Non Government Organization (NGO) Kota Solo dan Upaya Memajukan Solo.

4.2.1. Non Government Organization (NGO) Kota Solo dan Upaya Memajukan Solo.

NGO Kota Solo sudah aktif berkontribusi bagi upaya memajukan Kota Solo sejak lama. Beberapa diantara lembaga yang sudah aktif bergiat di Solo diantaranya adalah Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), Konsorsium untuk Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), Yayasan Talenta, Yayasan Interaksi, Solidaritas Perempuan untuk Hak Asasi Manusia (SPEKHAM), Social Analysis and Research Institute (SARI), Yayasan Pembela Hukum Indonesia (YAPHI), dan lain-lain. Selain itu diakar rumput sebagai kelompok dampingan NGO tersebut juga eksis berbagai kelompok seperti paguyuban PKL, paguyubuan becak, paguyuban pengamen yang bernaung di bawah organsiasi payung Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (SOMPIS), selain organisasi atau paguyuban akar-rumput lainnya yang tidak menginduk kemanapun.

Terdapat dua titik pusat lingkaran inisiasi yang merupakan tempat persemaian gerakan. Yang pertama adalah diskusi non-formal isu-isu otonomi daerah yang berlangsung setiap malam di warung hik (hidangan kampung), yang berlangsung sebagai respon atas menguatnya tuntutan peningkatan representasi masyarakat sipil dalam proses perumusan kebijakan. Diskusi antara para aktifis NGO dengan masyarakat lapis grassroot ini ketika berlangsung makin intens (1999), ditindak-lanjuti dengan dibentuknya task force dengan nama Forum Studi Demokrasi dan Keadilan Sosial (FSDKS) yang bergiat mengembangkan isu-isu demokrasi lokal. Adapun arena persemaian gerakan yang kedua adalah aktifitas sejumlah aktifis NGO yang diprakarsai oleh

Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) 18 yang mengembangkan rangkaian program lokakarya dengan tema otonomi daerah, desentralisasi, dan keuangan daerah.

Pada Januari 2000 dua titik pusat lingkaran inisiasi ini bertemu untuk mengembangkan kerangka aksi yang lebih tegas dan melibatkan stakeholder lebih luas dalam rangka merespon isu otonomi daearah, dengan dibentuknya forum sinergitas antara CSO/NGO dengan akademisi dan birokrasi (perluasan FSDKS) yang difasilitasi LPTP. Sinergi ini menghasilkan studi bersama tentang lembaga demokrasi di tingkat kelurahan, yaitu Kelompok Kajian Lembaga Demokrasi Masyarakat (KKLDM). Bersama Kantor Bangdes, seluruh camat, dan unsur LKMD kemudian diselenggarakan forum assessment bersama masyarakat di 51 kelurahan, yang menghasilkan konsensus penyusunan perda mengenai lembaga tingkat kelurahan sebagai pengganti LKMD. Beberapa inisiasi lanjutan pun bermunculan, sementara pengorganisasian masyarakat basis dengan memanfaatkan peluang kerangka legal sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, juga terus dikembangkan. Hasil dari semua itu peraturan daerah yang mengatur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) akhirnya berhasil didorong untuk disusun, yaitu perda yang mengatur tata cara pemilihan pengurus dan tata kerja LPMK yang lebih merepresentasikan kepentingan masyarakat. Di dalam perda tersebut juga termaktub aturan tentang pemisahan kepengurusan LPMK dari struktur kelurahan.

18 Bergabung didalam LPTP sejumlah NGO yaitu KOMPIP, Gita Pertiwi, SPEKHAM, LESKAP, dan SARI.

Selain berhasil memperjuangkan terbentuknya lembaga demokrasi di tingkat kelurahan sebagai arena bagi para aktifis NGO, kelompok dampingan, dan masyarakat umumnya untuk terlibat dalam proses pembangunan (melalui LPMK), kontribusi lainnya NGO Solo adalah dalam melakukan penguatan keterlibatan kelompok sektoral perkotaan (pedagang asongan, PKL, kelompok pengamen, bahkan PSK) dalam proses perencanaan dan penganggaran (penetapan alokasi dana APBD) yang berhasil mendorong dikeluarkannya berbagai kebijakan pro-poor. Diantaranya adalah Taman Anak Cerdas dan Sekolah Plus bagi anak-anak miskin yang didirikan di kampung eknlave kemiskinan yang semuanya tidak dipungut biaya, program renovasi rumah tidak layak huni dan penataan kampung kumuh bersubsidi, program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta berupa asuransi kesehatan dengan premi seribu rupiah sebagai penggantian biaya rumah sakit untuk warga yang membawa keterangan tidak mampu dari kelurahan, serta penggantian klaim biaya kesehatan 50 persen untuk warga yang dinyatakan mampu.

Untuk menjaga keberlanjutan keterlibatan kelompok sektoral perkotaan dalam penetapan APBD tersebut, NGO Solo juga berhasil menginisiasi dikeluarkannya regulasi yang menjadi payung hukum pada tahun 2002, dengan dikeluarkan SK Walikota yang mengatur hal tersebut dan yang kemudian disempurnakan dengan SK Walikota No. 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaran dan Petunjuk Teknis Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang. Keberhasilan NGO Solo menginisiasi musrenbang isu sektoral ini bahkan menjadi ikon keberhasilan keterlibatan kelompok sektoral perkotaan, yang kemudian direplikasi diberbagai daerah. Diantaranya oleh PATTIRO (Kab. Lebak) dan KELOLA Manado (Manado) yang melakukan upaya serupa karena proses belajar dari NGO Solo.

Hal lain yang tidak kalah penting, melalui upaya para aktifis NGO Kota Solo kualitas musrenbang di Kota Solo dapat terus ditingkatkan terutama terkait isu-isu krusial musrenbang seperti kualitas usulan ( out-put ) musrenbang, optimalisasi keterlibatan masyarakat dalam msurenbang, dan adanya jaminan bahwa usulan program dari masyarakat diakomodir oleh SKPD (OPD). Peningkatan kualitas usulan musrenbang diwujudkan melalui adanya kegiatan pendampingan penyelenggaraan musrenbang yang difasiltiasi (pembiayaannya) oleh Pemkot (dengan melibatkan SDM dari masyarakat sipil), optimalisasi keterlibatan masyarakat melalui musrenbang isu sektoral, dan jaminan akomodasi usulan melalui penyelenggaraan forum pembahasan terbuka draft usulan perencanaan pembangunan yang dapat diikuti masyarakat sebelum usulan program diajukan ke DPRD. Kemitraan dengan Pemkot karenanya telah lama dipraktekkan di Kota Solo (tahun 2000), jauh sebelum gagasan kemitraan tersebut diterima oleh kebanyakan NGO ditempat lain. Gerakan masyarakat sipil Kota Solo bahkan dapat dikatakan menjadi role model praktek kemitraan antara pemerintah dengan NGO.

Kontribusi masyarakat sipil Kota Solo lainnya terkait dengan peningkatan ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan kota (musrenbang). Jika musrenbang di kota/kabupaten lain hanya melalui jalur kewilayahan atau teritorial (musrenbang desa atau kelurahan) sebagaimana diatur didalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan PP No. 08 tahun 2008 tentang Tahapan Musrenbang, masyarakat Kota Solo juga dapat terlibat melalui musrenbang isu sektoral (pembahasan perencanaan pembangunan isu-isu strategis seperti penguatan kelompok miskin dan marginal) melalui Forum SKPD (Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Pelaksanaan Forum SKPD tersebut juga sudah memiliki payung hukum meski baru berupa Perwali, yaitu Perwali No. 27A Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan, Forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota.

Produktifitas kontribusi NGO Solo dalam memajukan kota tersebut tak lepas dari intervensi yang datang dari luar Kota Solo (dari penggiat CSO, pemerintah pusat, maupun lembaga donor), yang mengembangkan aktifitasnya hingga ke Kota Solo, karena daerah ini dinilai prospektif. Satu diantaranya terjadi pada tahun 2000, saat didirikannya Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan

Institusi Publik (KOMPIP) oleh tiga NGO (Gita Pertiwi, Leskap dan Inres) dalam rangka merespon peluang skema pembiayaan kegiatan dari The Ford Foundation . Konsorsium ini memfokuskan diri pada pengorganisasian kelompok sektoral dan pengembangan forum warga di Boyolali (FORABI) dan Sragen (FORMAS), dengan tujuan meningkatkan keterlibatan multi- stakeholder yang terorganisir sebagai representasi masyarakat sipil, dalam penyelenggaraan tata kepermintahan daerah (UU No. 22 tahun 1999).

Pada kurun waktu yang hampir sama, intervensi lain dengan menggunakan dukungan The Ford Foundation , juga terjadi. Dengan mengambil isu kritis partnership , dikembangkan model kerjasama multi pihak, yaitu kerjasama antara Pemkot Solo (diwakili oleh Ketua Bapeda, Drs. Qomarudin MM), perguruan tinggi (Universitas Sebelas Maret sebagai representasi masyarakat akademik yang diwakili Pembantu Rektor III UNS, Drs. Totok Sarsito SU, MA), serta aktifis NGO (diwakili oleh Agus Dody Sugiartoto dari Gita Pertiwi). Kegiatan yang difasilitasi oleh aktifis NGO ini (Juni Thamrin, anggota Board AKATIGA Bandung), berhasil membentuk IPGI ( Indonesian Partnership on local Governance Initiative ) Solo sebagai bagian dari jaringan IPGI didua kota lainnya, yaitu Bandung dan Dumai. Melalui IPGI yang memfokuskan diri pada pengembangan mekanisme perencanaan pembangunan partisipatif (musrenbang), pada tahun 2001berhasil dilakukan uji coba fiscal devolution dana blockgrant diseluruh kelurahan (menggunakan parameter, luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dan pengumpulan PBB, dengan tujuan agar pendistribusian dana secara proporsional tersebut dapat mendekati kebutuhan masing-masing kelurahan selain memenuhi prinsip keadilan penganggaran). Jika pada saat uji coba tiap kelurahan mendapatkan 50 juta rupiah, program yang terus berlanjut hingga kini tersebut selain sudah mendapat payung hukum (Perda No. 11/2011) tentang Lembaga Ketahanan Kelurahan menggantikan Perda No. 7/2002 tentang Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan atau LPMK) dan sudah terlembagakan (LPMK yang pada tahun 2011 diubah namanya menjadi LKK), alokasi anggaran terus meningkat mencapai 10 Milyar (rata-rata kelurahan mendapat hampir 200 juta lebih). Karena kemanfaatannya bagi pengembangan demokratisasi dilapis bawah (partisipasi masyarakat dalam pembangunan), program telah direplikasi dibeberapa daerah.

Intervensi lain dari luar adalah program kerjasama UNDP-Depdagri, yaitu program Breakthrough Urban Initiative Local Development (BUILD) pada tahun 2000. Ddengan fokus isu efisisensi pelayanan publik dan partisipasi masyarakat ( reform bidang pelayanan publik, terutama perizinan), BUILD ikut memperkuat proses pengembangan mekanisme perencanaan partisipatif melalui fasilitasi pelatihan fasilitator kelurahan.Penguatan yang dilakukan IPGI Solo dan BUILD melalui pelatihan fasilitator kelurahan dan pendampingan menghasilkan model penyelenggaraan musyawarah perencanaan yang lebih baik dilihat dari kuantitas keterlibatan warga, antusiasme menyampaikan aspirasi, serta hasil-hasil yang dikemukakan.

Selain itu sebagai kelanjutan program BUILD, pada tahun 2003 UNDP memperkenalkan program City Development Strategy (CDS) yang secara khusus diorientasikan untuk penguatan kelibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan partisipatif. Tim Kerja Sukarela (TKS) yang difasilitasi CDS mengembangkan skema partisipatory assessment bersama kelompok komunitas basis, melalui serangkaian pelatihan dan focused group discussion (FGD) menggunakan metode Participaroy Rural Apraisal dan Participatory Poverty Assessment (PPA) menghasilkan gambaran lebih menyeluruh mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat Kota Surakarta. Hasil assessment ini tidak secara langsung direspon oleh Pemkot, tetapi di kemudian hari diwujudkan dalam berbagai kebijakan program pro-poor. Misalnya, Taman Anak Cerdas, Sekolah Plus yang semuanya gratis, dan didirikan di kampong eknlave kemiskinan, Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta, asuransi kesehatan dengan premi seribu per tahun. Penggantian biaya rumahsakit total untuk warga yang membawa keterangan tidak mampu dari kelurahan, dan penggantian klaim biaya kesehatan 50 persen untuk warga yang dinyatakan mampu. Juga program renovasi rumah tidak layak huni dan penataan kampung kumuh bersubsidi.

Pada era kepemimpinan Jokowi, kiprah NGO di Solo tetap menonjol. Meski tidak memosisikan diri sebagai kekuatan oposisi, NGO Solo (diantaranya melalui Konsorsium Solo), mencoba tetap menjalankan peran asasinya sebagai kekuatan penyeimbang. Selain tetap aktif mengembangkan partisipasi kelompok sektoral perkotaan kedalam bentuk yang lebih luas, mereka terlibat aktif mendampingi para PKL dalam jamuan makan yang diadakan Sang Walikota. Hal ini sebagai bentuk pendampingan terhadap para PKL dari kemungkinan mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari Negara (Walikota). Beberapa NGO yang cukup aktif terlibat dalam kasus yang diteliti diantaranya adalah Konsorsium Solo (aliansi sejumlah NGO di Kota Solo), SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta), KOMPIP (Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik), PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) Solo Raya, dan Paguyuban Pedangkaliso (Pedagang Kaki Lima Kota Solo).