Profil Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo
6.2. Profil Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo
Penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo, karena kerap terkena banjir, umumnya hidup dalam kondisi tidak memadai dilihat dari aspek kesehatan dan kelayakan hunian. Kondisi rumah yang ditempati sangat sederhana bahkan beberapa diantaranya jauh dari layak huni. Berdasarkan pengamatan penulis di kawasan pemukiman bantaran sungai di Kelurahan Sangkrah, rumah yang dihuni umumnya merupakan bangunan sederhana yang terbuat dari tembok semi permanen, bilik bambu, kayu bekas, dan ada pula yang terbuat dari kardus. Lingkungan disekitar tempat tinggal juga menunjukkan kondisi tidak layak huni. Tumpukan sampah tampak dimana-mana. Pada bagian dengan tumpukan sampah agak menggunung, bau busuk menyebar dengan aroma yang sangat menyengat dan dapat tercium dari jarak dua sampai tiga meter. Dibeberapa tempat terdapat bekas sampah yang dibakar dan masih mengelurkan asap, menimbulkan kesan kumuh menjadi tampak sangat nyata.
Selain itu terdapat puing-puing bekas bangunan rumah yang sudah dibongkar karena penduduknya pindah ke tempat relokasi, yang makin memunculkan kesan bahwa lingkungan tersebut tidak layak untuk dihuni. Untuk fasilitas jalan, kebanyakan warga menggunakan puncak tanggul yang dibangun Pemkot paska banjir bandang yang hampir menenggelamkan Kota Solo. Akibat kelebihan beban, kondisi jalan di atas tanggul yang dibangun guna menghindari banjir Selain itu terdapat puing-puing bekas bangunan rumah yang sudah dibongkar karena penduduknya pindah ke tempat relokasi, yang makin memunculkan kesan bahwa lingkungan tersebut tidak layak untuk dihuni. Untuk fasilitas jalan, kebanyakan warga menggunakan puncak tanggul yang dibangun Pemkot paska banjir bandang yang hampir menenggelamkan Kota Solo. Akibat kelebihan beban, kondisi jalan di atas tanggul yang dibangun guna menghindari banjir
Gambaran mengenai kondisi pemukiman penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo secara lebih detail juga dapat diperoleh dari studi yang dilakukan Murtanti Jani Rahayu dan Rutiana D (2007), staf pengajar UNS jurusan arsitektur dan administrasi negara, yang melakukan studi mengenai mengenai Strategi Perencanaan Pembangunan Pemukiman Kumuh dengan kasus pemukiman bantaran Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Pucang Sawit. Berdasarkan studi tersebut digambarkan bahwa kondisi fisik rumah penduduk bantaran sungai di Kelurahan Pucang Sawit yang terdiri dari 347 KK, sebagian besar masih menggunakan dinding bambu dan lantai semen serta bukaan (ventilasi) yang sangat minim. Selain itu rumah-rumah yang ada umumnya belum mempunyai fungsi ruang yang jelas sehingga tak jarang bagian teras rumah dijadikan sebagai tempat usaha kecil- kecilan. Hal ini juga dapat disaksikan di Kelurahan Sangkrah, dimana teras rumah dijadikan sebagai tempat berjualan pulsa (lihat gambar). Kondisi rumah penduduk bantaran berdasarkan studi tersebut dapat di kategorikan dalam bangunan permanen, semipermanen, dan non permanen; namun didominasi oleh rumah-rumah non permanen dengan rata-rata luasan 20 meter persegi. Ditempati 4-6 orang anggota keluarga atau kurang lebih 3,5 meter persegi per orang, akibatnya lahan yang ada hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk bangunan rumah (tanpa halaman) dan langsung berbatasan dengan jalan. Beberapa rumah bahkan tidak dilengkapi dengan kamar mandi. Untuk kebutuhan MCK mereka memanfaatkan fasilitas MCK umum yang dibangun Pemkot Solo, yaitu satu WC umum untuk tiap 40 KK.
Mengenai kondisi fisik lingkungan, kondisi jalan digambarkan rata-rata dalam keadaan berlubang dengan posisi berhimpit dengan rumah-rumah penduduk yang sekaligus berfungsi sebagai arena bermain anak-anak. Ketersediaan air bersih umumnya diperoleh dari sumur pompa yang digunakan bersama-sama oleh beberapa keluarga (bisa mencapai hingga delapan KK). Meski juga tersedia jaringan air bersih dari PDAM, namun belum menjangkau semua rumah penduduk. Jaringan air kotor juga masih sangat sederhana, yaitu berupa sarana pembuangan limbah yang dilakukan dengan membuat lubang di belakang rumah; sementara pembuangan air kotor yang berasal dari WC langsung dialirkan ke sungai. Jaringan listrik sudah tersedia, namun tidak semua rumah memilikinya. Hal yang menarik, kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai cukup tinggi, salah satu sebabnya mungkin karena mereka merasakan dampak langsung tindakan membuang sampah ke sungai. Fasiltias umum seperti sarana kesehatan dan sarana peribadatan serta sarana pendidikan, tersedia dalam radius yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal warga; sementara untuk sarana transportasi warga umumnya memanfaatkan sepeda, sepeda motor, dan mobil pribadi; serta banyak pula yang melakukan dengan berjalan kaki karena tidak tersedia transportasi umum.
Untuk kondisi sosial budaya, digambarkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata warga hingga SLTP dan berorientasi terhadap kecukupan nafkah dari pada kebutuhan fisik; sementara untuk keamanan terdapat pos kamling yang juga berfungsi sebagai tempat main kartu, bersantai, dan mengobrol. Tingkat keguyuban diantara warga relatif tinggi, diantaranya karena kerapnya mereka didera berbagai permasalahan. Untuk kondisi ekonomi, mayoritas (90%) warga merupakan buruh bangunan dan industri dan sebagian besar anggota keluarga mereka yang perempuan tidak bekerja. Untuk menunjang kebutuhan ekonomi mereka lebih mengandalkan memelihara hewan ternak berupa kambing, meski dilingkungan tersebut juga ditemui beberapa industri rumah tangga seperti pembuatan roti dan plastik meski dalam kondisi belum terlalu berkembang.