Doktrin Keimanan

a. Doktrin Keimanan

Iman adalah pembenaran (tashd īq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ush ūluddīn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H./874 M.-324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H).

Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat- sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalahistitsn ā’, takwīn, dan iman dengan taqlid.

Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya’Allah, seperti ”Saya beriman, insya’Allah”, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnā demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asy ā’irah diperboleh- kan, karena maksud istisn ā’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melain- kan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ ūdzu billah min dzalik. Atau, istitsn ā’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.

Kedua sifat takw īn (mewujudkan), menurut Asyā’irah sifat takwīn ( ) tidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takw īn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.

Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al’asy’ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asy ā’irah (pengikut Abu Alhasan Al’asy’ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada imanbittaql īd, iman biddal īl, iman bil iyyān dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîdadalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, imanbiddal īl (ilmul yaqīn) ialah keyakinan terhadap aqā’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (

) dalam menge- tahui Allah. Ketiga, iman bil iyy ān (‘ainul yaqīn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah ) dalam menge- tahui Allah. Ketiga, iman bil iyy ān (‘ainul yaqīn) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah

Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl(ilmul yaq īn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyān (‘ainul yaqīn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).

Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengEsakan Allah dalam af’ āl, shifah dan dz āt. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitufana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi , yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujūd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaq īn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqīn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqīn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ashshafat: 96)

Sebagian ulama ’arif billah menyatakan: Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung, barang

siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul.

Konsep tauhid ASWAJA mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menya- takan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr(tidak memiliki qudrah apapun).

Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.[3] ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takf īr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: “wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar- benar telah kafir. (HR. Bukhari)

Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’l ūm bi adldlarūri), dan mengingkari hal-

h al mutawātir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan sese- orang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa dita’wil.