MULTIKULTURALISME SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL Menurut Kymlica, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi memiliki dua dimensi, yaitu

D. MULTIKULTURALISME SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL Menurut Kymlica, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi memiliki dua dimensi, yaitu

dimensi politik dan dimensi kebudayaan. Dalam pengertian secara politis, multikulturalisme merupakan kebijakan terhadap perlindungan keberagaman latar belakang identitas kolektif (etnis, agama ataupun ras) dalam suatu negara bangsa. 18

Jika dikaitkan dengan konteks Keindonesiaan, maka Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kondisi demografi, sosio- kultur masyarakat yang ada di negeri ini. Yang mana dari keragaman tersebut, memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun masyarakat Indonesia yang multikultural. Meski pada kenyataannya negara ini masih jauh jika dikatakan sebagai negera yang multikultural. Hal tersebut dapat terlihat dari konflik-konflik yang terus terjadi selama

ini di Indonesia, yang mana konflik tersebut sering kali dipicu oleh keragaman identitas; baik etnis, agama, suku, ras dan sebagainya. Meskipun “berbasis” kepentingan ekonomi, politik,dan sosial budaya, eksklusivisme, dan ekstremisme yang dapat berujung pada disintegrasi dalam masyarakat serta dapat berkembang menjadi disintegrasi bangsa.

Berpijak pada realitas di atas, maka pengembangan masyarakat multikultural menjadi kebutu- han bagi bangsa Indonesia, yang majemuk (plural) dan beraneka ragam (heterogen), sebab multi- kultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) menyikapi perbedaan budaya yang ada baik secara individual maupun secara kelompok.

Untuk mendukung hal tersebut, maka konsekuensi kebijakan yang memperhatikan keragaman diperlukan sebagai tindakan agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui kebijakan nasional dari pemerintah. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan masing-masing warga negara bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.

Di Kanada, Inggris dan Australia, multikulturalisme dijadikan sebagai kebijakan publik dalam mengatur tentang pluralitas etnik di negaranya sejak tahun 1970-an. Yang mana pada tahun 1965 pemerintah Kanada mengeluarkan kebijakan multikulturalisme, setelah melihat pesatnya arus migrasi dan mengacu pada undang-undang yang didalamnya memberikan perhatian kepada nilai persamaan, toleransi dan inklusivisme, terhadap kelompok migran dari berbagai etnis. 19

16 ibid, hal. 6-8 17 Tilaar. H.A. R, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 149

18 Kymlica, 1995. Multicultural citizenship, A liberal theory of minority right. Oxford, Oxford University Press. Hlm. 25

19 Amartya Sen, Identity and Violence: the illution of destiny.WW. Norton and company, new york: 2006. Hlm 152-156

Di inggris, multikulturalisme baru berkembang pada tahun 1998, oleh komisi masa depan multi etnis, yang diantara promosinya yaitu, keadilan ras dan masyarakat multikultural. Kuatnya arus imigrasi dari negera lain, yang berbeda budaya telah menempatkan multikulturalisme sebagai

sebuah kebijakan politik. 20 Multikulturalisme sebagai kebijakan politik tercermin dalam peran pemerintah dalam menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. 21

Menurut James E Anderson sebagaimana dikutip Islany mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” yaitu Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah

tertentu) 22 sedangkan menurut Abidin, kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. 23 Dan sebagai keputusan formal organisasi, kebijakan bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau

anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). 24 Sedangkan kebijakan nasional adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan nasional/negara sesuai dengan amanat UUD 45. Kewenangan dalam membuat kebijakan ini adalah MPR, Presiden

dan DPR. 25 Di Indonesia, multikulturalisme telah dijadikan sebagai kebijakan nasional. Adapun bentuk kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan

dapat berupa:

1. UUD 45

2. Ketetapan MPR

3. Undang undang

4. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dibuat oleh presiden dalam hal

kepentingan memaksa setelah mendapat persetujuan DPR. 26

Terdapat sejumlah kebijakan nasional yang diterapkan pemerintah terkait dengan apresiasi multikulturalisme. Diantaranya sebagaimana dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 mulai butir (1) sampai dengan butir (6) menunjuk- kan bahwa multikulturalisme menjadi landasan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, menyelenggarakan Pendidikan Multikultural menjadi kewajiban sekolah sesuai dengan bunyi Pasal 4 butir (1) bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan ber- keadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,

nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. 27 Menurut Maslikhah, kebijakan nasional pendidikan tentang multikulturalisme dapat dilihat dari:

a. Apresiasi terhadap spiritualitas keagamaan dan kebudayaan. Sebagaimana pada BAB I ketentuan Umum Pasal I ayat (1,2) BAB V, Pasal 12 ayat (1), yang secara implisit mempertegas bahwa pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, meng- hargai keragaman karakteristik siswa, serta memberi porsi yang lebih terhadap penghargaan keberbedaan pribadi siswa. 28

b. Apresiasi terhadap mutu pendidikan tanpa diskriminasi. Sebagaimana pada Bab IV, pasal 5 ayat 1, pasal 12 ayat 1, bab III pasal 4 ayat (I,2). Dengan adanya kebijak ini menandakan

20 Amartya Sen, Identity and Violence: the illution of destiny.WW. Norton and company, new york: 2006. Hlm 152-156

21 Arie Setya Ningrum, multikulturalisme sebagai identitas kolektif, kebijakan politik, dan realitas sosial. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik. Volume VII. No. II, 2003 (243-260)

22 Islamy, Irfan. 2009. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi aksara. Hlm. 17 23 Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas. Hlm. 17 24 Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press.

25 Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung : CV. Pustaka Setia. Hlm. 41 26 Ibid,. 42 27 Lihat Undang Undang Sisdiknas N0 20 tahun 2003. 28 Lihat Undang Undang Sisdiknas N0 20 tahun 2003.

bahwa pemerintah mengakui dan menghargai pluralitas. Pendidikan nasional membuka segala kemungkinan yang berkembang pada diri siswa dan kelompok masyarakat untuk berkembang dan mengembangkan dirinya. Dan pendidikan dengan sistem terbuka ini mem- berikan kesempatan untuk mengatur dan menentukan kemajuan yang dikehendaki sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki setiap orang. 29

c. Apresiasi terhadap Bahasa Daerah dan Asing, Bab IX pasal 33 ayat (2,3). Dari kebijakan ini, pendidikan nasional menempatkan bahasa daerah setara dengan bahasa Indonesia. Posisi bahasa daerah yang merupakan produk budaya yang setara tersebut menandai suatu penga- kuan dan penerimaan atas pluralitas yang berkembang di masyarakat untuk dibawa pada skala nasional. 30

d. Apresiasi terhadap perkembangan Fisik, Psikis, sosial, emosional, intelektual dan kejiwaan peserta didik. Sebagaimana pada bab XIIX Pasal 45 ayat (1). Yaitu setiap lembaga pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi kebutuhan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional,

dan kejiwaan peserta didik. 31 Bab III tentang penyelenggaran pendidikan pasal 4 ayat (2). 32

e. Apresiasi terhadap keterlibatan masyarakat. Sebagaimana pada bab I pasal I ayat 16. Pada bab ini, memberikan rambu-rambu terhadap pelaksanaan pendidikan yang berbasisi masya- rakat dengan mengagkat harkat dan martabat masyarakat sendiri akan kekhasan agama, sosial budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat. Dengan harapan hasil pendidikan adalah mendidikan yang memasyarakat. Yaitu hasil pendidikan yang sesuai dengan falsafah masya- rakat, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kebutuhan masyarakat setempat. 33

f. Apresiasi terhadap penyelenggaraaan lembaga pendidikan asing. Sebagaimana pada Bab

XVII tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain, pasal 65 ayat (1). Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyeleng- garakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku. 34 Hal ini merupakan bukti atas pengakuan pluralitas, heterogenitas, dan humanitas.

Dengan adanya kebijakan pendidikan yang apresiatif terhadap keragaman, Maka tujuan pendidikan untuk membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas,

sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. 35 Atas dasar tersebut, maka Pendidikan yang diselenggarakan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan berbagai keragaman yang dimiliki. Selain itu pendidikan juga harus mampu membentuk masyarakan yang mau menerima dan menghargai keragaman yang ada dalam masyarakatnya. Upaya ini dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural.

Dengan adanya kebijakan tersebut, mempertegas tekat bangsa (pemerintah) sebagai pemimpin negara untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang multikultural, sebagaimana pengakuan, secara yuridis-formal yang ditunjukkan oleh para founding fathers dengan memasuk- kan nilai-nilai pluralisme keagamaan ke dalam rumusan Pancasila (sila pertama) dan Undang- Undang Dasar 1945, yang merupakan landasan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Begitu juga nilai-nilai multikulturalisme yang dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal

29 Maslihah, 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultural (rekonstruksi sistem pendidikan berbasisi kebangsaan) Surabaya: JP pos. Hlm. 95-100

30 Ibid, hlm. 76-98 31 Undang undang sisidiknas no 20. Tahun 2003 jakaera: depdiknas cetakan I 32 Ibid,. 33 Maslihah, 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultural (rekonstruksi sistem pendidikan berbasisi kebangsaan)

Surabaya: JP pos. Hlm. 109 34 Undang undang sisidiknas no 20. Tahun 2003 jakaera: depdiknas cetakan I

35 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 315

Ika”. Bahkan, secara sosio-kultural, Indonesia “pernah” menjadi prototipe sebuah kehidupan masyarakat pluralistik yang ideal.