubahan perilaku
siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Namun selayaknya interaksi dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara langsung yakni dengan
bersilaturahim ke rumah orang tuawali murid, atau mengundang mereka ke sekolah untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan
putra-putri mereka sebagai peserta didik, yang masa depan para tunas bangsa adalah bagian dari tanggung jawab penting bagi setiap guru.
Dalam kasus tertentu, mengenai priliku negatif peserta didik yang telah melampaui batas, perlu dicarikan faktor-faktor penyebabnya. Bila telah
dilakukan berbagai upaya namun belum juga ada kesadarannya, maka bersilaturahim guna bermusyawarah dengan orang tuawali muridnya
merupakan bagian dari jalan keluar untuk mengatasinya. Bisa jadi perilaku peserta didik tersebut disebabkan oleh faktor ketidakharmonisan dalam
keluarganya. Namun dalam hal ini, guru harus berhati-hati untuk berkomunikasi agar tidak menyinggung perasaan keluarganya. Tanpa harus
menginterogasi atau mengungkit ketidakharmonisan keluarga ketika berkomunikasi, hendaknya guru menginformasikan kondisi peserta didik
secara wajar. Pada pertemuan pertama, jika tidak ada respon yang baik dari keluarganya, maka sekedar berbasa-basi sejenak, selanjutnya segera
berpamitan dalam suasana kehangatan dan diupayakan seakrab mungkin. Jangan menyerah sampai di sini, diaturlah jeda waktu kira-kira 5-10 hari
kemudian, dapat berkunjung kembali. Pada pertemuan kali kedua, diharapkan tercipta suasana keakraban, sehingga pembicaraan dapat berlangsung dalam
suasana saling pengertian antara semua pihak. Inilah fungsi dari musyawarah yang sederhana.
Muncul pertanyaan skeptis dan pesimis, bagaimana jika melalui musyawarah pun, kondisinya belum membaik? Jalan satu-satunya, bersandar
pada kekuatan ruhani, maka berserah dirilah kepada kekuasaan Allah. Bukankah ini disebut tawakkal?