Kebijakan, Strategi, dan Tindakan Reform Relokasi Pemukiman di Bantaran Sungai Bengawan Solo

6.3. Kebijakan, Strategi, dan Tindakan Reform Relokasi Pemukiman di Bantaran Sungai Bengawan Solo

Kebijakan untuk mengatasi permasalahan pemukiman bantaran sungai secara umum berada di bawah tanggung jawab Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak dan Keluarga (Bapermas P3AK), yang salah satu tupoksinya adalah Kebijakan untuk mengatasi permasalahan pemukiman bantaran sungai secara umum berada di bawah tanggung jawab Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak dan Keluarga (Bapermas P3AK), yang salah satu tupoksinya adalah

Pendanaan kegiatan bersumber dari APBN dan APBD. Dana APBN diperoleh dari Menkokesra, yaitu dana hibah untuk korban banjir bandang yang terjadi pada tahun 2007, yang diberikan kepada 1.571 rumah dengan besar dana bantuan 8,5 juta tiap rumah. Sedangkan sisa anggaran sebesar 12 juta rupiah untuk pembelian lahan dan 1,5 juta untuk fasum dan fasos (untuk 1.571 rumah) serta biaya ganti rugi tanah SHM; menjadi tanggungan APBD meski Pemkot Solo juga masih mencoba melobi sejumlah pihak (termasuk pemerintah pusat) untuk mendanai. Hal itu terjadi karena Pemkot memodifikasi kebijakan menjadi penataan pemukiman penduduk bantaran dari sekedar pemberian dana renovasi rumah korban banjir, dengan argumen bahwa lokasi rumah yang ditempati warga menyalahi peruntukkan dan membahayakan keselamatan warga.

Kebijakan relokasi dilaksanakan berdasarkan SK Walikota Surakarta No. 159/105/2007 tentang Program Penanganan Paska Banjir Kota Surakarta yang mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai; yang menyatakan pelarangan mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha di daerah sempadan. Selain SK Walikota dasar hukum lainnya adalah Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai (pasal 26) yang menyatakan pelarangan mendirikan, mengubah, atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang.

Program relokasi diputuskan dilaksanakan dengan memprioritaskan pada pemukim ilegal terlebih dahulu karena belum tercapai kesepakatan harga ganti rugi dengan penduduk pemukim legal atau mereka yang memiliki Surat Hak Milik (SHM), selain problem ketersediaan anggaran. Menurut Sukendar, Kabid Pemberdayaan Bapermas P3AK yang penulis wawancarai pada 3 November 2011, sejak tahun 2009 hingga 2011 sudah direlokasi sebanyak 970 rumah yang keseluruhannya adalah pemukim ilegal, sementara sisanya, yaitu sekitar 538 rumah yang terdiri dari 507 rumah yang memiliki sertifikat hak milik (63 orang dinyatakan gugur karena nama fiktif dan data dobel), akan direlokasi secara bertahap hingga 2014. Sebagaimana diketahui penduduk bantaran terdiri dari dua kelompok, yaitu mereka yang menempati tanah negara (pemukim ilegal) dan mereka yang memiliki sertifikat hak milik. ( www.solopos.com , “538 Warga Bantaran Masuk Daftar Tunggu Relokasi, 7 Januari 2010).

Sementara itu saat ini tengah dilakukan persiapan relokasi kepada warga bantaran yang memiliki SHM. Hingga pertengahan tahun 2012 penetapan harga ganti rugi masih terus dilakukan, yaitu melalui tim appraisal yang bekerja untuk menetapkan harga. Sebagian sudah tercapai kesepakatan dan sedang dalam proes relokasi, namun masih terdapat sejumlah warga yang keberatan (tidak setuju) dengan harga yang ditetapkan dan menolak pindah. Terhadap mereka yang menolak, Pemkot memutuskan tidak memaksa, namun juga tidak akan memberikan dana bantuan hibah banjir dari Menkokesra sebagaimana tuntutan sebagian warga yang menolak pindah, karena pemberian dana baru dapat dilakukan dengan persyaratan pindah dari bantaran. Sedangkan warga yang menempati tanah negara seluruhnya sudah dipindahkan dan hanya Sementara itu saat ini tengah dilakukan persiapan relokasi kepada warga bantaran yang memiliki SHM. Hingga pertengahan tahun 2012 penetapan harga ganti rugi masih terus dilakukan, yaitu melalui tim appraisal yang bekerja untuk menetapkan harga. Sebagian sudah tercapai kesepakatan dan sedang dalam proes relokasi, namun masih terdapat sejumlah warga yang keberatan (tidak setuju) dengan harga yang ditetapkan dan menolak pindah. Terhadap mereka yang menolak, Pemkot memutuskan tidak memaksa, namun juga tidak akan memberikan dana bantuan hibah banjir dari Menkokesra sebagaimana tuntutan sebagian warga yang menolak pindah, karena pemberian dana baru dapat dilakukan dengan persyaratan pindah dari bantaran. Sedangkan warga yang menempati tanah negara seluruhnya sudah dipindahkan dan hanya

Lalu apa yang menjadi tujuan pelaksanaan program relokasi? Program relokasi selain ditujukan untuk penataan kawasan bantaran (mengembalikan fungsi bantaran sungai), juga dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal dibantaran Sungai Bengawan Solo dapat hidup layak dengan kepemilikan rumah yang legal (memiliki SHM atas rumah yang ditempati). Karena itu pula daan tidak diberikan dalam bentuk fresh money akan tetapi dalam bentuk bangunan fisik yang dapat dikerjakan sendiri oleh warga, berkelompok, atau menyerahkan pengerjaan pembangunan rumah (termasuk penetapan lokasi relokasi) kepada Pemkot. Selain itu penyerahan sertifikat juga baru dilakukan, setelah rumah ditempati. Untuk menjamin bahwa warga tidak menghadapi kendala hukum (terutama jika mereka memutuskan membangun rumah sendiri atau berkelompok), Pemkot menyediakan tenaga bantuan hukum (notaris) kepada pokja yang dibentuk warga, dengan pembiayaan dari Pemkot. Notaris melakukan pendampingan hukum kepada pokja sehingga tidak terjadi penipuan (membeli tanah sengketa, sertifikat palsu, dan lain-lain).

Sedangkan tahapan pelaksanaan kebijakan relokasi pemukiman penduduk bantaran sungai Bengawan Solo adalah tahap sosialisasi (terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu sosialisasi, pembentukan tim, dan penyusunan konsep relokasi, tahap Pelaksanaan relokasi: masuk dalam tahapan ini kegiatan pendataan, pengadaan tanah, rekonstruksi bangunan, pelaksanaan anggaran, penetapan lokasi relokasi, dan pembangunan perumahan lokasi, dan pelaporan; dan tahap pengawasan (aktor penting dalam tahap ini adalah Pemkot dan kelurahan. Pemkot dalam hal ini adalah Bapermas, sedangkan kelurahan dalam pelaksanaannya dibantu oleh Pokja dan sub pokja).

Meski kebijakan sudah didisain sedemikian rupa, disadari adanya kelemahan kebijakan. Diantaranya bahwa perlu dialokasikan dana untuk pembiayaan sejumlah pembiayaan yang tidak diperhitungkan seperti untuk pemasangan listrik (travo PLN), air, dan drainase (fasum dan fasos). Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut Pemkot mengupayakan mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah pusat melalui program-program yang relevan (Kementrian PU misalnya) dan beberapa diantaranya sudah diperolah. Selain itu paska relokasi berjalan, disadari adanya kebutuhan terhadap program pemberdayaan ekonomi karena warga relokasi (terutama mereka yang tinggal di tanah negara) umumnya adalah PKL, buruh, dan tukang becak. Ketika mereka dipiondah ke lokasi baru, warga berhadapan dengan program kelanjutan pekerjaan mereka ditemapt baru. Terkait hal itu Bapermas merencanakan mengusulkan program pemberdayaan ekonomi warga paska kebijakan relokasi berjalan.

Problem lainnya adalah bahwa rumah yang sudah diberikan kepada warga relokasi ada kemungkinan dipindah tangankan dan warga kembali menjadi dalam keadaan homeless . Tidak sedikit kemungkinan mereka akan kembali ke bantaran sungai, terutama pada lokasi yang belum dilaksanakan penghijauan (menjadi daerah terbuka hijau). Karena itu warga diwajibkan untuk menandatangani perjanjian bahwa rumah tidak boleh memperjual-belikan rumah relokasi sebelum lima tahun sejak pemberian sertifikat. Jika terjadi pelanggaran warga dapat dikenai sanksi.

Terkait dengan alasan warga untuk dipindahkan, menurut Kabid Pemberdayaan Bapermas hal itu lebih banyak karena alasan jauh dari tempat kerja. Sebagaimana diketahui lokasi relokasi berada agak di pinggir Kota, sementara lokasi awal berada di tengah kota. Sebagai contoh jarak dari Kelurahan Sangkrah ke Balaikota hanya sekitar satu kilometer. Kampung Losari lokasinya sedikit lebih jauh, namun msih dalam jarak tempuh yang relatif dekat (bisa ditempuh warga dengan bersepeda bahkan berjalan kaki). Sementara lokasi relokasi, mengingat harga tanah yang disediakan nomianlnya tidak besar (12 juta), umumnya berada di daerah Mojosongo. Mereka yang agak beruntung memperoleh lokasi dekat dengan jalan utama, sementara yang lain berada agak jauh dari jalan utama (dua sampai lima kilo meter). Selain itu ada pula mereka yang menolak karena menganggap bahwa bantuan yang diberikan terlalu kecil (tidak memadai), dan khsuus Terkait dengan alasan warga untuk dipindahkan, menurut Kabid Pemberdayaan Bapermas hal itu lebih banyak karena alasan jauh dari tempat kerja. Sebagaimana diketahui lokasi relokasi berada agak di pinggir Kota, sementara lokasi awal berada di tengah kota. Sebagai contoh jarak dari Kelurahan Sangkrah ke Balaikota hanya sekitar satu kilometer. Kampung Losari lokasinya sedikit lebih jauh, namun msih dalam jarak tempuh yang relatif dekat (bisa ditempuh warga dengan bersepeda bahkan berjalan kaki). Sementara lokasi relokasi, mengingat harga tanah yang disediakan nomianlnya tidak besar (12 juta), umumnya berada di daerah Mojosongo. Mereka yang agak beruntung memperoleh lokasi dekat dengan jalan utama, sementara yang lain berada agak jauh dari jalan utama (dua sampai lima kilo meter). Selain itu ada pula mereka yang menolak karena menganggap bahwa bantuan yang diberikan terlalu kecil (tidak memadai), dan khsuus