LOCAL REFORM DI KOTA SOLO PADA ERA KEPEM
UNIVERSITAS INDONESIA LOCAL REF ORM DI KOTA SOLO PADA ERA JOKOWI (TAHUN 2005-2012):
Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor
pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo
RINGKASAN DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi
WAHIDAH R BULAN 0706222851
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPOK FEBRUARI, 2013
Bagian Pertama PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Sebagai pemegang otoritas tertinggi, kepala daerah merupakan aktor penting dalam proses reform . Hal itu karena dengan sejumlah kewenangan yang dimiliki (UU No. 32/2004 pasal 21), kepala daerah dapat mengeluarkan aneka kebijakan guna mengupayakan terjadinya perubahan. Akan tetapi dengan memperhatikan bahwa tidak semua kepala daerah berhasil mengupayakan reform , faktor kewenangan ( official power ) semata, ternyata belumlah memadai untuk mendorong perubahan.
Merujuk praktek sukses dibeberapa daerah, inisiatif reform (gagasan inovatif) dan keberanian kepala daerah, beberapa faktor yang turut menstimuli terjadinya perubahan. 1 Melalui inisiatif reform kepala daerah dapat menetapkan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan dan keluar dari mainstream (regulasi, kerumitan prosedur, dan lain-lain) yang meng- constrain tindakannya. Karena memiliki kekuatan otoritatif, inisiatif relatif lebih mungkin berkembang ke
arah perubahan dibanding jika dimotori oleh staf (birokrasi). 2 Sedangkan faktor keberanian, penting mengingat gagasan perubahan terkadang harus berhadapan dengan sejumlah kendala untuk dapat diimplementasikan. 3 Hal itu sejalan dengan penelusuran redaksi Majalah Tempo 4 terhadap sejumlah kepala daerah, yang menemukan adanya sejumlah karakter “khas” kepala daerah yang mampu mendorong reform , yaitu: egaliter, berani, dan mau menyelesaikan masalah dengan cara tidak biasa (inovatif).
Kemampuan aktor kepala daerah membangun relasi ( connecting ) dengan multi aktor (struktural maupun individual), merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan. Kepala daerah yang tidak mampu membangun hubungan (kekuasaan) dengan DPRD dapat “tersandera” secara
politik akibat usulan anggaran yang diajukan tidak mendapat persetujuan. 5 Kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan birokrasi sebagai mesin penggerak roda pemerintahan, merupakan hal lain yang tak kalah penting. Meski secara formal birokrasi berada di bawah kontrol kepala daerah, mendapatkan kepatuhan adalah hal yang berbeda karena konsep otoritas mengacu
pada hubungan antar orang per orang dan bukan dengan jabatan perseorangan (Blau dan Meyer). 6
1 Hal itu setidaknya dapat dilihat pada cerita sukses beberapa kepala daerah berikut: Winasa (Kabupaten Jembrana) dengan inovasi Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang memberikan jamianan kesehatan kepada seluruh warga Jembrana tanpa
terkecuali (universal coverage health), Gamawan Fauzi (Kabupaten Solok) dengan penghilangan mata anggaran honorarium pelaksana proyek, Rustriningsih (Kabupaten Kebumen) dengan spirit mengembangkan transparansi melalui kegiatan Selamat Pagi Bupati dan pelaksanaan tender proyek di alun-alun kota, dan Jokowi (Kota Surakarta) dengan pendekatan non violence dalam penataan PKL.
2 Sebagai contoh inisiatif yang dilakukan Tri Rismaharini semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Pertamanan, jauh lebih dapat berkembang setelah ia menjadi Walikota Surabaya (2010-2015). Begitu pula yang terjadi di
Kota Depok, Jawa Barat. Penataan PKL dengan cara merelokasi (pendekatan non kekerasan) telah pernah dilakukan pada
tahun 1999. Namun karena hanya dimotori oleh Kepala Bidang Ekonomi di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Depok, Ir. Khamid Wijaya, inisiatif reform tidak berkembang menjadi perubahan monumental. 3
Sebagai contoh apa yang terjadi di Kabupaten Solok semasa dipimpin Gamawan Fauzi. Kebijakan penghilangan mata anggaran honorarium dalam setiap kegiatan (APBD) yang dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi anggaran dan keadilan pe nganggaran antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga tidak ada dinas “basah” karena memiliki banyak kegiatan dan dinas “basah air mata” karena minim kegiatan, pada awalnya sulit dilaksanakan karena menghadapi sejumlah kendala regulasi terutama pada tahun pertama pelaksanaannya.
4 Hasil liputan khusus Majalah Tempo (Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012, edisi 10 – 16 Desember 2012) bertajuk
Bukan Bupati Biasa.
5 Sebut saja misalnya kasus Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail diawal-awal kepemimpinannya pada tahun 2005-2007
yang “terpaksa” mengubah salah satu program unggulannya, SIPESAT atau Sistem Pengolahan Sampah Terpadu menjadi UPS atau Unit Pengelolaan Sampah; atau upaya pemakzulan Walikota Surabaya Tri Rismaharini oleh DPRD pada tahun 2010 yang disulut oleh penolakan DPRD terhadap kebijakan sang Walikota menaikan pajak reklame. 6
Apa yang terjadi pada kasus hubungan Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail) yang berkonflik dengan Sekda (Winwin Winantika) ditahun-tahun awal kepemimpinannya (2006-2007) dan yang berakibat pada tidak efektifnya kerja roda
Selain dengan state actors (DPRD dan birokrasi), kepala daerah juga perlu membangun hubungan dengan non-state actors (ormas, NGO, tokoh masyarakat, tokoh intelektual, perguruan tinggi) mengingat keberadaan mereka sebagai stakeholder pembangunan strategis. 7 Selain itu mengingat media massa sebagai salah satu pilar penopang demokrasi selalu ada dibalik pengungkapan kasus-kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan anggaran baik di daerah maupun di pusat, kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan media massa merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan.
Pentingnya membangun hubungan dengan multi aktor dalam mendorong terwujudnya perubahan, juga ditemukan dalam preliminary study yang penulis lakukan pada Juni dan Desember 2010 serta Maret 2011. Salah satu faktor yang membantu mempercepat perwujudan agenda reform di Solo diantaranya karena kemampuan sang Walikota (Jokowi) membangun hubungan dengan berbagai komponen masyarakat, yang dilakukan karena Jokowi menyadari keterbatasan pengetahuan dirinya terhadap permasalahan atau kebijakan yang hendak ditetapkan. Selain itu relasi juga dikembangkan sebagai solusi atas ketidak-puasan Jokowi terhadap kerja birokrasi yang menurutnya lebih senang menyampaikan informasi yang ingin didengar pimpinan,
dan bukan informasi real mengenai kondisi lapangan. 8
Jokowi (dan Rudy sebagai Wakil Walikota Solo) mengembangkan hubungan dengan multi pihak melalui sejumlah aktifitas yang diangkat dari tradisi Jawa, yang dipopulerkan dengan istilah SLJJ yaitu: sonjo (silaturahim), layat (mendatangi orang yang anggota keluarganya meninggal dunia), jagong (memenuhi undangan), dan jagongan (berdiskusi atau bermusyawarah). Selain itu Jokowi juga mengembangkan apa yang disebutnya dengan Forum Group Discussion (FGD), forum dimana Jokowi berinteraksi dengan stakeholder pembangunan semisal para tokoh, pakar, praktisi, akademisi, NGO, aktifis kemasyarakatan, termasuk pihak swasta. Jika SLJJ ditujukan untuk mengetahui kondisi lapangan dan menyerap aspirasi publik, FGD dilakukan untuk merumuskan alternatif solusi/kebijakan atas berbagai isu atau permasalahan yang membutuhkan penanganan segera dan atau permasalahan yang mendapat perhatian masyarakat cukup luas. Selain itu Jokowi mempunyai hubung an “spesial” dengan beberapa aktifis masyarakat sipil ( Civil Society Activist atau CSA) yang memiliki jejaring dengan CSO ( Civil Society Organization ), dengan menjadikan mereka sebagai lingkaran terdalam ( inner-circle ); yang diistilahkan Jokowi dengan staf ahli non-formal karena tidak ada kontrak atau ikatan formal yang menunjukkan hak
dan kewajiban masing-masing pihak, 9 yang penulis istilahkan dengan inner social circle mengingat relasi dibangun atas prinsip kesukarelaan.
Hal inilah yang penulis ingin dalami dalam studi yang dilakukan, yaitu mengeksplorasi tindakan reform kepala daerah sebagai aktor utama perubahan dan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan reform yang dilakukannya; selain secara spesifik mendalami relasi kepala
birokrasi di daerah tersebut pada tahun itu, merupakan salah satu contoh konkrit. Contoh lain adalah apa yang terjadi di Jembrana pada masa kepemimpinan Winasa. Perubahan di Jembrana sesungguhnya tidak hanya terjadi karena faktor kuatnya visi perubahan yang digagas Sang Kepala Daerah, tapi juga karena peran Sekda (Gede Suinaya, sebelumnya pejabat di Depdagri) yang mampu menerjemahkan gagasan Winasa kedalam kebijakan yang implementatif selain mengkonsolidasikan birokrasi serta memiliki hubungan yang kuat dengan pusat (Studi AKATIGA, 2009). Selain itu kesuksesan Gamawan memimpin Kabupaten Solok tak dapat dilepaskan dari keberhasilannya menata birokrasi, mengingat Gamawan sebelum menjabat sebagai bupati, mengawali karirnya sebagai PNS di Kabupaten Solok hingga menjabat sebagai sekda pada jabatan terakhirnya.
7 Temuan studi AKATIGA (2009) tentang local reform di Kab. Kebumen menunjukkan, agenda reform (pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa) di daerah tersebut dapat berlangsung baik karena terjadi kerjasama antara pemerintah
daerah (terutama Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Bapermades) dengan masyarakat (unsur -unsur masyarakat sipil seperti para aktifis desa dan para penggiat NGO yang tergabung didalam Foru m Masyarakat Sipil atau FORMASI Kebumen).
8 “…Ini informasi yang saya butuhkan. Kalau birokrasikan sukanya kasih informasi yang baik-baik saja… Biar saya senang… Padahal saya pengen tahu kondisi realnya seperti apa…” (wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010). 9
“Saya punya staf ahli non PNS, staf khusus yang orang nggak ngertilah (tidak banyak diketahui orang, pen), yang sering memberikan suara (masukan, pen) kepada saya. Yang masih jelek disebelah sini, yang masih kurang bagus disebelah sini…,” (Wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010) “Saya punya staf ahli non PNS, staf khusus yang orang nggak ngertilah (tidak banyak diketahui orang, pen), yang sering memberikan suara (masukan, pen) kepada saya. Yang masih jelek disebelah sini, yang masih kurang bagus disebelah sini…,” (Wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010)
Pilihan atas tema dilakukan mengingat studi mengenai hal tersebut relatif terbatas sementara kebutuhan studi semakin terus meningkat. Terkait dengan kemampuan kepala daerah mengembangkan hubungan ( connecting ) dengan multi aktor misalnya, terdapat kebutuhan yang sangat mengingat terjadi perubahan tata hubungan antar aktor (struktural maupun non struktural) paska reformasi. Sebagai contoh terjadi perubahan pola hubungan kepala daerah dengan DPRD paska 1998. DPRD yang sebelumnya (UU No. 5/1974) menjadi bagian pemerintah daerah kini berada pada posisi setara dengan hak budgeting , legislasi, bahkan hak melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah (local state). Meski kewenangan tersebut direduksi paska revisi UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, terutama terkait dengan pembolehan tindakan impeachment DPRD atas dasar kinerja pemerintah daerah (penolakan laporan pertanggung- jawaban), realitas menguatnya posisi DPRD terhadap pemerintah daerah tidak dapat dibantah.
Pola hubungan state -masyarakat sipil pun mengalami banyak perubahan. Arus demokratisasi yang makin menguat paska runtuhnya rezim Orba, menyebabkan hubungan state-civil society yang sebelumnya penuh konflik, kini menjadi lebih kooperatif. Kerjasama NGO-state, bahkan aktifis NGO dengan state, belakangan makin sering terjadi. Diantaranya melalui sejumlah proyek seperti ILGR ( Iniciatives For Local Governance Reform ), LGSP ( The Local Governance Support Program ), DRSP ( The Democratic Reform Support Program ), IPGI ( Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives ), dan SAPA ( Strategic Alliance for Poverty Alleviation ) Indonesia; proyek yang didanai sejumlah lembaga donor yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pelaksana program, diantaranya berupa kesediaan memberikan dana pendampingan program (APBN dan APBD). Sebagai fenomena baru eksplorasi hubungan kepala daerah dengan aktifis masyarakat sipil dalam pengelolaan kekuasaan menarik dilakukan, terutama guna mendapatkan informasi yang memadai mengenai sejauhmana dan bagaimana hubungan tersebut berkontribusi mempercepat terjadinya perubahan.
Meski terdapat sejumlah studi tentang local reform , sayangnya sedikit saja yang secara spesifik membahas peran kepala daerah. Hal itu mengingat paska diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, praktek desentralisasi di Indonesia dinilai masih menyimpan sejumlah persoalan dan sedikit saja yang sukses. Kalaupun ada, studi tidak secara spesifik difokuskan pada bahasan mengenai relasi aktor kepala daerah akan tetapi lebih kepada institusi pemerintah (Suharko, 2005), atau melihat relasi aktor dalam posisi yang lebih general sebagaimana dilakukan Zuhro, dkk (2009) yang mencoba mengeksplorasi peran berbagai aktor dalam proses demokratisasi di daerah(DPRD, elit partai politik, elit birokrasi, akademisi, ulama, tokoh adat, pengusaha, selain para aktifis NGO); selain minin kajian teoritis karena lebih merupakan policy research (Eko Prasojo dkk, 2004).
Studi AKATIGA (2009) tentang local reform dan hubungan antar aktor di Kabupaten Jembrana dan Kebumen, meski sudah terfokus pada aktor kepala daerah, namun karena dilakukan dalam kerangka penguatan masyarakat sipil, stand point studi lebih kepada inisiatif NGO dan para aktifis NGO dan belum mengeksplorasi secara mendalam peran kepala daerah. Hal itu juga dapat dilihat pada studi Hetifah Sj. Sumarto (2005) tentang inisiatif reform masyarakat sipil di 20 kota/kabupaten di Indonesia. Beberapa studi lain karena dilakukan pada masa rezim otoriter Orde Baru (yang agak maju pada fase awal reformasi), juga cenderung menempatkan NGO dalam posisi sentral (aktor utama) sementara state digambarkan dalam sosok negatif ( bad state ), yaitu sebagai pihak yang tidak mendukung proses demokratisasi (membatasi gerak masyarakat, tidak partisipatif, dominatif, dan lain-lain).Hal; itu sebagaimana dapat dilihat pada studi Ganie Rochman (2002) tentang peran NGO (advokasi) ditengah otoritarianisme Orde Baru; studi Eldridge (1995) yang mencoba menemukan gambaran mengenai core value dan aspirasi NGO serta hubungan operasionalnya dengan kelompok dampingan mereka maupun interaksinya dengan agen-agen pemerintahan; maupun studi Hadiwinata (2003) yang melakukan analisis terhadap Studi AKATIGA (2009) tentang local reform dan hubungan antar aktor di Kabupaten Jembrana dan Kebumen, meski sudah terfokus pada aktor kepala daerah, namun karena dilakukan dalam kerangka penguatan masyarakat sipil, stand point studi lebih kepada inisiatif NGO dan para aktifis NGO dan belum mengeksplorasi secara mendalam peran kepala daerah. Hal itu juga dapat dilihat pada studi Hetifah Sj. Sumarto (2005) tentang inisiatif reform masyarakat sipil di 20 kota/kabupaten di Indonesia. Beberapa studi lain karena dilakukan pada masa rezim otoriter Orde Baru (yang agak maju pada fase awal reformasi), juga cenderung menempatkan NGO dalam posisi sentral (aktor utama) sementara state digambarkan dalam sosok negatif ( bad state ), yaitu sebagai pihak yang tidak mendukung proses demokratisasi (membatasi gerak masyarakat, tidak partisipatif, dominatif, dan lain-lain).Hal; itu sebagaimana dapat dilihat pada studi Ganie Rochman (2002) tentang peran NGO (advokasi) ditengah otoritarianisme Orde Baru; studi Eldridge (1995) yang mencoba menemukan gambaran mengenai core value dan aspirasi NGO serta hubungan operasionalnya dengan kelompok dampingan mereka maupun interaksinya dengan agen-agen pemerintahan; maupun studi Hadiwinata (2003) yang melakukan analisis terhadap
Hal lain yang tidak kalah penting, studi relasi aktor yang ada umumnya lebih menekankan analisis hubungan state actors (pemerintah daerah, DPRD dan birokrasi) dengan aktor institusional (NGO dan ormas) dan kurang (sangat jarang) mengeksplorasi keterlibatan aktor individual semisal para penggiat masyarakat sipil atau civil society activist (aktifis NGO, tokoh, para profesional, akademisi, dan lain-lain). Mengingat terjadinya fenomena peningkatan peran aktor-aktor individual (inisiatif individual) sebagai dampak positif proses demokratisasi (kasus Refli Harun, Macica Mochtar, dan lain-lain) maupun dampak perkembangan teknologi informasi (kasus koin untuk Prita), studi tentang hal tersebut makin dirasakan sebagai kebutuhan.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Secara spesifik studi dilakukan untuk menjawab pertanyaan umum maupun khusus. Pertanyaan umum yang ingin dijawab adalah bagaimana praktek local reform di Kota Solo pada era kepemimpinan Jokowi; sedangkan pertanyaan pertanyaan khusus dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses local reform terjadi di Kota Solo?
a. Apa tindakan reform Jokowi menghadapi kekuatan struktural yang dihadapinya dalam mengupayakan terwujudnya perubahan di Kota Solo dan mengapa serta bagaimana tindakan tersebut dilakukan?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan reform tersebut berbuah hasil yang diharapkan?
2. Bagaimana hubungan antar aktor dalam proses local reform di Kota Solo dapat dijelaskan?
a. Siapa aktor yang terlibat dan bagaimana relasi antar aktor yang terjalin baik dalam
kasus yang diteliti maupun dalam upaya reform di Kota Solo umumnya?
b. Bagaimana relasi Jokowi dengan CSO sebagai agensi yang memiliki minat cukup serius dalam upaya reform dan bagaimana pula relasi Jokowi dengan sejumlah CSA yang dijadikannya sebagai inner circle ?
c. Mengingat relasi juga terjadi antar non state actor (CSO dan CSA), bagaimana gambaran hubungan antar CSO dan antar CSA maupun antara CSO dengan CSA di Kota Solo? Sejauhmana hubungan tersebut berkontribusi dalam upaya mewujudkan agenda local reform ?
1.3. Tujuan Penelitian
Studi dilakukan dengan tujuan umum untuk memahami praktek local reform yang terjadi di Kota Solo. Selain itu studi juga dilakukan untuk mewujudkan tujuan khusus berikut:
1. Level mikro: memahami tindakan reform aktor kepala daerah dan menemukan faktor- faktor yang mempengaruhinya.
2. Level messo: memahami relasi kepala daerah dengan multi aktor dalam mendorong perubahan ke arah yang makin progresif.
3. Level Makro: mengembangkan model local reform berdasarkan praktek reform di Kota Solo (model ontology ) guna memudahkan replikasi (percepatan perubahan di daerah).
1.4. Signifikansi Studi
Studi memberi sumbangan teoritis bagi ilmu sosiologi berupa gambaran mengenai proses perubahan sosial yang diinisiasi agen dan pertarungan yang dilakukan dalam menghadapi kekuatan struktural, serta gambaran mengenai bagaimana teori strukturasi Giddens (1984) digunakan ( using theory ) dalam memahami realitas; selain mencoba mencari aspek-aspek kebaruan ( testing theory ) dari teori tersebut melalui kasus yang diteliti. Bagi Sosiologi Politik, studi memberi gambaran dinamika kontestasi member dan challenger (oposan) memperebutkan resources dalam koalisi mereka dengan government , sebagaimana digambarkan dalam the polity model (Tilly, 1978); dan sekaligus memperkaya model. Sedangkan secara praktis studi memberi gambaran pelaksanaan kebijakan otonomi daerah bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat sipil (CSO); pemerintah daerah (terutama para kepala daerah) maupun pemerintah pusat (khususnya Kemendagri); serta DPR-RI dan partai politik. Sumbangan dimaksud diantaranya terkait dengan penyempurnaan UU No. 32/2004, yaitu terkait dengan upaya memaksimalkan pelaksanaan tupoksi kepala daerah dalam mengupayakan kebijakan pro-poor (kebijakan inklusif), berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama bagi masyarakat miskin).
Bagian Kedua TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoretik
2.1.1. Social Action dan Upaya Mempengaruhi Struktur
Tindakan sosial ( social action ) merupakan bahasan sentral Sosiologi (weber, 1968). Satu diantaranya digagas Giddens (1984) dengan mengatakan bahwa riset ilmu sosial dan sejarah selalu menyangkut hubungan antara tindakan sosial (agen) dengan struktur. Pemikiran Giddens (1984) bersumber dari kritiknya terhadap kaum pluralis yang menurutnya terlalu menekankan agensi, sedangkan Marx sangat menekankan struktur; yang menyebabkan keduanya gagal menjelaskan hubungan struktur dan agency . Giddens menolak kedua pendekatan tersebut. Dengan fokus utama pada social practice yang berulang, yaitu bagaimana manusia menjalani hidup sehari-hari, Giddens menjadikan sehari-hari ( duree ) dan rutin ( routine ) sebagai dua kata kunci penting, selain konsep ruang dan waktu; yang terkait erat dengan tindakan aktor memproduksi struktur (tindakan reform ) dan reproduksi struktur (upaya menstrukturkan tindakan reform ).
Teori strukturasi Giddens (1984) digunakan sebagai pisau analisis dengan tiga pertimbangan. Pertama, Teo ri strukturasi Giddens lebih dapat menggambarkan dinamika “perlawanan” agen terhadap kekuatan struktural. Kedua, Giddens memaknai struktur dalam terminologi berbeda dibanding para teoretisi lainnya. Struktur tidak diterjemahkan sebagai kekuatan yang ada diluar individu yang menstruktur semisal Negara ( state ) atau sesuatu yang tetap bentuk dan wujudnya sebagaimana lazim dipahami teoritisi struktural fungsional; akan tetapi sebagai structuring properties yang terdiri dari rules dan resources . Ketiga, Giddens memasukkan konsep power sebagai salah satu sumber kekuatan agen mengendalikan kekuatan struktur, bahkan menunjukkan perbedaan kemampuan agen yang sangat ditentukan oleh kapasitas power yang dimiliki.
Dengan menggunakan model stratifikasi agen, penulis mencoba memahami tindakan reform Jokowi di Solo, yang di dalam model digambarkan bahwa agen melakukan sejumlah tindakan berupa monitoring refleksif tindakan ( the reflexive monitoring of activity ) atas kegiatan sehari-hari ( everyday action ), serta melakukan rasionalisasi tindakan ( rationalization of action ) atas tindakan monitoring tersebut, agar tindakan reform ( social production ) secara terus-menerus dapat dipertahankan keberlanjutannya (menghasilkan struktur baru atau social reproduction ).
Konsekuensi
Konsekuensi tindakan yang
monitoring refleksif
tindakan yang
tidak diakui
tindakan
tidak
rasionalisasi tindakan
diinginkan
motivasi tindakan
Gambar 2.1 Model Stratifikasi Agen
Selain itu, terdapat motivation of action yang menggambarkan keingingan-keinginan yang mengarahkan tindakan agen. Selain terdapat motif sadar, aktor memiliki apa yang disebut Giddens dengan unconscious motives (nurani). Kemampuan agen mempengaruhi struktur menurut Giddens selain dipengaruhi oleh faktor kompetensi agen untuyk make differents, juga oleh unconscious motives yang tingkat abstraksinya sangat tinggi dan yang sekaligus merupakan ciri penting tindakan manusia. Selain itu terdapat practical consciousness (kesadaran praktis), yaitu tindakan yang dianggap paling benar untuk dilakukan tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang dilakukan; serta kesadaran diskursif berupa kemampuan menggambarkan tindakan dalam kata-kata.
Kesadaran Diskursif Kesadaran Praktis Kognisi/motif tak sadar
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Kesadaran Agen dalam Tindakan Reform
Studi secara lebih spesifik menguji sejumlah proposisi teori Giddens, yaitu sebagaima tertera dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Proposisi Tindakan Reform Agen Mempengaruhi Struktur
Proposisi ke-1
Agensi tidak merefer kepada adanya kesengajaan atau adanya tujuan untuk melakukan tindakan (the intentions people have in doing things), akan tetapi lebih kepada kapabilitas (capability of agen) membuat perbedaan (make different) dan itu sebabnya mengapa tindakan agen tekait dengan power, karena tindakan agen tidak akan memproduksi struktur jika individu tidak melakukan intervensi terhadap tindakan tersebut. (Giddens, 1984:9)
Proposisi ke-2
Agensi tidak selalu tunduk pada struktur, karena ia dapat meninggalkan struktur dengan mencari kesempatan dan kemungkinan untuk keluar dari peraturan dan ketentuan yang ada karena adanya keterbatasan jangkauan kontrol rules atas agensi (dialectic of control) berupa segmental autonomy (otonomi berlaku pada segmen/lapisan tertentu) (Giddens, 1984;16)
Preposisi ke-3
Struktur tidak meng-constrain. Struktur selalu constraining dan enabling berdasarkan hubungan yang ada antara struktur dan agen (Giddens, 1984:205)
Proposisi ke-4
Pembentukaan agen dan struktur bukanlah fenomena yang saling terpisah (dualisme), akan tetapi merupakan dualitas. Momen memproduksi tindakan (reproduksi stuktur) pada saat yang sama juga merupakan momen reproduksi struktur.(Giddens, 1984:25-26).
2.1.2. State-Society Relation Salah satu upaya Jokowi untuk mengatasi kendala struktural yaitu dengan mengembangkan
hubungan dengan multi aktor, diantaranya dengan non-state actor baik institutional actors (NGO, Ormas, PT, media massa, dan lain-lain) maupun individual actors seperti para penggiat kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, akedemisi, praktisi, dan lain-lain. Lebih khusus dengan sejumlah civil society activist (CSA) yang terhubung dengan CSO, yang dijadikan sebagai inner social circle.
Relasi tersebut relatif tidak biasa, mengingat hubungan state-society selama ini kerap diwarnai konflik.akan tetapi arus demokratisasi global (Gill, 2000) tak dapat dipungkiri telah mengubah relasi state-society yang semula penuh konflik tersebut kearah yang lebih harmonis ( mutually reinforcing). Hubungan state -masyarakat sipil tidak lagi dilihat sebagai zero-sum game akan tetapi lebih sebagai hubungan complimentary bahkan synergistic (Robinson and White, 1998).
Terjadinya perubahan relasi state -masyarakat setidaknya didukung oleh dua teori utama, yaitu struktur peluang politik (opportunity political structure ) (Tarrow 1994; Farrington dan Lewis, l993:34) dan mobilisasi sumber daya (Tilly 1978; McCarthy dan Zald 1987). Diluar mainstream tersebut, terdapat sejumlah faktor lain yang juga menjadi penyebab perubahan bentuk hubungan state -masyarakat sipil, yaitu faktor desentralisasi disektor publik, program penyesuaian struktural, dan tekanan donor kepada Negara agar mau melakukan kerjasama yang lebih erat dengan masyarakat sipil, terutama dengan NGO (Suharko, 2005). Selain itu berbagai diskursus teoritis tentang pembangunan, turut mendukung “pola baru” hubungan tersebut. Kolaborasi yang terjadi antara government dengan NGO misalnya, dianggap menjadi katalisator bagi kesuksesan pembangunan (Suharko, 2001). Dalam konteks state-society synergy, Evans (1996) mengatakan bahwa hubungan yang saling menguatkan dan menguntungkan antara government dengan kelompok-kelompok masyarakat dapat menjadi alasan tercapainya tujuan pembangunan. Hal itu diperkuat Brown & Ashman (l996) yang menilai bahwa hubungan (kerjasama) antara government dengan NGO dapat memberi kontribusi penting bagi penyelesaian berbagai masalah krusial dalam pembangunan, seperti yang terjadi di berbagai negara Afrika dan Asia.
Meski relasi state-society mulai banyak ditemukan, fakta realitas menunjukkan bahwa tak sedikit hubungan partnership diantara keduanya berakhir dengan semakin menguatnya konflik Meski relasi state-society mulai banyak ditemukan, fakta realitas menunjukkan bahwa tak sedikit hubungan partnership diantara keduanya berakhir dengan semakin menguatnya konflik
Munculnya resistensi masing-masing aktor dimungkinkan karena apa yang disebut dengan framing process . Masing-masing aktor membangun pandangan ( frame) tertentu atas eksistensi aktor lain dan atau atas dirinya (kelompoknya) sendiri. Framing process dapat memunculkan stigmatisasi aktor atas aktor lain yang mewujud dalam bentuk ketidak-percayaan. Hal-hal inilah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan antar aktor mengingat mutual trust
merupakan prasyarat yang diperlukan guna mewujudkan hubungan yang baik (produktif) selain complementary strengths, reciprocal accountability, joint decision making, dan lancarnya pertukaran informasi diantara mereka (Postma, 1994:451). Karena barier tersebut dapat dimengerti mengapa hubungan yang terbangun antara state dengan masyarakat sipil dalam tataran praktek sering bersifat permukaan (taktis pragmatis) dan tidak bersifat ideologis (Suharko, 2005).
Lalu bagaimana bentuk dan sifat hubungan yang mungkin terjadi antara state dengan society dalam konteks relasi yang lebih mengarah pada kemitraan ketimbang konflik? Berdasarkan studi kasus di Asia, Amerika Latin, dan Afrika; meski lebih dimaksudkan sebagai bentuk hubungan
NGO dengan Pemerintah 10 (Farrington dan Bebbington, 1993), umumnya ada tiga bentuk hubungan, yaitu: interaksi, keterkaitan ( linkage ), dan kerja sama 11 dengan bentuk keterkaitan merupakan tipe dominan. Hubungan dibangun atas dasar pertimbangan taktis pragmatis ketimbang ideologis, karenanya meski fenomena peningkatan hubungan kerjasama antara NGO- government cenderung meningkat, pengembangan mekanisme keterkaitan antara kedua belah- pihak dalam bentuk yang lebih formal dan terstruktur, jarang terjadi. Sementara mengenai sifat hubungan, merujuk pada studi Jamil (1998) tentang kasus dinegara-negara berkembang, kerja sama NGO- state lebih kondusif ditingkat lokal dan umumnya berlangsung pada tahap implementasi ketimbang pada tahap perumusan substansi kegiatan, dengan sifat hubungan lebih taktis pragmatis ketimbang substantif ideologis. Sememntara jika dihubungan dengan pencapaian agenda masing-masing aktor, hubungan dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan dinilai positif jika menguatkan peran dan fungsi masing-masing, sementara hubungan bersifat negatif jika sebaliknya. Dengan mengacu pada penjelasan tersebut; maka pola hubungan yang mungkin terjadi antara state-society (termasuk hubungan antara Jokowi dengan masyarakat sipil di Kota Solo baik dari dengan NGO maupun CSA), dapat mengikuti pola pada tabel 2.3 tentang Pola Hubungan State-Society.
10 Perwujudan agenda local reform meski secara legal-formal menjadi tanggung-jawab state, namun dalam praktek keterlibatan non state actor tak dapat dihindarkan (bahkan sangat dibutuhkan). Terdapat sejumlah kontribusi agencies
dalam hal ini CSO dalam local reform menurut Putnam (1993), yaitu: mengembangkan modal sosial, trust, dan melakukan shared values ; “…non-political organizations in civil society are vital for democracy. This is because they build social capita l, trust and shared values, which are transferred into the political sphere and help to hold society together, facilitating an understanding of the interconnectedness of society and interests within it .” Sementara itu Warren’s mengatakan, NGO yang merupakan salah satu unsur dari CSO yang relatif memiliki agenda reform yang cukup progresif:”…civil society groups can provide better social services than the state is capable of, and sometimes can even have a more efficient way of mitigating social exigencies . Hal senada dikatakan pula oleh Fowler (1997) yang sependapat dengan Clark (1995), yaitu bahwa NGO memberikan kontribusi pada pendekatan mikro (penawaran) seperti penyediaan 11 pelayanan ekonomi dan sosial, dan pendekatan makro (permintaan), seperti menjadi artikulator suara rakyat. Interaksi menunjukkan kondisi dimana aksi dari satu institusi dipengaruhi oleh atau tergantung pada atau diorientasikan
kea rah aksi institusi lainnya. Sifat interaksi dapat berupa konflik atau kerjasama.Keterikatan atau pertalian menempati posisi antara itneraksi dengan kerja sama, yaitu interaksi positif formal atau informal dimana masing-masing tidak saling tergantung.
Tabel 2.3 Pola Hubungan State-Society
No Tahapan
Bentuk Hubungan
Kerjasama 1. Perencanaan
Taktis Substantif
pragmatis
pragmatis ideologis
Positif
Positif Positif
Taktis
Taktis Substantif
Pragmatis
pragmatis ideologis
Negatif
Negatif Negatif
2. Implementasi
Taktis Substantif Pragmatis
Pragmatis ideologis
Positif
Positif Positif
Taktis Substantif Pragmatis
Taktis
pragmatis ideologis
Negatif
Negatif Negatif
2.1.3.Hubungan antar State Actor dan antar Non State Actor Selain hubungan antara state-society atau antara state-actor dengan non state actor, hal lain
yang juga diekplor didalam studi terkait dengan hubungan antar state actor atau antar non state- actor itu sendiri. Hubungan antar state actor umumnya sangat terkait dengan kewenangan ( official power ) masing-masing pihak, yang paska diundangkannya kebijakan otonomi daerah mengalami perubahan mencolok.
Lalu bagaimana dengan relasi antar non state-actor baik antar CSO maupun antar CSA mapun antara CSO dengan CSA? Sebagaimana diungkap Tilly dalam the Polity Model (Tilly, 1978), dalam suatu collective action dimungkinkan terjadikonflik diantara aktor-aktor yang terlibat; diantaranya akibat perebutan resources antara member (anggota collective action yang merupakan pendukung utama state ) dengan challenger sebagai pihak yang mencoba masuk atau menjajagi kemungkinan menjadi member . Selain berebut resources , konflik juga dapat terjadi
karena member berupaya mempertahankan posisinya agar tidak “digeser” oleh challenger . Sumber konflik lainnya dapat terjadi karena adanya perbedaan pandang antara CSO dan CSA tentang perlunya mengembangkan hubungan dengan state . Meski relasi state-society mulai menjadi fenomena mengemuka, perbedaan pandang tentang hal ini masih cukup tajam diinternal masyarakat sipil. NGO juga cenderung berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan konfrontasi dalam menilai penting tidaknya membangun hubungan dengan state (Suharko, 2005); atau sebagaimana diungkap Farrington dan Bebbington (1993), hubungan state-society yang lebih banyak berupa hubungan keterpaksaan atau reluctant partnership ketimbang hubungan kerjasama.
2.2. Telaah Studi Terdahulu
2.2.1. Local Reform dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan local reform . Sebagaimana temuan studi Grindle (2007) di Meksiko, terdapat signifikansi faktor kepala daerah selain faktor di luar kepala daerah (eksternal) dalam mendorong perwujudan salah satu agenda local reform (perbaikan pelayanan publik) melalui observasi terhadap 30 kota di Meksiko secara acak. Signifikansi peran kepala daerah juga dibuktikan studi USAID (2009) yang menganalisis perbaikan penyediaan layanan kesehatan dengan membandingkan derajat inovasi yang berkembang di tujuh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Solo, Jogyakarta, Purbalingga, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Kendal; yang mengungkapkan bahwa pemimpin lokal ( committed leadership ) merupakan aktor penting dalam mendorong inovasi di daerah. Studi AKATIGA (2009) juga melihat kuatnya peran aktor kepala daerah di Kebumen (Rustriningsih) Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan local reform . Sebagaimana temuan studi Grindle (2007) di Meksiko, terdapat signifikansi faktor kepala daerah selain faktor di luar kepala daerah (eksternal) dalam mendorong perwujudan salah satu agenda local reform (perbaikan pelayanan publik) melalui observasi terhadap 30 kota di Meksiko secara acak. Signifikansi peran kepala daerah juga dibuktikan studi USAID (2009) yang menganalisis perbaikan penyediaan layanan kesehatan dengan membandingkan derajat inovasi yang berkembang di tujuh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Solo, Jogyakarta, Purbalingga, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Kendal; yang mengungkapkan bahwa pemimpin lokal ( committed leadership ) merupakan aktor penting dalam mendorong inovasi di daerah. Studi AKATIGA (2009) juga melihat kuatnya peran aktor kepala daerah di Kebumen (Rustriningsih)
Berbagai studi tersebut tersebut mempertegas siginifikansi peran aktor kepala daerah dalam mendorong perubahan, meski hal itu tidak berdiri sendiri karena terdapat faktor lain (eksternal agen kepala daerah) yang juga memberi pengaruh. White dan Smoke (2003) yang melakukan studi terhadap proses awal desentralisasi di negara-negara Asia Tenggara dan Cina, memperkuat
kesimpulan adanya kekuatan faktor eksternal, dengan temuan studinya bahwa d esentralisasi hanya akan efektif jika didukung oleh keberadaan tiga hal, yaitu: (1) tata kerja kelembagaan lintas unit pemerintahan yang koheren; (2) mekanisme transfer fiskal yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; dan (3) mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengontrol kinerja pemerintahan di tingkat lokal (Prakarsa, 2010).
2.2.2. State-Society Relation dan Dinamika Hubungan Negara dan Kekuatan Masyarakat (terutama Masyarakat Sipil) di Indonesia.
Hubungan state-society di Indonesia, terutama dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai aktor yang memiliki perhatian khusus terhadap kebijakan dan agenda-agenda pembangunan, berlangsung penuh dinamika dan sangat problematik. Hal tersebut sebagaimana diuraikan pada bahasan berikut:
a. Masa Orde Baru (1966-1998):
Pemerintah rezim Orde Baru, menciptakan sistem politik berbasis negara yang kuat sebagai upaya meminimalisir potensi konflik sosial disatu sisi dan memaksimalknan produkstifitas
e konomi disisi lain (Mas’oed, 1989). Hal itu dilakukan melalui politik depolitisasi (Hikam, 1999) atau partisipasi terkontrol (Liddle, 1999), baik secara langsung yaitu masyarakat pedesaan yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia (melalaui kebijakan masa mengambang), maupun secara tidak langsung (melalui korporatisasi negara, kooptasi, dan hegemoni ideologi). Menghadapi kebijakan negara yang represif (Arif Budiman dan Tornquist, 2005), kekuatan masyarakat yang tergabung di dalam gerakan pro-demokrasi muncul beragam baik metode (koreksi atau konfrontasi), keluasaan daerah geraknya (lokal, nasional, internasional), maupun para aktor yang terlibat (mahasiswa, pers, dan partai politik).
Gambaran hubungan NGO- state yang penuh konflik pada masa orde baru sebagaimana studi Meuthia Ganie Rochman (2002), menempatkan NGO dalam perspektif state sebagai kelompok anti pemerintah atau oposan dan bahkan kerap dituduh sebagai "agen asing" dan karenanya dianggap musuh penguasa. Militer dan intel hadir dimana-mana membatasi ruang gerak para aktivis NGO. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Berbagai kasus penindasan terjadi sebagai akibat keterlibatan NGO mengangkat isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan. Namun demikian akibat positif yang ditimbulkan, semua aktivis NGO meski berbeda ideologi dan posisi, bersatu karena mempunyai musuh yang sama, yaitu rezim otoriter. Menurut Bob S Hadiwinata (2003) dalam studinya yang mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana NGO dapat survive dalam konteks sosial dan politik yang berbeda; positioning NGO sebagai oposan tehadap state yang banyak terjadi pada era rezim otoriter Orba, sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya peran dan lebih merupakan strategi NGO untuk mempertahankan diri dan karenanya terjadi perubahan strategi NGO seiring dengan terjadinya perubahan rezim. Pada tahun 1990-an (saat legitimasi politik Soeharto mulai mengalami penyusutan), NGO Gambaran hubungan NGO- state yang penuh konflik pada masa orde baru sebagaimana studi Meuthia Ganie Rochman (2002), menempatkan NGO dalam perspektif state sebagai kelompok anti pemerintah atau oposan dan bahkan kerap dituduh sebagai "agen asing" dan karenanya dianggap musuh penguasa. Militer dan intel hadir dimana-mana membatasi ruang gerak para aktivis NGO. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Berbagai kasus penindasan terjadi sebagai akibat keterlibatan NGO mengangkat isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan. Namun demikian akibat positif yang ditimbulkan, semua aktivis NGO meski berbeda ideologi dan posisi, bersatu karena mempunyai musuh yang sama, yaitu rezim otoriter. Menurut Bob S Hadiwinata (2003) dalam studinya yang mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana NGO dapat survive dalam konteks sosial dan politik yang berbeda; positioning NGO sebagai oposan tehadap state yang banyak terjadi pada era rezim otoriter Orba, sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya peran dan lebih merupakan strategi NGO untuk mempertahankan diri dan karenanya terjadi perubahan strategi NGO seiring dengan terjadinya perubahan rezim. Pada tahun 1990-an (saat legitimasi politik Soeharto mulai mengalami penyusutan), NGO
b. Masa Reformasi
Paska jatuhnya Soeharto, peran NGO makin signifikan dengan terlibat aktif dalam mendorong percepatan proses transisi demokrasi melalui keterlibatan aktif dalam berbagai agenda penguatan masyarakat sipil (Hadiwinata, 2000). Hal itu karena sistem politik Orba memberi ruang lebih luas bagi NGO, sehingga hubungan NGO-pemerintah dapat berjalan dengan berbagai cara (Suharko, 2005). Namun demikian NGO lebih banyak memainkan peran sebagai social movement (fokus pada agenda perubahan sosial dan perubahan struktur politik atau developing democracy ), dengan pemikiran bahwa persoalan masyarakat (kemiskinan misalnya) bukan terjadi lebih akibat kebijakan yang salah (tidak pro poor ) dan bukan semata karena masalah in-capacity masyarakat (Hadiwinata, 2000). Dengan kata lain pada masa reformasi terjadi perubahan strategi NGO yang pada era orba sangat bias pendekatan developmentalist (Fakih, 1992; Cula, 2005), dengan mulai terlibat aktif dalam social movement . Namun demikian, NGO berhadapan dengan kendala diinternal dirinya sendiri, yaitu efektifitas networking , bias paternalistik, kecocokan metode yang digunakan (kurang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan lebih banyak merujuk pada konsep-konsep global), serta adanya problem keterbatasan internal (budaya organisasi) NGO itu sendiri (Hadiwinata, 2000).
Sedangkan tendensi hubungan NGO-pemerintah (Suharko, 2005), meski konteks politik yang lebih demokratis telah tercipta (paska reformasi), tidak menimbulkan pergeseran berarti dalam hubungan NGO-pemerintah. Kedua pihak masih saling enggan membangun kemitraan. Pemerintah pasca orba cenderung mengambil model benign neglect (pengabaian yang baik), sedangkan NGO berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan konfrontasi. Tantangan hubungan NGO-state diantaranya bersumber dari internal NGO itu sendiri (inefisiensi manajemen, pertikaian antar aktivis, kurangnya transparansi, dan lain-lain), selain adanya problem keberlanjutan sumber keuangan NGO (masih sangat bergantung pada donor).
Tantangan hubungan masyarakat sipil-State dalam kasus hubungan kolaboratif yang coba dibangun antara NGO-pemerintah dalam program JPS yang difasilitasi oleh lembaga donor (World Bank) sebagaimana studi Suharko (2005), mengalami kegagalan karena baik pemerintah maupun NGO sulit melepaskan diri dari sikap yang mereka kembangkan sebelumnya. NGO sejak awal mengkritik program JPS yang dinilai tidak partisipatif selain karena adanya temuan indikasi kebocoran anggaran dalam pelaksanaan program tersebut, serta rendahnya komitmen pemerintah mengembangkan nilai-nilai good governance dalam tataran yang lebih substantif. Signkatnya terdapat peta jalan yang cukup terjal guna membangun hubungan sinergis antara pemerintah dan NGO dalam proses pembangunan, meski beberapa kemajuan berarti juga ditemukan, diantaranya pemerintah daerah berhasil “dipaksa” Bank Dunia yang bertindak sebagai fasilitator untuk meningkatkan akses informasi dan transformasi dalam impelementasi program JPS. Selain itu keterlibatan NGO dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah (dalam Forum Lintas Pelaku) dapat ditingkatkan setelah dilakukan perbaikan disain program atas usulan NGO. Kesemua hal tersebut menunjukkan bahwa meski relasi state-society mulai mengalami perbaikan pada masa reformasi, mengembangkan hubungan kerjasama dalam arti yang sesunggunya antara masyarakat sipil dan negara tidaklah mudah.
2.3. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan seluruh uraian pada bab ini, penulis merumuskan kerangka pemikiran studi guna memudahkan memahami persoalan, yaitu sebagai berikut:
CSA PENCAPAIAN AGENDA
Dinamika REFORM masyarakat
KEBIJAKAN INKLUSIF
STRUKTUR
Regulasi Pemenuhan Basic
Konstelasi
AGEN UTAMA
politik
REFORM
tertulis Needs
Tindakan
(KEPEMIMPINAN
Reform Agen
Peningkatan
JOKOWI)
(Constraining
Regulasi tdk
Kondisi sosio Pelayanan Publik
dan Enabling)
tertulis
(norm, dll)
kultural
masyarakat
Penataan PKL
APBD dan Relokasi
Perubahan
penduduk
paradigm Latar Belakang
Latar Belakang
politik Institusi
Latar Belakang Profesi Demokrasi Lokal
sebelum menjabat
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen dalam Local Reform Merujuk pada gambar 2.3 tentang Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen, kepala
daerah sebagai aktor utama reform mampu melakukan tindakan reform mempengaruhi struktur guna mewujudkan perubahan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor dimaksud berdasarkan tinjauan pustaka dan telaah hasil studi serta preliminary studi yang dilakukan dapat dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu faktor personal aktor (internal aktor) dan faktor non personal (eksternal aktor). Faktor personal diantaranya menyangkut latar belakang pendidikan, keluarga, profesi; sedangkan faktor eksternal terkait dengan perubahan paradigma politik terutama karena proses demokratisasi global yang melahirkan reformasi di Indonesia, kondisi sosio kultural masyarakat solo, konstelasi politik yang ada, serta dinamika masyarakat dimana kepala daerah tersebut memimpin.
Untuk menggambarkan dinamika relasi antara agen kepala daerah dengan multi aktor tersebut, penulis menggunakan the Polity Model (Tilly, 1978) sebagai pisau analisis. Digunakannya the Polity Model dengan pertimbangan bahwa model ini dinilai mampu menjelaskan dinamika relasi antar aktor. The Polity Model menggambarkan interaksi antar grup
dengan sebuah group collective action , yang terdiri dari komponen-komponen berikut: populasi 12 ,
a government, satu atau lebih contender 13 dimana di dalamnya terdapat member atau pendukung dan challenger atau oposan, sebuah polity (merupakan collective action yang terjadi antara member deng an government), dan satu atau lebih koalisi . 14 Dinamika hubungan antar aktor di dalam the polity model terjadi karena adanya upaya member dan challlenger memperebutkan posisi dalam polity , yaitu untuk melakukan kontrol atas resources . Tujuan akhir tidak lain agar dapat meningkatkan kepemilikannya atas resources . Dengan menggunakan sumber daya yang
dimiliki, challenger senantiasa mencari cara agar dapat “merangsek” masuk ke dalam polity , sementara member mencoba melakukan sejumlah cara agar posisinya dalam polity tetap aman.
12 Populasi adalah sesuatu yang menjadi interest peneliti untuk diamati, government diterjemahkan sebagai organisasi yang mengontrol konsentrasi prinsip-prinsip utama means of coercion di dalam populasi. 13
Contender adalah people atau resources yang mempengaruhi government, termasuk didalamnya challenger dan members of the polity . Member merupakan pendukung government yang tidak perlu banyak dikontrol, sementara challenger (contender) bersifat kebalikan dari member.
14 Coalition merupakan a set of contender dan atau government yang berkordinasi satu sama lain dalam collective action.