Kesemenaan Budaya dan Salah-pengenalan

2. Kesemenaan Budaya dan Salah-pengenalan

Menurut LiPuma (1993: 17-8, 33 cat. no. 3), meski tak pernah secara eksplisit dijelaskan dalam karya-karyanya, teori Bourdieu dibangun di atas sebuah konsep kesemenaan budaya yang merupakan perluasan dari prinsip kesemenaan tanda Saussurean. LiPuma mengidentifikasi tiga makna kesemenaan budaya dalam karya-karya Bourdieu. Pertama, bahwa bentuk atau praktik budaya tertentu bersifat semena dilihat dari sudut pandang lintas-budaya. Misalnya, sebuah benda disebut dengan nama berbeda dalam budaya yang berbeda; artinya, penamaan sebuah benda dalam bahasa bersifat semena. Kedua, terdapat kesemenaan formal dalam sebuah budaya tertentu. Misalnya, tak ada alasan intrinsik yang bersifat a priori mengapa sebuah aksen atau gaya bicara tertentu menandai kelas atas, sedang aksen dan gaya bicara yang lain menandai kelas bawah. Dua prinsip kesemenaan budaya ini menurut LiPuma tidaklah kontroversial dan mendapat dukungan dari berbagai temuan etnografi dan antropologi. Ketiga, bahwa praktik budaya secara historis bersifat semena. Dengan demikian, tak ada penjelasan a priori mengapa sebuah bentuk budaya tertentu mesti diistimewakan atau didorong keberadaannya. Dan klaim ketiga inilah, dalam pandangan LiPuma, meski memiliki daya kritis yang tajam karena dapat membongkar kesemenaan status dominan budaya tertentu, namun mengantarkan Bourdieu ke dalam masalah yang tak terpecahkan, yaitu pendasaran proyek ilmiahnya sendiri. Keberatan serupa juga diajukan Nicholas Garnham, ditambah pertanyaan mengenai kemungkinan terjadinya perubahan sosial (1993: 178-87).

Kesemenaan budaya dapat dilihat dalam pandangan Bourdieu mengenai bentuk-bentuk simbolik dan bagaimana pengenalan terjadi dalam dunia sosial. Seperti disinggung di atas, sudah sejak Kant disadari bahwa manusia tidak lagi berhadapan dengan dunia objektif yang “murni”. Pengetahuan tentang objek selalu menyertakan kategori-kategori dalam rasio subjek, dan dengan demikian, dalam arti tertentu objek dibentuk oleh subjek. Pada Kant, kategori-kategori yang memungkinkan pengetahuan ini sifatnya transendental dan universal. Tepat universalisme dan transendentalisme inilah yang ditolak Bourdieu. Ia bereaksi sangat keras pada proyek fondasionalisme banyak filsuf yang hendak mencari prinsip “awal”, “dasar”, dan “landasan” a priori bagi keabsahan bentuk-bentuk simbolik. Bagi Bourdieu, pencarian landasan ontologis macam ini merupakan ilusi skolastik dan sebentuk intelektualisme (Bourdieu 2002: 121). Dengan memplesetkan Leibniz, ia menyebut bahwa di balik segala bentuk-bentuk simbolik seorang filsuf hanya akan menemukan “prinsip cukup tidak adanya alasan” (Bourdieu 2002: 94, cetak miring ditambahkan).

Mengikuti Durkheim dan Panofsky, Bourdieu berpandangan bahwa kategori-kategori pengetahuan manusia, atau dengan kata lain bentuk-bentuk simbolik, diperoleh secara sosial dalam ruang dan waktu yang spesifik, dan menubuh dalam habitusnya. Sedang habitus selalu dibentuk dalam kondisi sosial tertentu dan cenderung menaturalkan kondisi pembentuknya. Misalnya, seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Jawa akan memperoleh habitus tertentu yang cenderung menganggap bahasa Jawa sebagai natural dan dengan demikian menyalah-kenali kesemenaannya. Habitus beroperasi dalam ranah tertentu yang cenderung membuat agen percaya begitu saja pada aturan-aturan yang inheren di dalamnya dan menerimanya sebagai terberi dan alamiah. Juga perlu disebutkan kembali bahwa, karena dibentuk melalui internalisasi struktur dunia sosial yang dihidupi bersama, habitus bersifat kolektif, maka sifat semena tatanan sosial pembentuknya akan dikenali secara kolektif sebagai terberi dan alamiah. Inilah yang membentuk common sense. Sifat semenanya disalah-kenali secara kolektif dan dengan demikian salah-pengenalan mendapatkan sifat objektifnya dengan mengatasi representasi individual (Bourdieu 2002: 97-8).

Dengan demikian, setiap pengetahuan dibuat agen melalui habitusnya dari perspektif ranah tertentu, juga dari perspektif posisi tertentu dalam ranah itu, meski sifat perspektivalnya disalah-kenali dan dikenali sebagai pengetahuan yang universal (Bourdieu 2002: 99-100). Singkatnya, setiap pengenalan adalah salah- pengenalan (misrecognition, meconaissance). Namun begitu, salah-pengenalan bukannya tidak berguna secara praktis. Doxa dan illusio, yaitu kepercayaan dan penerimaan begitu saja terhadap aturan main suatu ranah dan nilai modal yang diperebutkan di dalamnya merupakan “syarat” praktis untuk turut bergabung di dalamnya. Tanpa kepercayaan ini, seorang agen tidak akan melihat adanya nilai dalam ranah tertentu, dan ia tak akan turut serta di dalamnya (Bourdieu 1992: 68).

Tepat di sini akar keberatan yang diajukan LiPuma dan Garnham. Jika setiap pengetahuan bersifat perspektival dan dibuat dari sudut pandang tertentu, dan jika tiap pengenalan adalah salah-pengenalan, bagaimana status ilmu pengetahuan, termasuk proyek sosiologi Bourdieu sendiri? Tidakkah pengetahuan yang dihasilkan Bourdieu ditentukan oleh habitusnya, struktur ranah ilmiah di mana ia berada, dan posisi ranah ilmiah dalam keseluruhan dunia sosial di Prancis? Garnham menambahkan satu pertanyaan lagi: jika semua agen menyalah-kenali struktur sosial di mana dia hidup sebagai natural dan terberi, bagaimana mungkin muncul kesadaran kritis yang pada gilirannya memicu tindakan politik dan perubahan sosial? Mengenai berbagai keberatan ini masih akan dibicarakan kembali di bawah.