PRINSIP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ASWAJA

VI. PRINSIP AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ASWAJA

Amar ma’ruf nahi munkar adalah satu paket istimewa dari agama untuk umat Muhammad saw. guna menegakkan panji-panji ketuhanan dan melenyapkan segala kemunkaran di muka bumi, serta menjaga keberlangsungan tatanan kehidupan. Keberadaannya menjadi tugas pokok yang tak terpisahkan dari kewajiban agama. Allah swt. berfirman:

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan

mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah ... (QS. Ali Imran: 110)

Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas agung yang diwajibkan agama untuk umat Islam, karena tanpa ada kewajiban ini, niscaya dunia hanya akan menjadi episode angkara murka dan berada di bawah ancaman adzab Allah. Rasulullah saw. bersabda:

Sesungguhnya manusia di saat mereka melihat perkara munkar kemudian mereka tidak mau merubahnya, maka dekat kemungkinan Allah akan meratakan mereka dengan siksa.

Dalam tataran praktis, ASWAJA merumuskan konsep tahapan atau fase-fase amar ma’ruf nahi munkar sebagai pola aplikasinya, yang meliputi ta’rīf (memberi tahu), wa’dh (menasehati), takhsy īn fī alqaul (dengan nada keras), dan man’u bi alqahri (mencegah paksa). Konsep fase- fase amar ma’ruf nahi munkar ini berdasarkan sabda Nabi saw.:

Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah menghilangkannya dengan kemampuannya (tangannya), apabila tidak mampu maka dengan perkataan (lisan), apabila tidak mampu maka dengan mengingkari di dalam dan yang demikian itu adalah paling lemah-lemahnya keimanan. (HR. Muslim)

Dua fase yang pertama (ta’r īf dan wa’dh), legal dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan dua fase yang terakhir, (takhsy īn fī alqaul dan man’u bi alqahri), hanya menjadi wewenang pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah). Hal ini dikarenakan kedua fase terakhir ini sangat berpotensi menimbulkan fitnah jika dilakukan secara individual, dan amar ma’ruf nahi munkar haram dilakukan jika justeru akan menimbulkan kemungkaran (fitnah) yang jauh lebih besar.

Secara periodik, kemunkaran diklasifikasikan menjadi tiga. Kemunkaran yang telah ber- langsung, kemunkaran yang sedang berlangsung, dan kemunkaran yang akan berlangsung. Bentuk tindakan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang telah dilakukan adalah uq ūbah (hukuman), dan untuk kemunkaran yang akan terjadi adalah zajr (menjerakan atau meng- gagalkan), sedangkan untuk kemunkaran yang sedang berlangsung adalah daf’u (menghen- tikan). Dari tiga bentuk tindakan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, hanya tindakan daf’u (meng- hentikan) kemunkaran yang sedang berlangsung yang legal dilakukan oleh individu. Sedang- kan tindakan uq ūbah dan zajr atas kemunkaran yang telah atau akan terjadi, hanya menjadi wewenang pihak pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.[4]

Pengerusakan, pembakaran dan pengeboman terhadap tempat-tempat maksiat dalam skala besar, atau tindakan-tindakan kekerasan (anarkhisme, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme) dengan mengatasnamakan sebagai aktifitas amar ma’ruf nahi munkar, merupakan tindakan yang sudah di luar wilayah kewajiban individu atau kelompok, karena tindakan demikian sangat riskan justeru mengundang fitnah yang jauh lebih besar. Bahkan tindakan-tindakan destruktif demikian termasuk cara-cara ilegal dalam agama.

Sederhananya, cara-cara santun, humanis dan penuh hikmah serta tidak destruktif, adalah prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi ajaran ASWAJA. Prinsi-prinsip demikian

didasarkan pada firman Allah swt.:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ... (QS. Annahl: 125)

... Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Alqashah: 77)