4. Bermusyawarah dengan Mereka wa syāwirhum
Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid, bahwa makna musyawarah adalah saling memberi isyarat tentang hal yang baik dan benar. Bahasa
awamnya, musyawarah adalah saling rembug atau saling berbicara guna menyatukan keinginan yang berbeda sehingga mendapatkan kesepakatan
bersama. Pada tataran akademis, musyawarah adalah dialog dan saling berkomunikasi. Dalam bahasa hukum yang berlandaskan Pancasila adalah
musyawarah untuk mufakat. Musyawarah dapat dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dan secara
perorangan atau pun kelompok. Dalam dunia pendidikan, misalnya secara perorangan, antara guru dengan peserta didik sangat diperlukan musyawarah
saling memberi isyarat untuk menentukan tujuan dan arah pendidikan yang hendak dicapai. Guru harus mengetahui kehendak muridnya dalam menimba
ilmu darinya, begitu juga murid juga harus mengetahui syarat-syarat yang ditentukan oleh gurunya dalam proses pembelajaran.
Sebuah pelajaran menarik yang dapat dimaknai musyawarah antara murid dan guru adalah dalam kisah Nabi Musa mencari ilmu kepada Nabi
Khaidir. Dalam hal ini posisi Nabi Khaidir sebagai subyek pendidikan atau media sumber ilmu, dan Nabi Musa sebagai obyek pendidikan yang akan
menerima ilmu dengan syarat yang telah ditentukan oleh Nabi Khaidir. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-
Qur‟an sebagai berikut:
60. Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya:
57
Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua
buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. 61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu,
mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. 63. Muridnya menjawab: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat
berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu dan tidak ada yang melupakan
aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.
64. Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari. lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
58
QS. 18Al-Kahfi: 60-65 Kemauan kuat dari Nabi Musa yang bersungguh-sungguh untuk
mencari guru, dengan perjuangan sekuat daya walaupun merasakan keletihan menelusuri jalan, bahkan syetan pun berupaya untuk menghalau. Jika harus
berjalan selama bertahun-tahun, maka tidak akan menghentikan semangat untuk menuntut ilmu sesuai harapannya. hingga ia dapat bertemu seorang
guru. Bertemulah Nabi Musa dengan Nabi Khaidir.
57
Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya bin Nun. Lihat Al- Qur’an
dan Terjemahannya, ... h. 453
58
Menurut ahli tafsir: hamba di sini ialah Nabi Khaidir, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang
yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut. Lihat Al- Qur’an dan
Terjemahannya, ... h. 454. Hemat penulis, Nabi Khaidir adalah subyek pendidikan sebagai gurupendidik, dan sebagai media sumber ilmu. Sedangkan Nabi Musa sebagai obyek pendidikan
yang siap menerima ilmu dari gurunya, Adapun sumber ilmu adalah Allah Pemilik segala Pengetahuan.
66. Musa berkata kepada Khaidir: Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? 67. Dia menjawab: Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersamaku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? 69. Musa berkata: Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai
orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.
70. Dia berkata: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku
sendiri menerangkannya kepadamu. QS. 18Al-Kahfi: 66-70
Nabi Musa memenuhi permintaan Nabi Khaidir dengan dua syarat yang teramat berat yaitu sabar dan jangan bertanya sesuatu sebelum ada
penjelasan secara tuntas. Hal ini dapat dimaknai bahwa, jika tanpa adanya kemauan yang kuat, maka menerima persyaratan tersebut adalah sebuah
keterpaksaan. Namun karena didorong oleh kesungguhan dan kebulatan tekad, maka hanya kepatuhanlah menjadi pedoman bagi seorang murid untuk
memenuhi persyaratan dari gurunya, dan dengan kerendahan hati pula seraya memohon kekuatan Allah, Nabi Musa pun memenuhi dua syarat itu dengan
jawaban “Insya Allah menjadi orang yang sabar”. Keduanya melanjutkan perjalanan.