Kritik terhadap Ilusionisme Linguistik
1. Kritik terhadap Ilusionisme Linguistik
Sudah disebutkan bahwa pemikiran Bourdieu secara umum merupakan reaksi terhadap eksistensialisme di satu pihak dan strukturalisme di pihak lain. Dan karena strukturalisme banyak menimba inspirasi dari linguistik struktural, maka wajarlah bila pemikiran Bourdieu mengenai bahasa juga adalah reaksi terhadap pendekatan linguistik struktural.
Terhadap linguistik struktural yang dirintis de Saussure, Bourdieu mengajukan beberapa keberatan. Pertama, di tingkatan metodologis, linguistik struktural terjebak dalam objektivisme yang berakar pada sesat pikir skolastik. Seperti didiskusikan di bab II, objektivisme cenderung mengabaikan dua hal: kondisi sosial objektif yang memungkinkan produksi dirinya sendiri dan hubungan subjektif si ilmuwan dengan objek kajiannya. Karena mengabaikan dua hal ini, ilmuwan objektivis cenderung memproyeksikan hubungan dirinya dan objek sebagai sesuatu yang berada dalam objek. Dalam posisinya sebagai ilmuwan, seorang linguis struktural memandang bahasa sebagai objek penelitian,
yakni sesuatu yang harus ditafsirkan dan dipahami untuk tujuan pemahaman teoretis itu sendiri. Sudut pandang yang digunakannya adalah sudut pandang pengamat dan bukan pengguna, sudut pandang “seorang tatabahasawan yang hendak mempelajari dan mengkodifikasi bahasa, bukan seorang orator yang hendak bertindak dalam dan kepada dunia melalui bahasa” (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 45). Kemudian tanpa sadar ia memproyeksikan sudut pandang demikian, yakni sudut pandang seorang “penonton yang tak memihak” (impartial spectator ), sebagai sesuatu yang berada pada bahasa maupun para penuturnya. Tak heran jika linguistik struktural menghasilkan simpulan bahwa bahasa adalah objek yang hanya hendak dipahami, melulu kode yang semata digunakan oleh para penuturnya untuk melakukan pengkodean (encoding) dan pengawakodean (decoding), bukan sesuatu yang digunakan untuk bertindak (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 45-6; Bourdieu 1992: 31-2; Bourdieu 1995: 23-4).
Kedua , Bourdieu menolak teori praktik yang implisit dalam linguistik struktural yang, seperti halnya strukturalisme, memandang praktik semata eksekusi dan hasil kepatuhan terhadap aturan tak-sadar (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 45-6; Bourdieu 1992: 31-2; Bourdieu 1995: 23-4). Sebagai kritik terhadap pandangan ini, seperti dalam bab terdahulu, Bourdieu memperkenalkan strukturalisme genetik dengan tiga konsep pokoknya: habitus, ranah, dan modal (lih. Bab II, bag. C.1).
Ketiga , di tingkatan analisis bahasa, Bourdieu menolak kecenderungan abstraksi dalam linguistik struktural. Abstraksi ini mewujud dalam dua hal yang saling berhubungan, yaitu dalam konstruksi objek dan analisis terhadapnya. Seperti sudah disinggung di bab sebelumnya, linguistik struktural mengkonstruksi objek kajian dan metode analisisnya dengan membedakan antara langue dan parole , juga antara pendekatan sinkronis dan diakronis, dan selanjutnya memberi prioritas pada langue dan pendekatan sinkronis. Dengan pembedaan ini, linguistik struktural serentak melakukan dua abstraksi: dengan pendekatan sinkronis bahasa diabstraksikan dari sejarah pembentukannya dan dengan mengkaji langue bahasa diabstraksikan dari penggunaan konkretnya.
De Saussure bukannya tidak menyadari bahwa pada perkembangannya bahasa saling mempengaruhi dengan unsur-unsur eksternal non-linguistik. Ia, misalnya, menyebut berbagai kemungkinan hubungan saling-pengaruh antara langue dengan sejarah ras dan kebudayaan para penuturnya, faktor-faktor politik, berbagai institusi sosial lain seperti: agama, sekolah, sastra, dan faktor-faktor geografis. Meski begitu, sebagai imbas dari pemilahannya antara langue dan parole , juga antara sinkroni dan diakroni, ia menyatakan bahwa linguistik “tidak perlu untuk mengetahui keadaan di mana suatu langue berkembang”. Lebih jauh lagi, ia menegaskan bahwa pemisahan unsur eksternal dan internal dalam linguistik itu “perlu, dan makin kita meninjau dengan ketat, makin baik” (de Saussure 1996: 88-91).
Demikian pula, de Saussure menyadari bahwa langue tidak bisa dipelajari tanpa melalui manifestasi individualnya dalam parole. Secara historis, parole memang selalu mendahului langue. Melalui parole manusia mempelajari langue; pun parole-lah yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam langue. Meski begitu, bagi de Saussure, langue adalah syarat logis bagi kemungkinan pemahaman bahasa. Sementara, parole adalah sekumpulan tuturan individual yang sifatnya sementara dan variasinya tak terbatas, dan karenanya tidak teramalkan. Ia tidak menolak adanya kemungkinan kajian ilmiah terhadap parole, hanya saja kedudukannya sekunder terhadap studi langue. Mengenai kajian terhadap parole, ia mengingatkan jangan sampai “disiplin tersebut dirancukan dengan linguistik yang sebenarnya, yaitu menjadikan langue sebagai objek satu- satunya” (de Saussure 1996: 87, cetak miring ditambahkan).
Dengan melakukan dua abstraksi ini, linguistik struktural melupakan dua aspek penting dalam bahasa. Di satu sisi, ia menerima begitu saja objek yang telah dibentuk sebelumnya (pre-constructed) dengan mengidealkan kesatuan langue dalam sebuah masyarakat penutur tertentu dan mengabaikan sejarah pergulatan sosial-politik yang membentuk kesatuan itu. Pandangan ini terlihat lebih jelas dalam metafor yang digunakan de Saussure ketika menggambarkan bahasa sebagai “warisan” kolektif yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat penutur (de Saussure 1996: 153-4; bdk. Bourdieu 1995a: 43). Dalam analogi lain de
Saussure membandingkan langue dengan kamus yang tiap eksemplarnya identik dan terbagi merata pada tiap individu dalam suatu masyarakat penutur (de Saussure 1996: 86-7). Akibatnya, para linguis cenderung menerima begitu saja bahasa standar dan resmi sebagai objek kajian mereka, dan dengan demikian mengabsahkan dan memberinya status universal dan ilmiah. Karena itu, Bourdieu menyebut bahwa linguistik struktural terjebak dalam apa yang disebutnya “ilusi komunisme linguistik”, yaitu pandangan bahwa kemampuan berbahasa terbagi secara merata dan sama persis pada semua individu dalam sebuah masyarakat penutur. Padahal dalam kenyataannya, kemampuan berbahasa tidak pernah terdistribusi secara merata antar-individu (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 47).
Di sisi lain, linguistik struktural memprioritaskan analisis langue yang abstrak dan dengan demikian mengabaikan penggunaan bahasa secara konkret sebagai sarana perebutan dan penggunaan kekuasaan (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 47; Bourdieu 1995a: 43-6). Menurut Bourdieu, yang beredar dalam pertukaran linguistik bukanlah semata “bahasa” murni dalam arti langue, melainkan praktik berbahasa atau diskursus yang secara sosial ditandai, baik dalam produksi maupun dalam resepsinya (Bourdieu 1995a: 39).
Beberapa keberatan Bourdieu di atas juga berlaku untuk tradisi linguistik yang lain yaitu tatabahasa generatif transformasional yang digagas Noam Chomsky. Sebenarnya pemikiran Chomsky sangat berbeda dengan gagasan de Saussure, bahkan pada beberapa bagian merupakan kritik terhadapnya. Misalnya, Chomsky mengkritik pendekatan linguistik de Saussure sebagai terlalu sempit dan hanya memberi sedikit perhatian pada aspek kreatif dalam bahasa. Hal ini terjadi karena de Saussure memandang langue sebagai inventaris berbagai elemen dan lebih memberi penekanan pada sistem elemen bukannya sistem aturan (Chomsky 1969: 23-4).
Menurut Chomsky, yang harusnya menjadi pertanyaan utama setiap teori linguistik adalah aspek kreativitas bahasa yang ditunjukkan oleh kenyataan bahwa seorang penutur dewasa dapat menghasilkan kalimat yang sepenuhnya baru dan para penutur yang lain dapat memahaminya (Chomsky 1969: 7-8). Untuk menjelaskan hal itu, ia membedakan antara competence dan performance.
Menurut Chomsky, berdasar pengalaman yang terbatas terhadap data wicara, seorang manusia normal akan menginternalisasi competence, yaitu seperangkat kemampuan abstrak dalam bahasa ibunya. Kemampuan inilah yang hendak digambarkan Chomsky dalam proyek tatabahasa generatif. Kecuali beberapa hal yang dikritiknya dari de Saussure, competence dapat dikatakan sama dengan langue . Karena itu, kajian mengenai competence tidak boleh dikacaukan dengan kajian terhadap performance, yang merupakan penggunaan sarana abstrak itu secara konkret. Dalam hal ini Chomsky menyepakati de Saussure dengan memberi prioritas logis bagi kajian competence (Chomsky 1969: 10-1; Chomsky dalam Bourdieu 1995a: 44).
Competence , dengan demikian, bukan penguasaan statis terhadap sekumpulan elemen tanda bahasa, melainkan sebuah skema dan aturan generatif yang terbatas namun dapat digunakan untuk menghasilkan dan memahami sejumlah tak terbatas kalimat yang gramatikal. Aturan dan skema generatif itu merupakan ide bawaan yang berakar dalam pikiran manusia, dan karena itu sifatnya universal (Chomsky 1972: 18-21; bdk. Sampson 1990: 137-8, 147). Tak sekadar mengajukan keseragaman dalam satu masyarakat penutur bahasa tertentu seperti dilakukan de Saussure, dalam semangat rasionalisme Cartesian, Chomsky bahkan melangkah lebih jauh dengan mengusulkan adanya hal-hal yang tak terubah pada bahasa-bahasa yang berbeda yang disebutnya “prinsip tatabahasa universal” yang merupakan bagian dari “skematisme bawaan yang diterapkan pikiran pada data pengalaman” (Chomsky 1972: 30). Di titik ini kritik Bourdieu mengenai “ilusi komunisme linguistik” bisa dikenakan pada Chomsky. Bahkan barangkali tak berlebihan jika kritik ini sedikit diubah menjadi “ilusi universalisme linguistik”.
Di sisi lain, Chomsky juga terjebak dalam abstraksi yang sama dengan de Saussure. Ia memang tidak mereduksi penutur sebagai sekadar pelaksana struktur langue layaknya de Saussure, melainkan memberi penutur kemampuan generatif. Namun demikian, kemampuan generatif ini masih terlalu abstrak karena terbatas pada kemampuan menghasilkan kalimat gramatikal dengan mengabaikan konteks penggunaannya. Bagi Bourdieu persoalannya bukan “kemampuan menghasilkan Di sisi lain, Chomsky juga terjebak dalam abstraksi yang sama dengan de Saussure. Ia memang tidak mereduksi penutur sebagai sekadar pelaksana struktur langue layaknya de Saussure, melainkan memberi penutur kemampuan generatif. Namun demikian, kemampuan generatif ini masih terlalu abstrak karena terbatas pada kemampuan menghasilkan kalimat gramatikal dengan mengabaikan konteks penggunaannya. Bagi Bourdieu persoalannya bukan “kemampuan menghasilkan
Yang tidak terbagi secara merata bukanlah kemampuan berbicara, yang karena merupakan bagian dari kapasitas biologis manusia maka bersifat universal dan tidak berfungsi distingtif, melainkan kemampuan untuk berbicara dalam bahasa yang absah , yang karena pemerolehannya bergantung pada kondisi sosial tertentu maka menciptakan distingsi (Bourdieu 1995a: 55).