Bahasa dalam Konteks Sosial

C. Bahasa dalam Konteks Sosial

Alur lain munculnya gugatan terhadap dominasi Plato-aristotelian bermula dari meningkatnya perhatian terhadap konteks sosial penggunaan bahasa. Hal ini lahir dari persinggungan antara linguistik dan ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi dan antropologi. Dalam alur ini dapat dilacak dua kecenderungan yang belakangan mulai berpadu.

Kecenderungan pertama lahir dari kritik terhadap pemikiran Ferdinand de Saussure (1857-1913), linguis kelahiran Jenewa yang kerap dinilai sebagai tonggak kelahiran linguistik modern. Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu imbas pandangan Plato-Aristotelian adalah kecenderungan abstraksi dalam kajian bahasa. Kecenderungan ini mendapat rumusan paling jelas dalam rangkaian kuliah de Saussure di Universitas Jenewa yang diterbitkan secara anumerta dalam Cours de linguistique générale (1916). Mengenai pemikiran de Saussure masih akan didiskusikan lagi di bawah dalam hubungannya dengan bahasa dan rasionalitas serta di bab berikutnya dalam hubungannya dengan kritik Bourdieu. Cukuplah di sini disebutkan bahwa tujuan proyeknya terutama adalah hendak mendefinisikan objek dan pendekatan yang tepat bagi linguistik. Untuk itu, dengan mengambil inspirasi dari sosiologi Durkheim, ia mulai dengan membedakan unsur sosial dan individual dalam bahasa (langage). Ia membuat pembedaan antara langue (unsur sosial bahasa, yaitu bahasa dalam arti abstrak berupa pasangan penanda-petanda yang terdiri dari sistem pembedaan yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarakat penutur) dan parole (unsur individual bahasa, yaitu bahasa dalam arti konkrit berupa tuturan atau wicara individual). Baginya, meski tak bisa tidak harus dipelajari lewat parole, objek yang tepat bagi kajian linguistik adalah langue (de Saussure 1996: 73-7, 86), dan dengan demikian ia mengabaikan variasi penggunaan bahasa individual sebagai tidak penting secara teoretis. Selain itu, de Saussure juga membedakan dua pendekatan yang tidak boleh dicampur-adukkan, yaitu pendekatan sinkronis (mendekati bahasa sebagai sebuah sistem yang mandiri pada suatu waktu tertentu) dan diakronis (mendekati bahasa secara historis untuk memahami perubahan pada unsur-unsurnya) (de Saussure 1996: 184-7). Dan prioritas diberikannya pada pendekatan sinkronis (Sampson 1980: 36-48; Kridalaksana 1996: 4-11).

Kritik terhadap dua pemisahan yang dibuat de Saussure itu sudah muncul di awal dekade ‘20-an, terutama dalam tulisan-tulisan tradisi semiotika Rusia. Misalnya, Roman Jakobson, tokoh linguistik Petrograd yang kemudian menjadi salah satu perintis Lingkar Linguistik Praha, menolak pemilahan sinkroni dan diakroni. Baginya, pemilahan ini berakar dari oposisi konsep sistem dan konsep

evolusi yang sebenarnya saling melengkapi. Sistem bahasa selalu berada dalam evolusi, sebaliknya evolusi bahasa juga memiliki karakter sistematik (Matejka 1973: 165-7). Sejalan dengan Jakobson, Volosinov yang bekerja dalam tradisi linguistik Leningrad yang Marxis juga menolak pemilahan langue dan parole. Pandangan de Saussure, menurut Volosinov, merupakan perwujudan objektivisme abstrak, yang dipertentangkannya dengan subjektivisme individualistik seperti diwakili pandangan William von Humboldt. Dengan pendekatan dialektika Marxis, Volosinov memandang bahwa tuturan dan sistem bahasa tidak bisa dianalisis secara terpisah. Dengan demikian, analisis linguistik ditempatkannya dalam kerangka sosiologi dengan tidak saja memperhatikan hubungan antara sistem bahasa dan tuturan, tetapi juga hubungan antara pembicara dan pendengar (Volosinov 1973: 48, 98; bdk. Matejka 1973: 163-4). Teori linguistik Volosinov memang berada dalam upaya yang lebih luas untuk mewujudkan teori umum mengenai tanda dalam rangka menganalisis ideologi (Matejka 1973: 163-4). Namun sayang, karena pemikirannya tak sejalan dengan semiotika resmi partai komunis Soviet, Volosinov menjadi salah satu korban kekuasaan Stalin dan pada tahun ‘30-an menghilang tanpa kabar jelas. Sejak itu nama dan pemikirannya tak lagi disebut-sebut di Soviet. Untunglah, pandangan-pandangannya diadopsi dan dikembangkan oleh para anggota Lingkar Linguistik Praha (Matejka & Titunik 1973: 5-6).

Ketertarikan untuk memadukan pendekatan linguistik dan ilmu sosial kembali mengemuka sejak dekade ‘60-an. Di kalangan linguis, mulai muncul kesadaran bahwa analisis bahasa tidak bisa dilakukan secara abstrak dan terpisah dari konteks sosial penuturnya. Misalnya, di tahun 1966, William Labov yang bekerja dalam tradisi linguistik fungsional yang mewarisi pandangan Jakobson dan Mazhab Praha, melakukan penelitian kuantitatif terhadap dialek penduduk kota New York dan menemukan bahwa perbedaan pengucapan bunyi tertentu bukan sekadar variasi acak, melainkan berkorelasi dengan kelas sosial penuturnya (Sampson 1980: 127-8; Giglioli 1972: 7-9). Upaya untuk memadukan analisis linguistik dan analisis sosiologis di kalangan linguis pada perkembangannya menyatu dengan minat yang sama di kalangan sosiolog dan membentuk kajian Ketertarikan untuk memadukan pendekatan linguistik dan ilmu sosial kembali mengemuka sejak dekade ‘60-an. Di kalangan linguis, mulai muncul kesadaran bahwa analisis bahasa tidak bisa dilakukan secara abstrak dan terpisah dari konteks sosial penuturnya. Misalnya, di tahun 1966, William Labov yang bekerja dalam tradisi linguistik fungsional yang mewarisi pandangan Jakobson dan Mazhab Praha, melakukan penelitian kuantitatif terhadap dialek penduduk kota New York dan menemukan bahwa perbedaan pengucapan bunyi tertentu bukan sekadar variasi acak, melainkan berkorelasi dengan kelas sosial penuturnya (Sampson 1980: 127-8; Giglioli 1972: 7-9). Upaya untuk memadukan analisis linguistik dan analisis sosiologis di kalangan linguis pada perkembangannya menyatu dengan minat yang sama di kalangan sosiolog dan membentuk kajian

Jika kecenderungan pertama seperti disebut di atas muncul di kalangan linguis, kecenderungan kedua muncul di kalangan ilmuwan sosial, terutama antropolog dan sosiolog, yang mulai menyadari bahwa analisis bahasa merupakan unsur penting untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Dalam antropologi, kesadaran macam ini sejatinya sudah cukup tua. Sejak semula, para antropolog memang tidak pernah memandang bahasa sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakat dan kebudayaan. Tak kurang sejak akhir abad 19 dan awal abad 20, para antropolog seperti Edward Tylor, Bronislaw Malinowski, Franz Boas, Edward Sapir, dan Benjamin Lee Whorf sudah memberikan perhatian besar pada bahasa dan hubungannya dengan kebudayaan (Giglioli 1972: 9; Kristeva 1989: 48-9). Bahkan Boas (1858-1942), secara bersamaan meski terpisah dengan de Saussure, meletakkan landasan kajian linguistik deskriptif di Amerika, mendahului Bloomfield yang kemudian memasukkan corak behaviorisme ke dalam studi bahasa (Sampson 1980: 81). Pandangan Sapir (1884-1939) dan muridnya, Whorf (1897-1941), yang bekerja dalam tradisi antropologi linguistik deskriptif Amerika ini, menarik untuk didiskusikan lebih jauh di sini karena banyak mengundang minat ilmuwan dan pemikir berikutnya.

Sebagai antropolog yang meneliti beragam suku bangsa di Amerika, Sapir dan Whorf, sangat menyadari adanya perbedaan antara berbagai kebudayaan, pandangan-dunia, dan bahasa. Dalam pandangan Sapir, yang paling berperan dalam berbagai perbedaan itu adalah bahasa. Bahasalah yang menentukan cara manusia memahami kenyataan, dan dengan demikian membentuk pandangan- dunianya. Hal ini terjadi karena manusia tidak berhadapan langsung dengan dunia objektif, melainkan dengan dunia yang sudah dibentuk secara tidak sadar oleh bahasa yang digunakannya. Tak ada pengalaman manusia yang tidak diperoleh melalui saringan bahasa. Dengan demikian, tak ada penutur dua bahasa berbeda Sebagai antropolog yang meneliti beragam suku bangsa di Amerika, Sapir dan Whorf, sangat menyadari adanya perbedaan antara berbagai kebudayaan, pandangan-dunia, dan bahasa. Dalam pandangan Sapir, yang paling berperan dalam berbagai perbedaan itu adalah bahasa. Bahasalah yang menentukan cara manusia memahami kenyataan, dan dengan demikian membentuk pandangan- dunianya. Hal ini terjadi karena manusia tidak berhadapan langsung dengan dunia objektif, melainkan dengan dunia yang sudah dibentuk secara tidak sadar oleh bahasa yang digunakannya. Tak ada pengalaman manusia yang tidak diperoleh melalui saringan bahasa. Dengan demikian, tak ada penutur dua bahasa berbeda

Pandangan yang sama juga dianut Whorf, bahkan dialah yang memasyhurkannya. Karena itu pandangan ini kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf. Menurut Whorf, kosakata, struktur tatabahasa, dan berbagai kategori dalam bahasa seperti: pluralitas, gender, pemilahan hidup-tak hidup, kala (tenses), dan pembagian jenis kata, menentukan cara manusia memahami realitas (Whorf 1993: 137-8). Whorf tak sekadar mengamini pandangan gurunya, tapi juga mengajukan bukti-bukti dari hasil analisisnya terhadap bahasa Hopi, salah satu suku Indian di Amerika Tengah. Whorf menunjukkan bahwa ada perbedaan mendasar antara struktur dan kosakata bahasa Hopi dan bahasa-bahasa Eropa. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pandangan-dunia antara masyarakat Hopi dan masyarakat Eropa. Misalnya, bahasa Hopi merupakan bahasa yang tidak berwaktu. Dalam bahasa Hopi tidak ada kata yang berarti waktu. Kata kerjanya juga tanpa kala. Dengan struktur bahasa dan kosakata yang demikian, konsep waktu dalam pandangan dunia masyarakat Hopi sama sekali berlainan dengan konsep waktu dalam pandangan-dunia masyarakat Eropa. Selain waktu, konsep- konsep lain yang cukup penting dalam pandangan-dunia dan kosmologi Eropa, seperti: substansi, materi, dan ruang, juga sangat berbeda dalam pandangan-dunia suku Hopi. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep yang oleh bangsa-bangsa Eropa seringkali dianggap universal, sejatinya bukan merupakan bagian esensial bagi sebuah gambaran alam semesta yang konsisten dan memadai. Pada dasarnya konsep-konsep itu hanya merupakan cerminan struktur dan kosakata bahasa-bahasa Eropa. Whorf bahkan menyebutkan, seandainya saja bangsa Hopi yang mengembangkan fisika, niscaya gambaran semesta yang dihasilkan akan sangat berbeda dari yang kita kenal sekarang, meski sama-sama konsisten dan memadai (Whorf 1993: 57-8, 216-7; bdk. Sampson 1980: 86). Selain perbedaan antara pandangan-dunia masyarakat Hopi dan masyarakat Eropa, Whorf juga menyebut adanya perbedaan serupa antara masyarakat penutur Pandangan yang sama juga dianut Whorf, bahkan dialah yang memasyhurkannya. Karena itu pandangan ini kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf. Menurut Whorf, kosakata, struktur tatabahasa, dan berbagai kategori dalam bahasa seperti: pluralitas, gender, pemilahan hidup-tak hidup, kala (tenses), dan pembagian jenis kata, menentukan cara manusia memahami realitas (Whorf 1993: 137-8). Whorf tak sekadar mengamini pandangan gurunya, tapi juga mengajukan bukti-bukti dari hasil analisisnya terhadap bahasa Hopi, salah satu suku Indian di Amerika Tengah. Whorf menunjukkan bahwa ada perbedaan mendasar antara struktur dan kosakata bahasa Hopi dan bahasa-bahasa Eropa. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan pandangan-dunia antara masyarakat Hopi dan masyarakat Eropa. Misalnya, bahasa Hopi merupakan bahasa yang tidak berwaktu. Dalam bahasa Hopi tidak ada kata yang berarti waktu. Kata kerjanya juga tanpa kala. Dengan struktur bahasa dan kosakata yang demikian, konsep waktu dalam pandangan dunia masyarakat Hopi sama sekali berlainan dengan konsep waktu dalam pandangan-dunia masyarakat Eropa. Selain waktu, konsep- konsep lain yang cukup penting dalam pandangan-dunia dan kosmologi Eropa, seperti: substansi, materi, dan ruang, juga sangat berbeda dalam pandangan-dunia suku Hopi. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep yang oleh bangsa-bangsa Eropa seringkali dianggap universal, sejatinya bukan merupakan bagian esensial bagi sebuah gambaran alam semesta yang konsisten dan memadai. Pada dasarnya konsep-konsep itu hanya merupakan cerminan struktur dan kosakata bahasa-bahasa Eropa. Whorf bahkan menyebutkan, seandainya saja bangsa Hopi yang mengembangkan fisika, niscaya gambaran semesta yang dihasilkan akan sangat berbeda dari yang kita kenal sekarang, meski sama-sama konsisten dan memadai (Whorf 1993: 57-8, 216-7; bdk. Sampson 1980: 86). Selain perbedaan antara pandangan-dunia masyarakat Hopi dan masyarakat Eropa, Whorf juga menyebut adanya perbedaan serupa antara masyarakat penutur

Hipotesis Sapir-Whorf, dalam tafsiran Chase (1993: iv-vi), mengajukan dua hipotesis utama. Pertama, bahwa seluruh pemikiran manusia pada taraf yang lebih tinggi bergantung pada bahasa. Kedua, bahwa struktur bahasa yang digunakan manusia akan menentukan caranya memahami dunia. Dengan demikian, pandangan-dunia suatu masyarakat dan caranya memahami kenyataan bersifat relatif terhadap bahasa yang digunakannya. Karena itu pandangan Sapir- Whorf ini juga kerap disebut sebagai prinsip relativitas linguistik. Chase bahkan membandingkannya dengan teori relativitas Einstein, hanya saja pada pada skala lebih mikro. Jika hipotesis pertama sudah menjadi pandangan umum yang diterima di kalangan ilmuwan, sebaliknya hipotesis kedua merupakan tantangan langsung terhadap pandangan yang telah diterima sejak 2500 tahun lalu yang menganggap bahwa bahasa ditopang oleh rasio manusia yang bersifat absolut dan universal.

Hipotesis Sapir-Whorf, terutama aspek relativitas linguistiknya, memang telah mendapat banyak tantangan dan kritik. Namun demikian, ketertarikan para antropolog terhadap analisis bahasa tidak memudar. Pada perkembangan selanjutnya, ketertarikan ini mengambil berbagai bentuk kajian di bawah tajuk etno-semantik, antropologi kognitif, dan etnografi tuturan (ethnography of speaking ) (Giglioli 1972: 10).

Berbeda dengan tradisi yang berkembang lebih awal dalam antropologi, perhatian terhadap analisis bahasa dalam sosiologi terhitung lebih baru. Meski para sosiolog awal seperti: Durkheim, Mauss, dan George Herbert Mead sudah Berbeda dengan tradisi yang berkembang lebih awal dalam antropologi, perhatian terhadap analisis bahasa dalam sosiologi terhitung lebih baru. Meski para sosiolog awal seperti: Durkheim, Mauss, dan George Herbert Mead sudah