Negara dan Pelembagaan Bahasa Resmi

2. Negara dan Pelembagaan Bahasa Resmi

Sebagai bentuk simbolik yang semena, bahasa tak memiliki batas alamiah. Batas geografis antara penutur bahasa-bahasa yang berbeda tidak pernah setegas Sebagai bentuk simbolik yang semena, bahasa tak memiliki batas alamiah. Batas geografis antara penutur bahasa-bahasa yang berbeda tidak pernah setegas

Proses penyatuan bahasa ini berujung pada pelembagaan bahasa resmi yang berkait erat dengan penyatuan politik dan terbentuknya negara. Secara sambil lalu, di sini perlu disebut adanya kesejajaran dengan analisis Anderson mengenai hubungan bahasa, nasionalisme, dan kelahiran negara-bangsa seperti disinggung di bab I (bdk. Collins 1993: 120). Penyatuan politik dan pembentukan negara berjalan beriringan dengan penyatuan berbagai “pasar”, termasuk “pasar linguistik”. Dengan penyatuan pasar bahasa, bahasa resmi kemudian menjadi standar yang berfungsi sebagai tolok ukur bagi semua praktik bahasa dalam berbagai situasi resmi dalam teritorial negara bersangkutan. Bahasa resmi ini dilembagakan, direproduksi, dan dilegitimasi melalui sekolah, kamus, buku-buku tatabahasa, buku-buku sastra, media, dan berbagai lembaga (Bourdieu 1995a: 45)—misalnya Pusat Bahasa dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk kasus Indonesia.

Produksi dan reproduksi bahasa resmi ini juga dikukuhkan oleh hubungan timbal balik antara penyatuan ranah pendidikan dan penyatuan pasar tenaga kerja. Di satu sisi, penyatuan ranah pendidikan memungkinkan sekolah memberikan kualifikasi dan ijazah yang diakui secara nasional termasuk dalam lapangan pekerjaan. Di sisi lain, penyatuan pasar tenaga kerja, terutama pembentukan birokrasi negara dan pegawai negeri, mensyaratkan orang yang hendak menduduki posisi tertentu dalam lapangan kerja harus memiliki kualifikasi Produksi dan reproduksi bahasa resmi ini juga dikukuhkan oleh hubungan timbal balik antara penyatuan ranah pendidikan dan penyatuan pasar tenaga kerja. Di satu sisi, penyatuan ranah pendidikan memungkinkan sekolah memberikan kualifikasi dan ijazah yang diakui secara nasional termasuk dalam lapangan pekerjaan. Di sisi lain, penyatuan pasar tenaga kerja, terutama pembentukan birokrasi negara dan pegawai negeri, mensyaratkan orang yang hendak menduduki posisi tertentu dalam lapangan kerja harus memiliki kualifikasi

Mengenai hubungan bahasa, ranah pendidikan, dan lapangan pekerjaan, harus juga ditambahkan efek globalisasi. Penyatuan ranah pendidikan dan lapangan pekerjaan hingga tingkat tertentu tidak lagi terbatas pada skala nasional. Efeknya di wilayah bahasa adalah masuknya bahasa asing ke dalam ranah pendidikan dan pasar pekerjaan. Standardisasi penguasaan bahasa Inggris melalui TOEFL (Test of English as a Foreign Language), IELTS (International English Language Testing System ), atau TOEIC (Test of English for International Communication ) yang keabsahannya diakui secara internasional dan menjadi persyaratan dalam banyak lembaga pendidikan dan posisi pekerjaan bisa disebut sebagai salah satu gejala.

Penggunaan paksaan dari luar berupa aturan atau hukum formal tidak cukup untuk menjelaskan penggunaan dan pengakuan terhadap bahasa resmi yang merata. Dominasi bahasa resmi harus dijelaskan sebagai sebuah dominasi simbolik yang bekerja melalui habitus (Bourdieu 1995a: 50). Dalam mekanisme yang rumit inilah tertanam landasan bagi dominasi simbolik yang mengabsahkan reproduksi sosial. Dengan sangat disederhanakan, jalinan antara bahasa, pendidikan, dan dominasi simbolik dapat digambarkan sebagai berikut. Pemerolehan bahasa resmi mengandaikan kondisi sosial tertentu—umumnya dimiliki oleh kelas atas dan menengah. Dengan demikian bahasa resmi hanya akan dikuasai oleh agen-agen tertentu—setidaknya tingkat penguasaan mereka akan berbeda sesuai kondisi pemerolehannya. Pada gilirannya penguasaan bahasa resmi itu hingga tingkat tertentu akan menentukan kesuksesan di sekolah. Selanjutnya, kesuksesan di sekolah hingga derajat tertentu menentukan posisi seseorang dalam lapangan pekerjaan. Walhasil, melalui salah-pengenalan habitus, reproduksi melalui jalur berbelit dan rumit ini dikenali sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh mereka yang tidak diuntungkan oleh mekanisme ini. Tepat di sinilah berakar legitimasi struktur masyarakat modern, yang efektif secara simbolik namun, seperti disinggung di bab terdahulu, bekerja secara statistik dan Penggunaan paksaan dari luar berupa aturan atau hukum formal tidak cukup untuk menjelaskan penggunaan dan pengakuan terhadap bahasa resmi yang merata. Dominasi bahasa resmi harus dijelaskan sebagai sebuah dominasi simbolik yang bekerja melalui habitus (Bourdieu 1995a: 50). Dalam mekanisme yang rumit inilah tertanam landasan bagi dominasi simbolik yang mengabsahkan reproduksi sosial. Dengan sangat disederhanakan, jalinan antara bahasa, pendidikan, dan dominasi simbolik dapat digambarkan sebagai berikut. Pemerolehan bahasa resmi mengandaikan kondisi sosial tertentu—umumnya dimiliki oleh kelas atas dan menengah. Dengan demikian bahasa resmi hanya akan dikuasai oleh agen-agen tertentu—setidaknya tingkat penguasaan mereka akan berbeda sesuai kondisi pemerolehannya. Pada gilirannya penguasaan bahasa resmi itu hingga tingkat tertentu akan menentukan kesuksesan di sekolah. Selanjutnya, kesuksesan di sekolah hingga derajat tertentu menentukan posisi seseorang dalam lapangan pekerjaan. Walhasil, melalui salah-pengenalan habitus, reproduksi melalui jalur berbelit dan rumit ini dikenali sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh mereka yang tidak diuntungkan oleh mekanisme ini. Tepat di sinilah berakar legitimasi struktur masyarakat modern, yang efektif secara simbolik namun, seperti disinggung di bab terdahulu, bekerja secara statistik dan

Dalam arti inilah bahasa, seperti bentuk-bentuk simbolik yang lain, menyatukan sekaligus memisahkan, menyamakan serentak membedakan. Kesamaan bahasa hanya menjamin komunikasi minimum yang memungkinkan terjadinya dominasi simbolik. Paradoks komunikasi terlihat dalam kenyataan bahwa meski mengandaikan medium yang sama, penggunaan medium itu selalu melibatkan perbedaan yang berakar dari ketidak-samaan habitus dan kondisi pembentuknya (Bourdieu 1995a: 39, 45).