KRITERIA BID’AH DALAM PANDANGAN ASWAJA

VII. KRITERIA BID’AH DALAM PANDANGAN ASWAJA

Sejauh ini, pembicaraan seputar bid’ah tidak lepas dari dua definisi bid’ah dalam wacana Islam. Pertama, definisi bid’ah yang ditawarkan oleh Asysyathibi, bahwa bid’ah adalah segala perbuatan baru dan secara tinjauan hukum seluruhnyamuharramah (madzmûmah). Dan kedua, definisi bid’ah versi mayoritas ulama, bahwa bid’ah adalah segala hal yang baru yang tidak di dikenal di masa hidup Rasulullah saw. namun secara tinjauan hukum dibagi menjadi lima kategori sesuai klasifikasi hukum taklifi (wajib, haram, sunah, makruh dan mubah). Perbedaan definitif ini hanya bersifat redaksional (lafdhi), sebab kedua versi bertemu dalam satu kesepakan, bahwa bid’ah yang muharramah adalah bid’ah yang dlalālah. Sedangkan bid’ah mahmûdah menurut versi kedua, tidak dikategorikan sebagai bid’ah haqîqatan menurut versi pertama.

Dari sini kemudian secara global bid’ah dikategorikan menjadi dua. Bid’ah madzmûmah (dlal ālah: haram dan makruh), dan bid’ah mahmūdah (hasanah: wajib, sunnah dan mubah). Bid’ah madzmûmah adalah segala amaliah keagamaan yang baru dan bertentangan dengan dalil-dalil agama baik secara ’ ām atau khās, meliputi Alqur’an, hadits, ijma’, qiyas dan atsār. Sedangkan bid’ah mahmûdah ialah segala amaliah keagamaan baru yang tidak memiliki tendensi dalil agama baik secara ’ām atau khās dan bertentangan dengan Alqur’an, hadits, ijma’, qiyas dan atsār.[5]

Konsep bid’ah demikian berdasarkan sebuah hadits Rasulullah saw.:

Barang siapa membuat sunnah baru di dalam Islam, baginya mendapat pahala dan pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. Dan barang siapa membuat sunnah buruk, baginya mendapat dosa dan dosa orang yang melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. (HR. Muslim)

Dalam pandangan ASWAJA, kehadiran Islam bukanlah untuk menolak segala tradisi yang telah mapan dan mengakar menjadi kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk

melakukan pembenahan-pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikannya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

Apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah . (HR. Malik) Rasulullah saw. bersabda, “Kalimat hikmah (kebaikan) adalah kekayaan orang Mukmin yang hilang,

sekira ia menemukannya maka ia paling berhak dengannya. (HR. At-Turmudzi)

Dengan demikian, amaliah dan ritual-ritual keagamaan ASWAJA (NU), seperti ritual tahlilan, peringatan Maulid Nabi, istighatsah, pembacaan barzanji, manaqib, ziarah kubur dan amaliah lainnya, tidak bisa divonis sebagai praktek bid’ah bahkan syirik. Sebab sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:

“Hukum asal ritual ibadah adalah haram”

Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa kaidah itu tidak berlaku mutlak tanpa pengecualian. Ritual ibadah yang tidak ada dalil khâsh (khusus) yang melegalkannya namun tidak bertentangan dengan dalil-dalil ’âm (umum) dan tidak ada dalil sharîh (tegas) yang melarangnya, maka ter- masuk pengecualian yang tidak bisa diharamkan dengan dasar kaidah ini. Ritual-ritual ibadah seperti ini juga tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah, karena masih memiliki dasar legalitas hukum berupa dalil-dalil ’âm. Dan memang seperti inilah ghalibnya amaliah dan ritualitas kelompak ASWAJA (NU) yang senantiasa dilestarikan. Sekalipun sebagian diantaranya tidak terdapat dalil- dalil khusus yang melegalkannya, namun semuanya tidak ada yang keluar dan bertentangan dengan dalil-dalil umum yang melegalkannya. Adapun hadits yang menyatakan:

Ingatlah, takutlah kalian kepada pembuat bid’ah, karena seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang baru, dan sebagian hal yang baru adalah bid’ah, dan sebagian bid’ah adalah sesat. (HR. Ibn Majah)

Maka hadits ini harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum, baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum. Karena kata dalam redaksi hadits di atas, tidak bermakna “setiap” atau “seluruh”, melainkan “sebagian”.

Sebab, kalau kata diartikan “setiap” atau “seluruh”, bagaimana mungkin sahabat Umar bin Khattab mengatakan: (sebaik-baiknya bid’ah adalah (jama’ah tarawih) ini) pada saat beliau memiliki ide bid’ah melaksankan shalat tarawih secara berjamaah yang tidak dikenal di masa hidup Rasulullah saw.