Gambaran Umum Permasalahan

6.1. Gambaran Umum Permasalahan

Sungai Bengawan Solo merupakan salah-satu sungai terbesar di Pulau Jawa dengan luas wilayah mencapai 19,778 m2 atau sekitar 12% dari luas Pulau Jawa. Secara administratif berada di dua provinsi yang sejumlah daerahnya berada di wilayah Sungai Bengawan Solo. Daerah dimaksud untuk Provinsi Jawa Tengah adalah: Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Rembang, dan Kota Surakarta; sedangkan Provinsi Jawa Timur daerah yang dilewati adalah Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Trenggalek, dan Mojokerto.

Sungai Bengawan Solo sebagai Sungai terpanjang di Pulau Jawa, mengalir dari Pegunungan Sewu di Barat Selatan Surakarta ke Laut Jawa Utara di Surabaya, dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 16.1000 km2. Daserah Aliran Sungai tersebut masing-masing terdiri dari: (1) Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo hulu dengan laus 6.702 km2, (2) Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo hilir dengan luas 6.273 km2, dan (3) Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Madiun dengan luas 3,755km2.

Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 11A Tahun 2006, wilayah Sungai Bengawan Solo merupakan wilayah sungai lintas provinsi sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meski pemanfaatan ruang di sekitar sungai Bengawan Solo tetap memperhatikan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya disekitarnya, yang telah dikompilasi kedalam RTRW Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu berdasarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, disebutkan bahwa sekurang- kurangnya 100 meter dikanan kiri sungai besar dan 50 meter dikiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman, merupakan daerah sempadan sungai yang difungsikan untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai sehingga tidak boleh dijadikan sebagai tempat hunian. Aturan mengenai hal ini diperinci didalam Perda Provinsi Jawa Tengah yang menyebutkan bahwa garis sempadan sungai yang tidak boleh dihuni untuk sungai tidak bertanggul dalam kawasan perkotaan adalah: 10 meter untuk sungai berkedalaman kurang dari 3 (tiga) meter), 15 meter untuk sungai berkedalaman 3 (tiga) sampai 20 meter, dan 30 meter untuk sungai dengan kedalaman lebih dari

20 meter. Kebijakan ini telah ditetapkan Pemkot Surakarta dan dimasukkan dalam Rencana Umum tata

Ruang Kota (RUTRK) Kota Surakarta tahun 2007-2016 yang menetapkan sempadan sungai Bengawan Solo dengan jarak 3 meter dari bagian sungai yang bertanggul dan jarak 15 meter untuk bagian sungai yang tidak bertanggul. Didalam RUTRK tersebut juga disebutkan sejumlah aktifitas yang dibolehkan dilakukan disempadan sungai, yaitu kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diijinkan dan berfungsi lindung, (2) Kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung daerah sempadan sungai, (3) Pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan serta rambu-rambu pekerjaan, (4) Pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum, (5) Pemasangan tiang atau pondasi prasarana jalan atau jembatan, (6) Penyelenggaraan kegiatan- kegiatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai (bersifat insidentil), (7) Pembangunan prasarana lalu lintas air, bangunan pengambil dan pembuang air, dan (8) Pemanfaatan kawasan sempadan sungai tersebut tidak boleh mengurangi fungsi sungai dan harus mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski kebijakan tentang daerah sempadan sungai telah ditetapkan, fakta realitas menunjukkan bahwa pemanfaatan sempadan sungai untuk kegiatan yang tidak dibenarkan seperti untuk pemukiman dan persawahan, terus terjadi bahkan cenderung meningkat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2008, terjadi penurunan luas hutan alam di Kota Surakarta sebesar

31,57% (11.023 Ha), yaitu dari 34.190 Ha pada tahun 2000 menjadi 23.888 Ha pada 2007. Sementara itu data lain menunjukkan bahwa bantaran Sungai Bengawan Solo pada tahun 2005 dihuni tak kurang dari 2.000 rumah semi permanen yang didiami 8.000 penduduk.

Mengapa terjadi peningkatan jumlah penduduk di bantaran? Ada banyak faktor. Satu diantaranya karena tingginya pertumbuhan penduduk kota yang berimplikasi pada peningkatan kebutuhan pemukiman. Kelompok masyarakat dengan daya beli rendah terpaksa memilih menempati ruang-ruang yang sebetulnya tidak diperuntukkan bagi pemukiman penduduk, karena mereka mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan tempat tinggal akibat harga tanah yang terus meningkat. Studi Ita Arleni (2009) tentang Kajian Persebaran Pemukiman Kumuh Liar ( squatter) di Sepanjang Bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta, juga menemukan fakta serupa, penyebab munculnya permukiman kumuh liar ( squatter ) disepanjang bantaran Bengawan Solo dipengaruhi oleh faktor urbanisasi, faktor ekonomi, dan faktor bencana. Adanya kebutuhan untuk tinggal dilokasi-lokasi strategis guna memudahkan akses mencari nafkah (misalnya pasar), juga menjadi alasan lainnya. Hal itu sebagaimana diungkap salah seorang warga yang akhirnya mengikuti relokasi dari Pucang Sawit ke Kampung Mipitan yang mengatakan, Lemahnya penegakan hukum menjadi sebab lain sehingga jumlah penduduk yang tinggal di bantaran sungai terus meningkat bahkan dalam jumlah yang makin tak terkendali. Beberapa informan yang penulis wawancarai misalnya menyatakan bahwa mereka sudah tinggal dibantaran Sungai Bengawah Solo sejak puluhan tahun lalu dan mengaku tidak pernah ada tindakan penertiban yang dilakukan oleh Pemkot terhadap keberadaan mereka disana. Selain itu inkonsistensi sikap pemerintah terhadap warga masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dengan mengeluarkan sertifikat hak milik, menjadi penyebab lainnya, sebagaimana disampaikan Sukasno, Ketua DPRD Kota Solo (2009- 2014). Hal lain yang tidak kalah penting, terdapat warga masyarakat yang menempati bantaran sungai Bengawan Solo karena lahan yang mereka tempati dahulunya merupakan hadiah dari keraton kasunanan sebagai penghargaan atas pengabdian mereka (para abdi dalem ) kepada keraton. Sebagai tanda kepemilikan, mereka diberi pikukuh , yaitu semacam tanda hak milik namun masih dalam bahasa Jawa Kuna. Apapun alasan yang menyebabkan mereka akhirnya menempati bantaran sungai, yang pasti karena menempati lokasi dengan jarak kurang dari 10 meter dari bibir sungai, warga bantaran sesungguhnya menghadapi problem serius seperti terkena banjir. Menurut penuturan informan (Sumanto, Sri, dan Ari, warga bantaran dari Kampung Sewu), tiap tahun bisa 3- 4 kali banjir. “Banjir itu bisa tiga-empat kali… kalo banjir ya ngungsi, nanti ya kembali lagi… barang ya disimpan ditempat yang tinggi…” (wawancara pada 23 Maret 2012)