Proses Relokasi Pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo.
6.4. Proses Relokasi Pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo.
Kebijakan relokasi dikeluarkan paska terjadinya banjir besar di Solo pada akhir bulan Desember 2007 yang mengakibatkan 1.650 rumah terendam banjir dan 8.000 jiwa diungsikan (Radar Solo, 27 Desember 2007). Dengan tujuan mendayagunakan dana bantuan banjir yang diberikan pemerintah pusat. Sebagaimana diketahui, beberapa hari setelah banjir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi korban banjir dan memberikan bantuan dana (untuk renovasi rumah yang terkena banjir). Dengan pemikiran bahwa bantaran sungai merupakan daerah terlarang untuk hunian, Pemko t kemudian “mengalihkan” dana bantuan tersebut (tiap rumah mendapatkan bantuan dana renovasi sebesar 8,5 juta) dalam bentuk lain, yaitu relokasi: membangun kembali akan tetapi bukan dibantaran sungai. Kebijakan bantuan pun sedikit berubah, selain mendapatkan bantuan dana 8,5 juta (dari pemerintah pusat), mereka juga akan mendapatkan dana 12 juta dari APBD Provinsi dan Daerah (dana untuk pembelian lahan dan membangun rumah). Perubahan ini tidak didukung sepenuhnya oleh penduduk bantaran sungai, terutama mereka yang memiliki sertifikat hak milik (SHM). Mereka keberatan direlokasi karena menganggap keberadaannya di bantaran sungai tersebut legal. Selain itu mereka berkeberatan jika disamakan keberadaannya (dalam bentuk ganti rugi yang diberikan Pemkot) dengan warga yang tidak memiliki SHM.
Warga yang memiliki SHM ini awalnya menginginkan agar uang bantuan banjir dari pemerintah pusat diberikan saja kepada warga, yang akan digunakan untuk merenovasi rumah mereka yang rusak. Hal tersebut diantaranya disuarakan Maryono, salah seorang warga bantaran yang tinggal di Semanggi. Penolakan juga terjadi karena warga menilai Pemkot “mengelabui” warga, karena tidak menjelaskan terjadinya perubahan rencana bantuan renovasi rumah menjadi relokasi, sejak awal kegiatan pendataan yang dilakukan tidak lama setelah terjadinya banjir. Agus Sumaryawan yang menjadi kordinator SKoBB dan aktif menggerakkan upaya penolakan relokasi. Karenanya ketika kabar mengenai relokasi semakin jelas terdengar, penolakan warga semakin meningkat, terutama dari mereka yang memiliki SHM. Penolakan tersebut bahkan berujung pada pengajuan class action oleh warga baik kepada Pemkot Solo maupun kepada Menkokesra, yang awalnya dilakukan oleh warga bantaran di Kelurahan Semanggi, Pasar Kliwon; atas nama Solidaritas Korban Banjir Bantaran Bengawan Solo (SKoBB). Meski awalnya dilakukan oleh warga Semanggi, penolakan menjadi meluas setelah informasi mengenai class action tersebut tersebat makin luas akibat pemberitaan dimedia massa.
Akibat class action tersebut Pemkot Solo mendapat teguran dari Komnas HAM dan diminta untuk melakukan dialog dengan warga agar proses relokasi tidak mengarah pada proses hukum pidana atau perdata, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang komisionernya, Johny Nelson Simanjuntak. ( www.solopos.com , 18 September 2011, Komnas HAM Warning Pemkot Solo Soal Relokasi). Kegiatan relokasi yang sudah berjalan (untuk warga yang tinggal di tanah negara) pun dihentikan sementara untuk menghormati proses peradilan yang berjalan, dan karena hal itu Pemkot Solo sempat didemo warga (dari Pucang Sawit) yang mendatangi balaikota meminta kepastian nasib mereka terkait rencana relokasi ( www.solopos.com , 1 Maret 2010, Warga Bantaran Geruduk Balaikota). Selain itu kegiatan relokasi tahap berikutnya, yaitu relokasi untuk warga yang memiliki tanah hak milik, belum dapat dilaksanakan karena penghentian kegiatan relokasi tersebut. Penghentian kegiatan tersebut selain itu juga tidak dapat dielakkan, karena Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang semula sudah menyetujui pemberian anggaran meninjau kembali kebijakan tersebut (pemberian bantuan tahap dua). Dan mengingat ketersediaan anggaran yang terbatas, Pemkot perlu mencari cara lain mengingat kegiatan relokasi tidak mungkin hanya mengandalkan pembiayaan seluruhnya dari APBD (Kota).
Meski akhirnya class action dicabut oleh SKoBB pada awal tahun 2011 ( www.solopos.com , SKoBB Siap Cabut Class Action , 26 Januari 2010) setelah sebelumnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Solo yang membenarkan tindakan Pemkot untuk merelokasi dan bantuan dari pemerintah pusat kemudian turun ( www.solopos.com , Hakim Tolak Gugatan Warga Sola Bantuan Banjir Tahun 2007 , 17 Feberuari 2010), pelaksanaan program relokasi menjadi terhambat dan tidak dapat diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan yaitu seluruhnya selesai pada akhir Agustus tahun 2010, sebagaimana deadline yang diberikan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS). Meski mencoba menuntaskan, mengingat berbagai kendala yang ada, hingga akhir Desember 2011 masih tersisa 578 rumah yang belum direlokasi dari 1.571 rumah yang sudah masuk pendataan. Dari jumlah tersebut, 368 rumah diantaranya berstatus hak milik, meski status kepemilikan tersebut masih harus diverifikasi karena ada diantaranya yang hilang terbawa banjir, belum balik nama sementara pemilik yang namanya tertera sudah meninggal dunia, ada pula yang status jual beli dibawah tangan, dan banyak pula yang masih berupa pikukuh . Adapun jumlah warga yang sudah direlokasi keseluruhannya berjumlah 966 rumah, ditambah 27 rumah yang tengah diproses kepindahannya. ( www.solopos.com ).
Untuk menyelesaikan program relokasi yang masih tersisa, Pemkot Solo berhadapan dengan persoalan keterbatasan anggaran yang terjadi baik karena pembatalan bantuan dari pemerintah pusat (untuk mendapatkan dana bantuan tambahan dana selain dana hibah banjir), akibat class action . Selain itu meningkatnya kebutuhan anggaran akibat adanya perbedaan taksiran harga ganti rugi tanah hak milik warga bantaran (sekitar 200-300 ribu) dengan taksiran harga dari tim
appraisal yang dibentuk untuk menentukan penentuan harga ganti rugi, 24 juga menambah besar kebutuhan anggaran yang harus dipenuhi Pemkot Solo. Sebagai contoh di Kelurahan Sewu misalnya, ditetapkan harga ganti rugi per meter Rp 490.000 hingga Rp492.000, diluar harga bangunan sebesar Rp 8,5 juta mengikuti harga yang ditetapkan untuk pembiayaan membangun rumah warga di tanah negara yang telah dibangun lebih dulu. Selain itu besarnya peningkatan anggaran ini juga dapat dilihat dari pemberian ganti rugi warga bantaran dengan tanah hak milik tahap I, yaitu 35 KK yang berada di Kelurahan Pucang Sawit dan Kelurahan Sewu, yang menghabiskan anggaran hingga 1,8 miliar.
Untuk merelokasi 578 warga yang belum direlokasi, yang kini mulai melunak dan menerima relokasi bahkan meminta untuk segera direlokasi, Pemkot diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar 40 milyar lebih. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut, Pemkot Solo diantaranya mendapatkan pendanaan dari APBD sebesar 7 milyar untuk tahun anggaran 2012, sementara kebutuhan dana sisanya meski sebelumnya sempat mendapat janji akan dibantu oleh Menkokesra baik dengan sharing 30% daerah dan 70% pusat atau separuh-separuh ( www.soloposfm.com , Menkokesra Siap Bantu Dana Relokasi, 8 Januari 2012), sedang diupayakan mendapatkan bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Akan tetapi hal ini juga tidak mudah karena menghadapi kendala yaitu belum teradapa Badan penanggulangan Bantuan Daerah (BPBD) di Kota Solo sementara untuk membentuknya diperlukan waktu yang tidak sedikit. Karena itu pula sedang diupayakan dilakukan melalui BPBD Provinsi, meski juga belum mendapatkan mendapatkan kepastian ( www.solopos.com , Relokasi Warga Bantaran: Pemkot Solo Upayakan Rp 42 Miliar Lewat BPBD Jateng, 21 Mei 2012). Sedangkan anggaran proyek relokasi yang sudah dikeluarkan yang keseluruhannya berasal dari dana APBD tahun 2007 dan 2008, berjumlah 13,38 miliar dengan ketentuan tiap WPH (Warga Penerima Hibah) menerima alokasi anggaran sebesar Rp. 21.5 juta dengan perincian: (1)Biaya pengadaaan tanah dengan luas antara 50m2 hingga 60m2 per rumah, yaitu senilai 12 juta atau rata-rata Rp. 200.000/m2, (2) Biaya konstruksi rumah senilai Rp. 8,5 juta per rumah, (3) Dana hibah untuk vasum maksimal 15% dari
24 Sebagai contoh untuk memberikan dana ganti rugi bagi warga bantaran dengan tanah hak milik tahap I, yaitu 35 KK yang berada di Kelurahan Pucang Sawit dan Kelurahan Sewu, dibutuhkan
dana 1,8 miliar. Sementara jumlah warga bantaran dengan tanah hak milik keseluruhannya berjumlah 378 atau diperlukan anggaran 40 miliar lebih.
total dana hibah pengadaan tanah atau maksimal Rp. 1,8 juta. Selain itu, problem yang tidak kalah serius terkait dengan kelengkapan administrasi tanah hak milik warga. Sebagai gambaran, dari 125 orang yang sedianya direlokasi di Kelurahan Sewu, hanya 18 yang sudah lengkap berkas administrasinya.
Terlepas dari hal tersebut, proses relokasi untuk pemukiman ilegal (warga yang tinggal ditanah hak milik) dari bantaran Sungai Bengawan Solo relatif berjalan lancar dan hampir tuntas. Pekerjaan rumah yang tersisa sebagian besar lebih berkenaan dengan relokasi warga bantaran yang memiliki tanah hak milik. Kesungguhan Pemkot untuk menyelesaikan kebijakan relokasi juga tetap diperlihatkan, diantaranya dari pengajuan kembali pendanaan kepada DPRD untuk tahun anggaran 2013 dan telah mendapat respon positif berupa persetujuan pendanaan sebesar 8 miliar. Selain itu komitmen Pemkot Solo untuk menuntaskan proses relokasi tetap terlihat, dengan terus mengupayakan bantuan pendanaan apakah dari pemerintah pusat atau dari Pemprov Jateng ( www.antarajateng.com , Relokasi Warga Bantaran Sungai Bengawan Solo Dilanjutkan, 5 November, 2012).