MULTIKULTURALISME SEBAGAI PENDEKATAN

C. MULTIKULTURALISME SEBAGAI PENDEKATAN

Dalam membentuk masyarakat multicultural, dapat menggunakan tiga (3) pendekatan mini- mal (doktrinal, kultural dan historis). Pertama, pendekatan doktrinal, manusia dilahirkan ke dunia membawa atau dibekali dua (2) potensi ( ), potensi aqidah / religius (

) dan ; potensi sosial (

) Kedua potensi ini mengalami perkembangan dan evolusi sesuai dengan pertumbuhan ragawi/fisik, mental spiritual serta pendidikan. Secara doktrinal manusia manusia diciptakan sebagai masyarakat sosial (human society), dengan bebagai perbedaan - jenis kelamin, bersusku-suku, banrbangsa-bangsa dan bahkan agama dan keyakinan, sebagaimana firman Allah SWT ;

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat; 13) 6

4 Ibid, hal. 92 5 Nata Abuddin, Sosiologi Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 236 6 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana, 1994

Ayat diatas merupakan salah satu dari doktrin agama, yang kurang mendapatkan perhatian sebagai bagian dari kajian ilmu akhlaq, karena dianggap sebagai ilmu social yang tidak ada kaitannya dengan doktrin agama. Hal ini merupakan sikap yang a-priori terhadapa ilimu social, seakan-akan tidak ada kaitannya dengan doktrin agama yang berimplikasi halal, haram,

wajib, sunnah, makruh dan mubah. Secara tekstual, mestinya dilihat konteksnya, apa manfaat dan maslahat yang biasa dipetik dalam upaya merajut keragaman budaya, suku, ras, pluralitas agama dan disintegrasi yang diakibatkan oleh faham-faham fundamentalis-teologos, kapitalis dan kaum fanatis-egoistis hedonesm.

Nabi Muhammad SAW. sebagai pembawa risalah telah mencanangkan kesadaran akan kesetaraan (‘DE3’H)) dan semangat persatuan dan kebersamaan dengan mencetuskan “Piagam Madinah”, selain Baiatu al-‘Aqabah I yang tejadi pada tahun 621 M dan Baiatu al-‘Aqabah II

pada tahun 622 M 7 memberikan jaminan kebebasan beragama dan perlindungan terhadap seluruh tumpah darah warga Negara, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, Majusi dan bahkan kaum Musyrik sekalipun.

Selain doktrin kesetaraan, masih banyak lagi nilai-nilai yang bersifat doctrinal yang tedapat Al-Qur’an, seperti nilai Tawassuth (Moderat).

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (QS. Al-Baqarah: 143) 8

Tholchah Hasan, dalam kuliahnya, menjelaskan bahwa akar nilai-nilai multikultural antara lain:1) (interaksi), 2)

(toleransi), 4) (koperatif), 5) (harmoni) 9 . lebih spesifik Azyumardi Azra menyatakan bahwa “Indonesia wasathiyah Islam with smiling face is too big to fail” menjadi distingsi “Islam Nusantara” yang paling sempurna, karena sifatnya yang inklusif, akomodatif, toleran, dan dapat hidup berdampingan secara damai

(moderat), 3)

dengan umat lain. 10 Sedangkan menurut Abdullah Aly, nilai inti dari pendidikan multikultural ada 7 (tujuh), yaitu: 1. Kesetaraan, 2 Keadilan, 3 Demokrasi, 4. Kemanusiaan, 5. Kebersamaan (solidaritas), 6. Kedamaian (saling mengasihi dan memaafkan), 7. Toleransi (mengakui, menerima, dan menghargai keragaman). 11

7 Zainuddin, M, dan Esha Muhamad In’am, lslam Moderat; Konsepsi Interpretasi dan Aksi; (UIN Maliki Press, 2016), hal.106

8 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana, 1994 9 Tholchah Hasan. Kajian Teks Al-Qur’an dan Al-Hadits Tantang Multikulturalisme, Makalah kuliyah, tanggal

26 Oktober 2015, hal. 1. 10 Azymardi Azra, Islam Nusantra: Islam Indonesia: Ortodoksidan Tradisi, Makalah untuk Orientasi Mahasiswa

Baru Program Pasca Sarjana UNISMA, tanggal 18 September 2015, hal. 5 & 8. 11 Abdullah Aly. Studi deskriptif tentang nilai-nilai multikultural dalam pendidikan di pondok pesantren modern islam

assalaam Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume I, hal.

Kedua, Pendekatan Historis, Sejarah telah mencatat, bahwa Multikulturalisme sebagai sebuah konsep, pemikiran dan gerakan muncul sejak setelah kehijrahan Rasulullah Muhammad

, ke Madinah dan membangun masyarakat baru dengan berbagai kebijaksanaan dan kebijakan- nya membuat perjanjian-perjajian, mulai dari Baiatu al-‘Aqabah I yang tejadi pada tahun 621

M dan Baiatu al-‘Aqabah II pada tahun 622 M 12 dan yang terbesar dan termodern pada zamannya- adalah Piagam Madinah. Bentuk-bentuk perjanjian yang telah dibangun dan diimplementasikan tersebut merupakan esensi dari pembelajaran hidup ber-kerukunan, kesetaraan, moderasi, dan demokrasi dalam bermasyarakat dan bernegara. keragaman budaya (cultur) di Indonesia telah melahirkan konsep dan pandangan yang secara teoritis bersentuhan dengan perjalanan sejarah. Dalam perjalanan sejarah, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari berbagai belahan dunia, khususnya wilayah Asia, dengan corak dan ragam kebangsaan, etnis, suku, adat, buday yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap kelompok suku bangsa yang terdiri dari sejumlah individu menyatukan diri atau disatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka memiliki bahasa, agama, kepercayaan dan kebudayaan yang sama. Mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang sering didukung oleh mitos-mitos yang yang hidup dalam masyarakat tersebut. 13 sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, mulai runtuh dan menyusul kedatangan para colonial, keragaman budaya, suku ras, agama tetap menjadi cirri sekaligus sebagai penggalang usaha merebut kemerdekaan dari kolonialisme para penjajah (Belanda, Portugis dan Jepang) yang kemudian menjadi icon Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “ Bhenika Tunggal Ika”.

Negara-negara barat dan Eropa, seperti Kanada, Australia, Ingris, Jerman, Amerika Serikat, dan lainnya mulai menyadari akan pentingnya Multikulturalisme sekitar dekade 1970. Sejak abad XXI, diskursus multikulturalisme menjadi menjadi urgen untuk menghadapi tantangan global dan globalisasi budaya, KH. Muhammad Tholchah Hasan (2016), memberikan ulasan bahwa, multikulturalisme sudah sudah mengalami 2 (dua) gelombang penting, yaitu:

a. Multikulturalisme dalam kontek perjuangan pengakuan budaya yang berbeda, prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (need of recognition) adalah cirri utama dari gelombang pertama ini.

b. Multikulturalisme yang berusaha melegitimasi keragaman budaya yang mengalami beberapa tahapan, diantranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik, pembebasan melawan imperialism dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat adat (indigeneous people) dan lain sebagainya. 14

Ketiga, pendekatan Kultural, keragaman suku, ras, agama, tradisi dan budaya tidapat lepas dari kondisi sosio-kultural dan letak geografis yang beragam dan luas yang memiliki pulau tidak kurang dari 13.000 pulau besar dan kecil, 15 masing-masing pulau tersebut juga tidak bisa dihindari terjadinya perkembangan kultur atau budaya yang sudah ada sejak adanya manusia itu sendiri, dengan karakteristiknya masing-masing. Conrad P. Kottak (1989), sebagaimana dikutip M. Ainul Yaqin, mengemukakan bahhwa kultur mempunyai karakter-karakter khusus. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spsifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini memiliki kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi, antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada. Kedua, kultur adalah sssuatu yang dipelajari, baik secara individu maupun secara social, secara formalmaupun cultural. Ketiga, kultur adalah sebuah simbol. Dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan. Keempat,

12 Zainuddin, M, dan Esha Muhamad In’am, lslam Moderat; Konsepsi Interpretasi dan Aksi; (UIN Maliki Press, 2016), hal.106

13 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 35 14 Tholchah Hasan Muhammad, Pendidikan Multikultural; Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme

Makalah disajikan pada perkuliahan program doktor PAI Multikultural. hal. 4

15 Yaqin Ainul M, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan Yogyakarta: Pilar Media, 2005. hal. 20 15 Yaqin Ainul M, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan Yogyakarta: Pilar Media, 2005. hal. 20

system-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, instistusi, kepercayaan, dam nilai-nilai adala sesuatu yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaftif, artinya kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. 16

Ketiga pendekatan (doctrinal, cultural dan historis) tentunya memerlukan strategi kebudayaan dan pilar strategi kebudayaan itu adalah para agensi atau actor yang berada dalam msyarakat yaitu pendidikan. H.A.R Tilaar, memiliki pandangan bahwa, Pendidikan memiliki fungsi bukan hanya sebagai preservasi nilai-nilai yang ada dalam sebuah masyarakat, tetapi pendidikan juga berfungsi sebagai kekuatan sosial yang akan memberikan arah, corak, dan bentuk kehidupan masyarakat di masa depan. 17