Hubungan Al-Musawa Dengan Demokrasi Partisipatif Yang Berbasis Maqashid Asy-syariah

3.2 Hubungan Al-Musawa Dengan Demokrasi Partisipatif Yang Berbasis Maqashid Asy-syariah

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa konsep Al-Musawa dalam arti politik mengandung muatan persamaaan hak-hak politik dan kedudukan di muka hukum, maka penguatan terhadap civil society sebagai kontrol sosial politik tehadap domniasi negara perlu di upayakan melalui pemberdayaan dan penyadaran politik masyarakat secara kultural dengan mengedepankan nilai-nilai etika politik islam nusantara yang berbasis Maqasid Asy-syariah. Politik tidak hanya dilihat melalui proses pemilu yang memilih wakil-wakil politik secara struktural tetapi bagaimana politik itu bisa mensejahterakan rakyat melalui pelibatan langsung dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari melainkan juga bermanfaat bagi pemerintahan. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan membantu pemerintah mengatasi persoalan

dalam penentuan prioritas kebijakan. 23 Sehingga, dengan antusias masyarakat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan agar berhasil baik dan nantinya berimplikasi bahwa pelibatannya dalam kebijakan publik merupakan bagian miliknya dalam politik..

Penulis disini akan mendeskripsikan tentang peran Nahdlatul Ulama sebagai kelompok civil society dan organisasi sosial keagamaan yang memainkan posisinya dalam gerakan Islam pada masa kurun waktu kepemimpinan Orde Baru sampai Pasca Reformasi (sekarang), yaitu:

a. Konfigurasi Politik Orde Baru

Terkait kehidupan kepartaian, sejak awal pemerintah orde Baru memiliki tekad menjamin satabilitas politik dengan mengatur sistem kepartaian secara ketat dalam rangka stabilitas pembangunan ekonomi. Pemerintah menetapkan kebijakan hanya 3 partai politik yang

22 Roberto M. Unger. Teori Hukum Kritis (Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern). Bandung, Nusamedia, 2007, Hlm 235.

23 Triwibowo Darmawan, Gerakan Sosial; Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. (Jakarta: LP3ES, 2006),hlm 5.

diakui secara formal oleh pemerintah,yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Pengaturan yang sangat ketat dari pemerintah, membuat NU mengambil keputusan untuk menarik diri dari keter- libatan politiknya secara organisatoris sebagai bagian dari PPP pada tahun 1992. Hal ini dengan pertimbangan sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Wahid bahwa kalau NU

terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus terus digiring untuk melakukan penyesuaian dengan

keinginan penguasa. 24 Pernyataan ini jelas merupakan upaya penyelamatan atas kepen- tingan NU sendiri dan kepentingan umat secara keseluruhan terhadap pemerintahan orde Baru yang otoriter-birokratis. Karena negara seyogyanya memberikan kesempatan kepada civil society yang berada diluar struktur pemerintahan untuk berpartisipasi aktif dalam pem-

bangunan nasional secara mandiri bergerak di luar pengendalian pemerintah. Tetapi apabila tingkah laku politik itu dibatasi untuk kepentingan mendukung program pembangunan pemerintah Orde Baru, maka gerak fungsi NU direduksi oleh kepentingan politik penguasa. Penarikan NU dari PPP menyebabkan mengalirnya banyak warga NU untuk mendukung Golkar dalam Pemilihan Umum 1987. Kendatipun demikian, meski NU tidak berada dijalur struktur pemerintah namun sebagai kumpulan civil society yang otonom mampu berdayaguna dalam proses kegiatan politik dengan banyak memprioritaskan kepada pemberdayaan masya- rakat sipil. Hal ini ditunjukkan dalam kegiatan Rapat Akbar tahun 1992 yang menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila, konstitusi dan demokrasi.

Berpangkal uraian diatas, dalam memahami watak Orde Baru peranan pemerintah sangat dominan. Logika yang dibangun pada saat itu adalah memaksimalkan pembangunan ekonomi dan harus didukung oleh stabilitas politik dengan meminimalisasi konflik politik. Realita politik yang demikian, maka tidak ada satupun elemen masyarakat yang terlibat dalam pem- buatan kebijakan publik, karena semua produk hukum yang berbentuk UU berasal dari rancangan dan inisiatif pemerintah semenjak tampilnya anggota-anggota DPR hasil Pemilu 1971. Oleh karena itu, meski NU sebagai civil societ kekuatannya sangat lemah untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik tetapi tetap menunjukkan kritik dan pendapatnya tentang kebijakan pemerintah di luar birokrasi.

b. Konfigurasi Pasca Reformasi Tumbangnya Orde Baru mulai membuka kran demokrasi dengan ditandai banyak partai

(multipartai) yang ikut dalam sistem pemilu. Namun, jika dicermati dengan seksama pola perilaku politik NU mengalami pergeseran orientasi politik NU yang semula bercorak kultural (cultural oriented) dengan fokus gerakan pada pembelaan masyarakat, kini perilaku politik NU kian menampakkan wajahnya yang struktural (structural oriented). Pergeseran perilaku politik ini juga bisa dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU yang secara intens memobilisir massa nahdliyyin guna menopang perolehan suara PKB pada pemilu1999 sebagaimana amanat hasil rapat pleno PBNU ke-4 tanggal 24 Juli 1998 di Jakarta. Hasil rapat ini berisi seruan agar seluruh warga NU memberikan dukungan dan memelihara PKB sebagai satu-

satunya partai milik warga NU. 25 Kendati demikian, tindakan politik NU yang berpolitik praktis dan masuk pada sturuktur negara itu tidak serta merta harus dijustifikasi bahwa NU berorientasi pada politik kekuasaan. Realita politik tentang strategi politik NU yang cenderung masuk dalam struktur negara berimplikasi adanya keraguan apakah peran NU sebagai wakil eksekutif maupun eksekutif mampu menampung aspirasi ummat ataukah kepentingan elite politik yang mendominasi terhadap pembuatan kebijakan publik dalam wujud pemben- tukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, NU sebagai lembaga gerakan sosial islam yang tidak hanya fokus pada politik kekuasaan tetapi sebagai gerakan yang menggunakan politik untuk mencapai kesejahteraan umatnya dan harus tampil sebagai sarana penyeimbang yang berada di luar pemerintahan untuk fokus dalam pemberdayaan politik masyarakat secara kultural. Mengutip pendapat dari Kiai Sahal, bahwa:

24 Andre Feillard, Nahdlatul Ulama: Fleksibilitas, Legitimasi, dan Pembaharuan ( Yogyakarta, LKiS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994), hlm 20.

25 ibid, hlm 25

“ soal politik bukan sekedar soal menyalurkan aspirasi politik untuk menegakkan kepemim- pinan negara semata, melainkan soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukan penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan meng- abaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih islami. Bila ini terjadi maka kenyataan sekularlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatuddarain”. 26

Berpangkal dari uraian diatas, hubungan konsep Al-musawa dapat memiliki keterkaitan dengan demokrasi partisipatif jika ditarik pada penguatan partisipasi politik civil society yang tidak bermakna politik kekuasaan tetapi sebagai alat kontrol mulai dari pembuatan dan pelaksa- naan kebijakan publik. Partisipasi tersebut setidaknya sesuai dengan tujuan kemaslahatan maqasid asy-syariah yang terbingkai dalam kerangka amar ma’ruf dan nahi munkar di satu pihak dan kerangka bekerja sama dalam menegakkan kebaikan dan ketakwaan. 27

Dalam konteks politik, partisipasi tidak hanya dimaknai sebagai proses pelibatan dan dukungan yang bertendensi mobilisasi dengan melahirkan partisipasi politik yang cukup besar dan hanya sekedar untuk memperoleh legitimasi atau dukungan saja tetapi juga sebagai arena tawar menawar yang dimungkinkan lahirnya persetujuan, legitimasi, ataupun penentangan dan resistensi, sehingga partisipasi dijadikan sumber pengetahuan dan komunikasi. Pemaknaan seperti ini akan berimplikasi pada keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan Oleh karena itu, semakin banyak kegiatan dalam rangka pelibatan masya- rakat yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai representative stake- holder maka akan menentukan kualitas partisipasi politik. Selain itu juga didukung oleh instrument dan media partisipasi melalui penelitian, survey, diskusi, seminar, lokakarya, pembuatan counter legal draft, kunjungan lapangan, dan lain-lain. 28

Faktor-faktor di atas merupakan bukti bahwa dengan konsep Al-musawa/persamaan kedudu- kaan antara pemerintah dengan masyarakat dapat dikatakan sejajar yang diakui eksistensi hak rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, sebagaimana dikuatkan secara normatif dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Persamaan hak dimaknai sebagai peluang untuk melahirkan dan menguatkan masyarakat civil society atau dikenal dengan masyarakan madani yang mengedepankan nilai-nilai prinsip keagamaan sebagai etika politik yang berpijak pada tanah airnya tanpa kehilangan nilai-nilai keislamannya.