Tindakan Reform Agen Mempengaruhi Struktur
5.2. Tindakan Reform Agen Mempengaruhi Struktur
Dalam penataan PKL, Jokowi sebagai agen utama reform, mencoba mempengaruhi struktur dengan tindakan constraining maupun enabling. Terkait dengan tindakan constraining, hal itu diantaranya dilakukan dengan menerjemahkan regulasi dalam perspektif yang lebih komprehensif, sehingga dapat terhindar dari pemaknaan sempit atas regulasi yang bisa menghambat inovasi. Sebagai contoh untuk menata PKL di Kota Solo, Jokowi tidak mendahulukan langkah penegakan hukum (perda) sebagai prioritas utama program kerjanya di Solo, meski perda yang mengatur tentang PKL sudah tersedia sejak lama (Perda No. 8 tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan PKL) dan kondisi PKL sudah menjadi problem serius Kota. Dengan dijadikannya kebijakan penataan (relokasi PKL) mendahului tindakan penertiban, bukan berarti penegakan hukum diabaikan. Akan tetapi tindakan tersebut dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan upaya penataan PKL oleh Pemkot (mendahulukan pelaksanaan kewajiban Pemkot atas PKL dibanding meminta tanggung-jawab PKL terhadap penciptaan ketertiban Kota). Selain itu ketika kebijakan penertiban dilaksanakan, pendekatan yang digunakan pun bukan pendekatan umum yang mengedepankan kekerasan, akan tetapi lebih pada penggunaan pendekatan non violence sebagai keinginan untuk ngewongke wong .
Selain itu Jokowi tidak terjebak dengan keterbatasan regulasi yang ada dengan menjadikan revisi perda sebagai agenda pertama reform dalam penataan PKL di Kota Solo, namun mencoba memanfaatkan perda yang tersedia betapapun terdapat banyak aspek dalam regulasi yang belum diatur. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pemerintah daerah yang menjadikan agenda perumusan perda lebih dahulu dari tindakan reform dalam bentuk penanganan masalah. Meski regulasi kemudian direvisi, hal itu dilakukan setelah terjadi proses pengayaan pengalaman (baik untuk Pemkot maupun untuk PKL itu sendiri) berdasarkan praktek penanganan PKL dari Banjarsari ke Notoharjo maupun relokasi yang lainnya (Panggungregjo, Jalan Veteran, Manahan, dan lain-lain). Selain itu dengan cara mendahulukan tindakan penyelesaian permasalahan, hasil reform dapat lebih cepat dirasakan masyarakat hasilnya, mengingat masa jabatan kepala daerah yang tidak lama (lima tahun) sementara terdapat sejumlah permasalahan krusial yang membutuhkan penanganan segera.
Cultural approach yang digunakan dalam penataan PKL baik melalui jamuan makan ( sra wungan ), pendekatan humanis nguwongke wong , mangkubum
i, maupun pelaksanaan kirab budaya, merupakan upaya Jokowi untuk mengisi kekosongan regulasi yang ada dengan mendayagunakan tata aturan yang tersedia berupa local wisdom . Pendekatan yang lebih memperhatikan local wisdom untuk konteks Solo menjadi sangat tepat mengingat kultur masyarakat yang masih kuat terhadap nilai-nilai masyarakat Jawa serta simbol-simbol budaya Jawa. Dalam konteks itu tindakan ngewongke wong , pendekatan non kekerasan dengan mendahulukan persuasif dan pemenuhan hak dari penegakan hukum, terbukti lebih efektif mengatasi sikap perlawanan PKL baik berupa ngalih, ngalah, ngamuk, dan ngobong .
22 Tak lama setelah perda diberlakukan, pada 13 Maret 2011 terjadi demo ratusan PKL menolak perda. Penolakn PKL terutama terkait dengan ancaman hukuman bagi PKL di Solo yang tidak memiliki KTP Solo
maupun ijin usaha, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 16 ayat 1 dalam peraturan tersebut yang isinya berupa ancaman denda Rp 5 juta dan hukuman kurungan 3 bulan bagi PKL yang tak mengantongi ijin. Ancaman hukuman yang sama juga diberlakukan bagi pembeli PKL tanpa ijin. Klausul lain yang ditolak PKL adalah Pasal 6 ayat 3 butir a yang mempersyaratkan PKL yang ingin mengajukan ijin tempat usaha di Kota Solo harus merupakan warga kota Solo dengan dibuktikan memiliki KTP Solo. PKL menilai bahwa aturan-aturan tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan HAM. ( www.joglosemar.com , Ratusan PKL Solo Tolak PErda, 14 Maret 2011).
Sementara tindakan enabling dalam kasus penataan PKL dilakukan Jokowi dengan menjadikan APBD sebagai sumber utama pembiayaan kegiatan relokasi, meski Jokowi juga mengupayakan mendapatkan tambahan anggaran dari APBN dan dari pihak swasta. Penggunaan APBD dilakukan dengan pertimbangan Pemkot dapat lebih leluasa menetapkan kebijakan penataan PKL berdasarkan hasil kesepakatan dengan para PKL (diantaranya dengan menggratiskan kios dan meredisain kios agar sesuai dengan kebutuhan PKL). Hal ini sekaligus menunjukkan adanya keberpihak Pemkot terhadap kepentingan PKL mengingat pengalokasian dana APBD untuk menangani masalah PKL, membawa implikasi serius berupa berkurangnya ketersediaan anggaran untuk sektor lain.
Sebagai contoh kebijakan menggratiskan kios yang pembiayaannya menghabiskan anggaran tidak sedikit (9,6 milyar dari rencana semula hanya 5,4 milyar karena adanya redisain kios menyesuaikan dengan aspriasi PKL), merupakan kebijakan tidak biasa mengingat kebanyakan praktek relokasi umumnya disertai dengan sejumlah pembebanan pembiayaan kepada pedagang yang direlokasi. Hal itu terjadi karena pihak pemerintah daerah biasanya beralibi tidak memiliki ketersediaan dana karenanya menggandeng pihak swasta untuk pembiayaan pembangunan kios tersebut. Atau kalau pun menggunakan dana APBD, kios tidak digratiskan akan tetapi pembiayaannya dibebankan kepada PKL dengan sedikit subsidi dari APBD. Sebagai akibatnya, PKL kerap kali tidak mampu memenuhi tuntutan pembiayaan pembelian kios baru, dan akibatnya kios baru tersebut kerap kali akhirnya diisi oleh pedagang lain yang sesungguhnya bukan merupakan pihak yang ingin diintervensi.
Selain terkuranginya pos anggaran pembangunan untuk sektor lain, kebijakan menggratiskan kios dan membebankannya kepada APBD, selain dapat menimbulkan resistensi dari pihak yang terkurangi pembiayaannya, kebijakan tersebut juga rawan untuk tidak mendapatkan persetujuan dari DPRD. Akan tetapi praktek penataan PKL di Kota Solo membuktikan, dengan komitmen dan keberpihakan yang kuat semua hal tersebut dapat diatasi. Karena hal itu tak berlebihan untuk mengatakan bahwa kebijakan penganggaran dalam relokasi PKL menunjukkan bukti komitmen Pemkot Solo dalam mengedepankan kepentingan PKL.
Kebijakan pemberian Surat Hak Penempatan (SHP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) juga menjadi contoh lain tindakan enabling . Kebijakan tersebut selain sebagai bukti pengakuan eksistensi PKL (yang semula selalu dikonotasikan sebagai pihak yang menggaanggu ketertiban umum), juga sekaligus merupakan langkah konkrit untuk meningkatkan kesejahteraan (setidak-tidaknya harkat dan martabat PKL). Pemberian kios menjadikan PKL memiliki tempat yang layak untuk berdagang sementara sebelumnya mereka berdagang hanya dengan kondisi lapak dagangan yang jauh dari memadai (diantaranya hanya berupa hamparan terpal, terutama untuk pedagang oprokan). Karena kios tersebut berstatus hak milik, hal ini juga memberi implikasi luas berupa peningkatan kepemilikan aset oleh PKL. Sementara itu TDP mengubah status PKL yang semula pedagang ilegal menjadi legal. Kesemua tindakan tersebut menjadikan PKL sebagai profesi yang lebih berharga, yaitu dari pedagang liar menjadi saudagar. Dalam kerangka enabling pula, Jokowi mengakomodir berbagai tuntutan (aspirasi) objek (kelompok sasaran) kebijakan. Aspirasi dimaksud adalah: (1) Menggratiskan
kios. 23 ; (2) memberikan bantuan pinjaman permodalan (dana dari APBN); (3) membuka trayek baru dan melebarkan jalan menuju lokasi; dan (4) memfasiltiasi sosialisasi lokasi baru melalui media TV lokal dan promosi gratis selama 4 (empat) bulan di harian lokal.
23 Kebijakan menggratiskan kios diambil sebagai hasil musyawarah (negosiasi) antara PKL dengan Pemkot Solo (Jokowi) pada saat Jokowi mengutarakan keinginannya untuk merelokasi
PKL. PKL hanya memiliki kewajiban untuk membayar retribusi Rp. 2.600/hari. Kebijakan ini sempat ditentang oleh DPRD, namun akhirnya diterima setelah Pemkot (Jokowi) meyakinkan DPRD bahwa dengan retribusi yang dibayar PKL per-hari, dalam waktu 8 (delapan) tahun return ( break-even point ) pembiayaan untuk kegiatan relokasi akan dapat diperoleh.
Selain itu enabling juga dilakukan dalam bentuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penyempurnaan kebijakan (pengembangan nilai-nilai demokrasi di aras lokal). Dalam tindakan relokasi PKL hal itu dapat dilihat baik pada tahap penyiapan relokasi hingga tahap pemberian feedback kebijakan. Pada tahap penyiapan, masyarakat termasuk PKL sebagai kelompok sasaran, dilibatkan dalam melakukan pengumpulan (inventarisasi) serta penyajian data dan masalah, verifikasi serta perumusan masalah dan data, menetapkan data PKL, serta dalam penyelesaian masalah. Pada tahap perencanaan warga terlibat dalam memberikan masukan data dan permasalahan, ikut-serta dalam penyusunan dan penataan lokasi, bangunan, dan pengelolaan pasar; serta menjamin kelancaran pembangunan dan pemindahan. Dalam tahap pelaksanaan warga terlibat dalam melakukan sosialisasi, pembongkaran lapak PKL, pengundian kios pasar, pengangkutan kepindahan ke lokasi baru, penempatan dan pengambilan barang dagangan, kirab boyongan kepindahan termasuk dalam pembiayaan kirab yang dilakukan secara swadaya, menjaga keamanan, kebersihan dan ketertiban, mematuhi aturan pasar, membayar retribusi, termasuk dalam membentuk paguyuban dan koperasi. Dalam tahap evaluasi dilakukan dengan kepatuhan penggunaan kios, pelaksanaan keamanan dan ketertiban penempatan barang, keefektifan taat ruang bangunan, dan bantuan permodalan. Sementara dalam memberikan feedback warga terlibat dalam pengaturan tata-letak bangunan kios, perbaikan dan perawatan, penertiban pedagang, serta keamanan dan kenyamanan berdagang.
Tindakan reform yang dilakukan Pemkot Solo (Jokowi) dalam penataan dan pembinaan PKL, terutama dalam proses relokasi PKL Banjarsari ke Semanggi, sesungguhnya merupakan sebuah proses panjang dan bukan tindakan sekali jadi, baik pada saat perumusan kebijakan, pelaksanaan, maupun pada tahap paska pelaksanaan kebijakan. Disain kebijakan mengalami metamorphosis berkali-kali sebagai respon atas tuntutan yang disampaikan PKL, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui paguyuban atau melalui lembaga pendamping PKL, yaitu NGO yang memiliki area garapan pendampingan PKL. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Giddens (1984) bahwa tindakan agen dalam mempengaruhi struktur, tidaklah diproduksi sekali jadi akan tetapi lebih merupakan proses pengulangan atau diciptakan terus menerus melalui suatu cara, yang dengan cara itu agen menyatakan dirinya sebagai aktor. Meski diproduksi berkali-kali, upaya mengatasi keterbatasan struktural (mempengaruhi struktur) seperti mengatasi keterbatasan anggaran, melakukan upaya penyiapan birokrasi (untuk mampu melakukan pendekatan budaya dan humanis atau ngewongke wong ) serta mengatasi keterbatasan regulasi; bukan tindakan yang mustahil dilakukan. Setidaknya Jokowi menunjukkan hal tersebut.
Upaya mengatasi keterbatasan anggaran mengingat sebagian besar tindakan reform Jokowi dalam menata PKL bersumber dari APBD, dilakukan dengan menciptakan efisiensi anggaran dan memberikan prioritas penganggaran pada kegiatan yang terkait dengan agenda utama reform . Untuk efisiensi anggaran misalnya, hal itu dilakukan dengan menekan pembiayaan proyek (mengurangi mark-up anggaran yang kerap terjadi). Selain itu upaya mensinergikan program utama reform dengan program pusat sehingga dapat memperoleh bantuan pendanaan, juga dilakukan. Sebagai contoh untuk menata PKL di Galabo ( Gladak Langen Bogan ), Pemkot Solo menggandeng kementrian UMKM yang memang memiliki perhatian pada upaya pengembangan UMKM. Pemkot Solo misalnya mendapatkan bantuan pendanaan sebesar 5,6 miliar dari kementerian UMKM untuk penataan PKL di Galabo. Dengan swasta Pemkot bekerjasama melakukan pengadaan tenda bagi para PKL dan sebagai imbalannya pihak swasta yang berkontribusi dapat mengiklankan produknya dikawasan Galabo tersebut.
Upaya menyiapkan birokrasi agar mampu mengembangkan budaya ngewongke wong dalam menata PKL dilakukan dengan pemberian arahan terus menerus pada saat apel rutin harian maupun apel khusus yang digelar untuk itu, terutama kepada OPD terkait (Satpol PP). Dikeluarkannya kebijakan untuk menyimpan pentungan dan mengganti dengan peluit dan buku, juga merupakan cara lainnya. Birokrasi “dipaksa” untuk dapat lebih cepat beradaptasi dengan kebijakan Pemkot dan mengganti gaya lama yang biasa dilakukannya dengan cara baru yang ingin Upaya menyiapkan birokrasi agar mampu mengembangkan budaya ngewongke wong dalam menata PKL dilakukan dengan pemberian arahan terus menerus pada saat apel rutin harian maupun apel khusus yang digelar untuk itu, terutama kepada OPD terkait (Satpol PP). Dikeluarkannya kebijakan untuk menyimpan pentungan dan mengganti dengan peluit dan buku, juga merupakan cara lainnya. Birokrasi “dipaksa” untuk dapat lebih cepat beradaptasi dengan kebijakan Pemkot dan mengganti gaya lama yang biasa dilakukannya dengan cara baru yang ingin
Sementara itu guna mengatasi regulasi yang ada, sementara raperda baru belum selesai dirumuskan, upaya dilakukan dengan mengeluarkan sejumlah aturan berupa SK Walikota (tentang cara penanganan PKL) maupun Perwali (Peraturan Walikota). Hal ini yang kerap tidak dilakukan pemerintah daerah lainnya. Upaya reform menjadi lambat dilaksanakan karena pemda kerap menunggu selesainya perda sebagai payung hukum, sementara karena proses penyusunan perda memakan waktu yang panjang, upaya reform menjadi terhambat (tidak dapat segera dilakukan). Keberanian menjadikan SK Walikota dan Perwali sebagai payung hukum (ditahap awal pelaksanaan reform ), merupakan terobosan yang dapat dijadikan contoh. Meski upaya memayungi kebijakan dengan perda agar kekuatan hukum dapat lebih kokoh perlu dilakukan, hal itu tidak mesti dilakukan pada tahap awal. Cara ini pula yang dilakukan Bupati Jembrana dimasa Winasa ketika melaksanakan program JKJ (Jaminan Kesehatan Jemberana). Program pada awalnya dilaksanakan hanya dengan payung hukum SK Bupati.