Bahasa dan Pertarungan Simbolik

1. Bahasa dan Pertarungan Simbolik

Bahasa merupakan salah satu dari bentuk-bentuk simbolik, namun ia merupakan bentuk simbolik yang khas. Di satu sisi, layaknya bentuk-bentuk simbolik lainnya, bahasa menstrukturkan realitas sosial sekaligus distrukturkan olehnya. Ia juga berfungsi menyatukan sebuah masyarakat penutur sekaligus memisahkannya menjadi kelas-kelas. Namun di sisi lain, berbeda dengan bentuk simbolik lain, bahasa merupakan bentuk simbolik yang sepenuhnya formal. Ia tetap memiliki makna tanpa harus merujuk pada sesuatu yang nyata sebagai referen, dan dengan demikian memiliki kemampuan generatif tak terbatas. “Tak ada sesuatupun yang tak bisa dikatakan dalam bahasa dan [bahkan] mungkin untuk mengatakan bukan apa-apa (nothing). Orang dapat berkata apapun dalam

bahasa, yakni, dalam batas kegramatikalan” (Bourdieu 1995a: 41). Begitu pula, bahasa selalu hadir dalam semua ranah dan wilayah kehidupan, berbeda dengan bentuk simbolik lain yang cenderung mewujud dalam ranah-ranah khusus tertentu, seperti ranah seni, ilmu, agama, dsb.—ini terutama benar dalam masyarakat yang terdiferensiasi. Produksi bentuk-bentuk simbolik selain bahasa cenderung melibatkan sekelompok spesialis dalam ranah yang juga khusus. Sedang non-spesialis lebih berperan sebagai konsumen terhadap produk simbolik yang dihasilkan dalam ranah-ranah khusus itu. Seni, misalnya, diproduksi secara eksklusif oleh seniman dalam ranah seni, dan non-seniman hanya berperan sebagai konsumen. Begitu pula ilmu diproduksi oleh ilmuwan dalam ranah ilmiah. Berbeda dengan bahasa. Semua agen dalam semua ranah adalah produsen sekaligus konsumen bahasa.

Selain itu, bentuk-bentuk simbolik lain juga cenderung melibatkan bahasa—ini sangat terlihat pada bentuk simbolik tertentu, semisal sastra dan ilmu, yang hingga tingkat tertentu bisa dikatakan sebagai bentuk khusus praktik bahasa, tapi juga benar pada bentuk-bentuk simbolik yang lain, sejauh praktik bahasa atau Selain itu, bentuk-bentuk simbolik lain juga cenderung melibatkan bahasa—ini sangat terlihat pada bentuk simbolik tertentu, semisal sastra dan ilmu, yang hingga tingkat tertentu bisa dikatakan sebagai bentuk khusus praktik bahasa, tapi juga benar pada bentuk-bentuk simbolik yang lain, sejauh praktik bahasa atau

Keunikan dan kekhasan bahasa dibanding bentuk-bentuk simbolik yang lain adalah ia hadir di mana-mana, merembesi seluruh ranah dan wilayah kehidupan sosial. Namun tepat karena itu, ia tidak boleh dipisahkan secara tegas dengan bentuk-bentuk simbolik lain. Menurut Bourdieu, perwujudan skema persepsi dan apresiasi dalam bahasa hanya merupakan satu aspek dari habitus. Sosialisasi dengan mempelajari bahasa memang memegang peranan penting dalam pemerolehan habitus, tapi bukan satu-satunya. Sebagian besar kemampuan habitus untuk memediasi kuasa simbolik justru berasal dari kenyataan bahwa ia bekerja tanpa disadari, dengan kata lain pra-verbal (Bourdieu 1995: 123-4, 167; 1995a: 263, cat. no 21).

Otonomi bahasa, seperti halnya bentuk-bentuk simbolik lain, bersifat relatif terhadap struktur sosial. Kekuatan bahasa berakar pada homologi strukturalnya dengan ruang sosial. Alih-alih mendapat kekuatannya dari dalam dirinya sendiri, seperti diyakini relativisme linguistik Sapir-Whorf, skema klasifikasi dan evaluasi realitas yang terkandung dalam bahasa memiliki kekuatan menstrukturkan realitas karena ia sendiri distrukturkan oleh realitas. Dalam hal ini terlihat bahwa pandangan Bourdieu lebih dekat dengan Wittgenstein ketimbang hipotesis Sapir-Whorf. Bourdieu menyepakati Wittgenstein yang beranggapan bahwa bahasa mampu menstrukturkan dunia karena ia terjalin erat dengan praktik-praktik non-bahasa. Tentu Bourdieu lebih detail menguraikan hubungan Otonomi bahasa, seperti halnya bentuk-bentuk simbolik lain, bersifat relatif terhadap struktur sosial. Kekuatan bahasa berakar pada homologi strukturalnya dengan ruang sosial. Alih-alih mendapat kekuatannya dari dalam dirinya sendiri, seperti diyakini relativisme linguistik Sapir-Whorf, skema klasifikasi dan evaluasi realitas yang terkandung dalam bahasa memiliki kekuatan menstrukturkan realitas karena ia sendiri distrukturkan oleh realitas. Dalam hal ini terlihat bahwa pandangan Bourdieu lebih dekat dengan Wittgenstein ketimbang hipotesis Sapir-Whorf. Bourdieu menyepakati Wittgenstein yang beranggapan bahwa bahasa mampu menstrukturkan dunia karena ia terjalin erat dengan praktik-praktik non-bahasa. Tentu Bourdieu lebih detail menguraikan hubungan

Di sisi objektif, dunia sosial merupakan realitas yang memiliki struktur yang lembam. Benda-benda material maupun simbolik terdistribusi secara tidak merata berdasar struktur kelas. Kepemilikan benda-benda material dan simbolik ini akan menciptakan lingkungan sosial yang berbeda bagi masing-masing kelas, dan pada gilirannya membentuk habitus yang juga berbeda. Sedang di sisi objektif, persepsi dan apresiasi agen terhadap dunia sosial juga memiliki struktur yang homologis dengan dunia sosial objektif. Ini dimungkinkan melalui kerja habitus yang merupakan skema praktik, representasi, klasifikasi, dan evaluasi (Bourdieu 1994: 132-3). Sebuah diskursus memiliki kekuatan untuk menciptakan realitas, yakni membuatnya diakui sebagai terberi dan alamiah, karena realitas itu sendiri disalah-kenali sebagai alamiah melalui skema habitus yang pada gilirannya juga terstruktur oleh realitas sosial. Kuasa simbolik kata-kata berlaku “hanya jika kata-kata itu benar, yakni, memadai terhadap benda-benda” (Bourdieu 1994: 138). Dalam arti inilah, bahasa, seperti bentuk-bentuk simbolik lain, mendapat kekuatan simboliknya karena menstrukturkan tapi sekaligus juga distrukturkan oleh realitas (Bourdieu 1995a: 166).

Dunia sosial memang memiliki struktur yang lembam, tapi tak berarti terstruktur sepenuhnya dengan sangat rigid. Selalu ada kemungkinan untuk menerapkan representasi, klasifikasi, dan evaluasi yang berbeda. Hal ini sebagian dimungkinkan karena hingga derajat tertentu dunia sosial mengandung ketidak- pastian dan kesamaran. Sebagian yang lain mungkin karena sifat bentuk-bentuk simbolik yang semena. Karena tak ada hubungan natural antara realitas sosial dan representasi simbolik terhadapnya, maka representasi itu bisa diubah dalam batas- batas kelembaman struktur realitas sosial itu sendiri. Ketidak-pastian dunia sosial, pluralitas dan kesemenaan representasi simbolik, ditambah banyaknya sudut pandang terhadap dunia sosial berdasarkan posisi dalam ranah yang berbeda memberi landasan bagi kemungkinkan terjadinya pertarungan simbolik, yakni Dunia sosial memang memiliki struktur yang lembam, tapi tak berarti terstruktur sepenuhnya dengan sangat rigid. Selalu ada kemungkinan untuk menerapkan representasi, klasifikasi, dan evaluasi yang berbeda. Hal ini sebagian dimungkinkan karena hingga derajat tertentu dunia sosial mengandung ketidak- pastian dan kesamaran. Sebagian yang lain mungkin karena sifat bentuk-bentuk simbolik yang semena. Karena tak ada hubungan natural antara realitas sosial dan representasi simbolik terhadapnya, maka representasi itu bisa diubah dalam batas- batas kelembaman struktur realitas sosial itu sendiri. Ketidak-pastian dunia sosial, pluralitas dan kesemenaan representasi simbolik, ditambah banyaknya sudut pandang terhadap dunia sosial berdasarkan posisi dalam ranah yang berbeda memberi landasan bagi kemungkinkan terjadinya pertarungan simbolik, yakni

Pada penekanannya terhadap penggunaan bentuk-bentuk simbolik, terutama bahasa, sebagai sarana pertarungan simbolik nampak pula perbedaan lain antara Bourdieu dan Wittgenstein. Di sini terlihat jejak-jejak pemikiran Nietzsche yang membuatnya lebih dekat dengan Foucault dan Lyotard. Mengenai beberapa titik simpang antara Bourdieu dan Foucault sudah disinggung di atas. Sementara perbedaannya dengan Lyotard berada pada hal yang dipandang sebagai sumber kekuatan bahasa. Sama-sama meyakini pluralitas permainan bahasa dan sifat spesifiknya secara historis, Bourdieu memberi analisis detail terhadap landasan sosiologis kekuatan simbolik bahasa, sedang Lyotard lebih menghubungkannya dengan apa yang disebutnya narratives, seperti emansipasi dan performativitas (Lyotard 1992: 27-31, 41-53).

Pertarungan simbolik bisa terjadi pada dua sisi. Di sisi objektif, agen dapat menampilkan diri dengan cara tertentu untuk mengubah representasi simbolik terhadap dirinya, baik secara kolektif melalui demonstrasi massal untuk menunjukkan kesatuan dan kekuatan kelompoknya, maupun secara individual melalui manajemen citra diri dan citra posisinya dalam ruang sosial—seperti dianalisis Goffman dalam dramaturginya. Di sisi subjektif, agen dapat mengubah skema persepsi dan apresiasi terhadap dunia sosial melalui sarana pembentuknya, yaitu bentuk-bentuk simbolik, terutama bahasa (Bourdieu 1994: 133-4).

Pertarungan simbolik untuk mengubah skema persepsi dan apresiasi realitas sosial terjadi ketika doxa, yaitu kepercayaan praktis terhadap struktur dan aturan main sebuah ranah, mulai dipertanyakan. Doxa dipertanyakan ketika simetri antara habitus dan suatu ranah terguncang, entah oleh kontak budaya atau oleh krisis ekonomi atau politik. Guncangan di ruang sosial menimbulkan gema di ruang simbolik, dan pada gilirannya memicu terbentuknya ruang opini di mana berbagai anggapan dan keyakinan yang sebelumnya diterima begitu saja tanpa pernah dibicarakan mulai diperdebatkan secara eksplisit dalam diskursus. Dalam ruang opini inilah pihak yang hendak mengubah struktur suatu ranah memproduksi heterodoxy, yaitu pernyataan eksplisit yang mempertanyakan Pertarungan simbolik untuk mengubah skema persepsi dan apresiasi realitas sosial terjadi ketika doxa, yaitu kepercayaan praktis terhadap struktur dan aturan main sebuah ranah, mulai dipertanyakan. Doxa dipertanyakan ketika simetri antara habitus dan suatu ranah terguncang, entah oleh kontak budaya atau oleh krisis ekonomi atau politik. Guncangan di ruang sosial menimbulkan gema di ruang simbolik, dan pada gilirannya memicu terbentuknya ruang opini di mana berbagai anggapan dan keyakinan yang sebelumnya diterima begitu saja tanpa pernah dibicarakan mulai diperdebatkan secara eksplisit dalam diskursus. Dalam ruang opini inilah pihak yang hendak mengubah struktur suatu ranah memproduksi heterodoxy, yaitu pernyataan eksplisit yang mempertanyakan

Namun begitu, karena kelembaman struktur dunia sosial, upaya mengeksplisitkan doxa ke dalam heterodoxy dan orthodoxy memiliki batas- batasnya. Banyak hal yang tidak muncul dalam diskursus dan tetap tinggal implisit sebagai keyakinan yang menubuh. Perdebatan mengenai struktur dan aturan suatu ranah justru mengandaikan kepentingan yang sama terhadap ranah itu dan mensyaratkan keyakinan yang sama bahwa ranah itu memang berharga untuk diikuti (Bourdieu 1995: 168-70; bdk. Thompson 1984: 29-30). Misalnya, dalam perdebatan mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan Indonesia: sosialis atau kapitalis, demokrasi presidensial atau parlementer, dsb., jarang sekali— kalaupun pernah—muncul pertanyaan mengenai perlunya negara Indonesia itu sendiri.

Pertarungan simbolik dalam dunia sosial bisa digambarkan dalam skema berikut:

Semesta hal-hal yang tidak didiskusikan (tidak diperdebatkan)

doxa

opini

hetero- ortho-

doxy doxy

Semesta diskursus (argumen)

Gambar 2. Pertarungan simbolik dalam dunia sosial

(Bourdieu 1995: 168)