Lemah Lembut terhadap Mereka linta lahum

Memaafkan bukanlah berarti membiarkan kesalahan yang dilakukan secara berulang-ulang. Ini yang disebut, “memaafkan yang tidak bertanggung jawab ”. Hal yang dikhawatirkan adalah jika peserta didik secara sengaja melakukan kesalahan tanpa beban, karena mengetahui gurunya seorang sosok pemaaf, maka dibutuhkan seni dan kiat untuk mengatasinya. Lagi-lagi hanya mereka yang memiliki kecerdasan ruhanilah yang mampu menemukan seni atau kiat untuk memaafkan dengan penuh kearifan dan bertanggung jawab. Untuk mengatasi hal tersebut, setidaknya terdapat beberap cara untuk memaafkan kesalahan peserta didik secara arif dan bijaksana serta penuh tanggug jawab, adalah: a. Menasihatinya dengan kelembutan penuh kasih sayang. Memilih kata-kata yang tepat berupa sindiran, tidak secara terang-terangan sehingga tidak menyinggung perasaan. Karena ungkapan secara terang-terangan justru merusak wibawa yang menghijabi diri gurunya. 55 Ungkapan secara terang-terangan saja tidak diperbolehkan, apalagi kata-kata yang mengiringi kemarahan dan bentakan yang menciutkan hati serta melemahkan mental peserta didik, haruslah dihindari. Misalnya kata-kata yang menyinggung perasaan: “kamu anak kampung, anak miskin, tidak tau diri sudah disekolahkan gratis, tapi masih saja membandel, mau jadi apa kamu hah ?”. b. Jangan perlakukan peserta didik seperti para penjahat dengan menghukum mereka walau pun bertujuan untuk menimbulkan efek jera. Jangan ada hukuman mengandung kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan guru sekalipun untuk tujuan pendisiplinan. 56 c. Bagaimana kalau sudah dilakukan berbagai cara tanpa adanya kekerasan, tetapi peserta didik belum juga menyadari dan tetap membandel? Maka jawabannya adalah mendoakan mereka. 55 Al-Ghazali, op. cit., h.. 33 56 “Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”. Warta KPAI. Edisi III, 2013. h.5

3. Mendoakan Mereka wastaghfir lahum

Sesungguhnya mendoakan mereka peserta didik, adalah bentuk pola asuh yang sudah mentradisi di lembaga pendidikan pesantren. Kiai sebagai figur pengasuh dan pimpinan pesantren senantiasa mendoakan santri sebagai peserta didiknya. Dengan demikian antara kiai dan santri memiliki hubungan yang erat secara batiniah. Jadi sesungguhnya doa adalah perekat ikatan batin antara guru dengan peserta didik. Bahkan hubungan ini, terus terjalin meskipun para santrinya sudah menamatkan pendidikannya menjadi alumni pesantren. Suatu saat para santrinya masih mengunjungi sowan kepada kiainya untuk meminta nasehat atau pun doa. Adapun memohon ampunan Allah bagi mereka wastaghfirlahum, merupakan bagian dari doa. Bisa saja doa dilakukan secara umum atau secara khusus. Secara umum, berarti dilakukan di dalam ruang kelas di hadapan semua peserta didik, dimana guru selalu mendoakan peserta didiknya secara keseluruhan, setiap kali mengakhiri kegiatan belajar mengajar. Atau doa secara umum yang dilakukan pada acara-acara yang menyertakan kehadiran orang tuawali murid, misalnya; acara pembagian raport, acara peringatan hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Alangkah indahnya guru memanjatkan doa, kemudian peserta didik mengamininya. Terlebih lagi dalam acara yang dihadiri oleh para orang tuawali murid yang ikut mengamininya. Redaksi doanya pun sederhana tetapi memilki makna yang mendalam: “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa kedua ibu bapak kami, dosa keluarga kami serta dosa semua saudara-saudara kami kaum muslimin dan muslimat. Ya Allah jadikanlah anak-anak didik kami ini, sebagai anak-anak yang shaleh dan shalehah yang senantiasa berbakti kepada ibu bapak mereka, berkasih sayang dengan keluarga mereka, dan kelak jadikanlah mereka sebagai anak-anak yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta sukses meraih cita-cita. Ya Allah kabulkanlah doa kami. Amiin ”. Tentunya tidak mengabaikan etika doa, yakni doa yang diawali dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, kemudian diakhiri pula dengan doa “sapu jagat”: rabbanā ātinā fiddun- ya hasanah wa fil ākhirati hasanah waqinā ‘adzābannār, lalu tak lupa bershalawat dan memuji Allah lagi sebagai penutup doa. Dapat dibayangkan bahwa sebagian orang tuawali murid yang hadir dalam acara tersebut, bisa jadi akan meneteskan air mata keridhaan penuh kebahagiaan, dan ikut mengamini doa tersebut secara tulus demi kesuksesan putra-putri mereka di masa depan. Adapun doa secara khusus adalah doa yang dipanjatkan secara tulus oleh guru di tengah keheningan malam untuk peserta didik secara keseluruhan, maupun untuk peserta didik yang memiliki masalah pribadi, seperti kenakalan yang dinilai telah melampaui batas dan belum dapat dihentikan. Atau ada kiat lain secara khusus, misalnya dengan perantara washilah air yang telah dibacakan doa-doa, kemudian diminumkan kepada peserta didik yang memiliki masalah pribadi tersebut. Sehingga mudah- mudahan kenakalannya yang melampaui batas itu, dapat dihentikan berkat doa yang tulus dari gurunya yang berhati lembut. Melalui doa inilah, seorang guru akan mengetahui peserta didiknya tidak hanya sebatas mengenal nama, namun akan mengenal keperibadian dan bakat mereka masing-masing. Guru yang senantiasa mendoakan peserta didiknya, berarti ia melibatkan Allah dalam pendidikan, mengindikasikan bahwa ia telah memiliki kecerdasan ruhani. Sosok guru seperi inilah yang akan selalu terkenang oleh peserta didiknya sepanjang hayat mereka. Maka secara ruhani pula dengan kedekatan ikatan batin, tidak menutup kemungkinan bahwa Allah akan memberikan petunjuk kepada peserta didik dengan cara menghadirkan sosok guru melalui mimpi dalam tidur. Karena murid berjumpa gurunya dalam mimpi, itu pertanda baik, sebagaimana umat bermimpi bertemu dengan Nabinya. Wallahu a’lam bilhuda

4. Bermusyawarah dengan Mereka wa syāwirhum

Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid, bahwa makna musyawarah adalah saling memberi isyarat tentang hal yang baik dan benar. Bahasa awamnya, musyawarah adalah saling rembug atau saling berbicara guna menyatukan keinginan yang berbeda sehingga mendapatkan kesepakatan bersama. Pada tataran akademis, musyawarah adalah dialog dan saling berkomunikasi. Dalam bahasa hukum yang berlandaskan Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Musyawarah dapat dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dan secara perorangan atau pun kelompok. Dalam dunia pendidikan, misalnya secara perorangan, antara guru dengan peserta didik sangat diperlukan musyawarah saling memberi isyarat untuk menentukan tujuan dan arah pendidikan yang hendak dicapai. Guru harus mengetahui kehendak muridnya dalam menimba ilmu darinya, begitu juga murid juga harus mengetahui syarat-syarat yang ditentukan oleh gurunya dalam proses pembelajaran. Sebuah pelajaran menarik yang dapat dimaknai musyawarah antara murid dan guru adalah dalam kisah Nabi Musa mencari ilmu kepada Nabi Khaidir. Dalam hal ini posisi Nabi Khaidir sebagai subyek pendidikan atau media sumber ilmu, dan Nabi Musa sebagai obyek pendidikan yang akan menerima ilmu dengan syarat yang telah ditentukan oleh Nabi Khaidir. Kisah ini dapat dibaca dalam Al- Qur‟an sebagai berikut: