Kuasa Simbolik dan Dua Mode Dominasi

3. Kuasa Simbolik dan Dua Mode Dominasi

Di bab II sudah didiskusikan tentang dua mode reproduksi sosial dan pewarisan modal, yaitu secara langsung dan dimediasi melalui sistem pendidikan. Dua mode reproduksi dan pewarisan ini sejajar dengan mode dominasi dan mode integrasi sosial yang berbeda. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki mode reproduksi dan pewarisan yang berbeda juga memiliki mode dominasi dan intergrasi sosial yang berbeda.

Dalam masyarakat yang relatif tidak terdiferensiasi, di mana aneka ranah belum terbentuk dan mencapai otonomi relatif, dominasi dilakukan secara

langsung melalui hubungan personal orang per orang dan dilanggengkan melalui strategi personal yang harus diperbaharui terus-menerus. Sejalan dengan itu, integrasi masyarakat dijamin melalui jejaring hubungan personal seperti, misalnya, hubungan kekerabatan. Sebaliknya, dalam masyarakat yang terdiferensiasi ke dalam berbagai ranah semi-otonom, dominasi melalui hubungan personal tidak lagi menjadi yang utama. Tentu saja hubungan dominasi orang per orang tetap ada, tetapi peranannya tidak signifikan dalam keseluruhan masyarakat. Dominasi terutama berlangsung secara impersonal melalui berbagai mekanisme objektif dan semi-otonom yang mewujud dalam bermacam ranah, semisal sistem pendidikan, hukum, birokrasi pemerintahan, ekonomi, dsb. Seiring dengan itu, integrasi sosial juga tak melulu bergantung pada jaringan hubungan personal (Bourdieu 1995: 185-6, 189-90; 1992: 129-30; bdk. Calhoun 1993: 76-7).

Meski mode dominasi dalam dua jenis masyarakat di atas berbeda, satu hal menyatukan keduanya, yaitu adanya dominasi simbolik. Ini bisa dipahami karena sebuah dominasi hanya bisa langgeng dan stabil jika tersembunyi dan mengambil bentuk dominasi simbolik. Dalam bentuk ini sifatnya sebagai dominasi dan kekerasan disalah-kenali. Dalam masyarakat yang relatif tidak terdiferensiasi, dominasi simbolik dilakukan melalui kebaikan-kebaikan personal yang akan menimbulkan ikatan kewajiban moral. Jika dominasi fisik yang berbentuk kekerasan terbuka akan menimbulkan perlawanan dari pihak yang didominasi, kekerasan simbolik justru disalah-kenali dan dihargai sebagai kebaikan. Riset lapangan Bourdieu dalam masyarakat Kabylia, Aljazair, menunjukkan bahwa berbagai praktik yang nampak tidak dilandasi kepentingan seperti pemberian, hadiah, hutang, dan berbagai jenis kemurahan hati lainnya, dapat berfungsi sebagai sarana dominasi yang efektif dan stabil justru karena sifatnya yang sarat kepentingan untuk mendominasi tidak dikenali. Karena disalah-kenali sebagai budi baik, maka orang yang menerima pemberian, hadiah, atau hutang, akan merasa memiliki kewajiban untuk membalas budi (Bourdieu 1995: 191-3; 1992: 133). Tak berarti bahwa orang yang melakukan dominasi simbolik secara sadar menerapkan tipu daya dan menggunakan kebaikannya untuk mendominasi. Strategi macam itu merupakan strategi praktis yang muncul dari habitus. Karena Meski mode dominasi dalam dua jenis masyarakat di atas berbeda, satu hal menyatukan keduanya, yaitu adanya dominasi simbolik. Ini bisa dipahami karena sebuah dominasi hanya bisa langgeng dan stabil jika tersembunyi dan mengambil bentuk dominasi simbolik. Dalam bentuk ini sifatnya sebagai dominasi dan kekerasan disalah-kenali. Dalam masyarakat yang relatif tidak terdiferensiasi, dominasi simbolik dilakukan melalui kebaikan-kebaikan personal yang akan menimbulkan ikatan kewajiban moral. Jika dominasi fisik yang berbentuk kekerasan terbuka akan menimbulkan perlawanan dari pihak yang didominasi, kekerasan simbolik justru disalah-kenali dan dihargai sebagai kebaikan. Riset lapangan Bourdieu dalam masyarakat Kabylia, Aljazair, menunjukkan bahwa berbagai praktik yang nampak tidak dilandasi kepentingan seperti pemberian, hadiah, hutang, dan berbagai jenis kemurahan hati lainnya, dapat berfungsi sebagai sarana dominasi yang efektif dan stabil justru karena sifatnya yang sarat kepentingan untuk mendominasi tidak dikenali. Karena disalah-kenali sebagai budi baik, maka orang yang menerima pemberian, hadiah, atau hutang, akan merasa memiliki kewajiban untuk membalas budi (Bourdieu 1995: 191-3; 1992: 133). Tak berarti bahwa orang yang melakukan dominasi simbolik secara sadar menerapkan tipu daya dan menggunakan kebaikannya untuk mendominasi. Strategi macam itu merupakan strategi praktis yang muncul dari habitus. Karena

Dalam masyarakat modern yang terdiferensiasi, selain dalam bentuk langsung dan personal, kekerasan dan dominasi simbolik juga mendapatkan bentuk baru yang impersonal, objektif, semi-otonom, dan karenanya lebih efektif. Kekerasan simbolik tertanam dalam berbagai mekanisme itu sendiri, yang menjamin reproduksi sosial dan pelanggengan dominasi namun disalah-kenali sebagai sesuatu yang netral bahkan berharga (Bourdieu 1995: 187-8; 1992: 131- 3). Sementara praktik kemurahan hati menemukan wujud barunya dalam masyarakat modern pada wilayah seni dan “Budaya”, “sebuah wilayah konsumsi murni—konsumsi uang ... dan juga waktu” (Bourdieu 1992: 134), yang nampak tidak berkepentingan, meski sebenarnya sarat kepentingan untuk menciptakan distingsi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kuasa simbolik adalah kuasa turunan, yaitu “bentuk kuasa yang dialihkan, yakni dapat disalah-kenali, dialih- rupakan dan dilegitimasi, dari bentuk-bentuk kuasa yang lain” (Bourdieu 1995a: 170). Kekuasaan yang didasari penguasaan terhadap modal ekonomi tertentu, yang memungkinkan seorang agen memberikan hadiah atau hutang pada orang lain, dialih-rupakan ke dalam bentuk yang diakui sebagai absah, yakni ke dalam bentuk kewajiban moral untuk membalas budi atas kebaikan dan kemurahan hati. Begitu pula, kekuasaan yang dilandasi paksaan fisik dan penguasaan modal ekonomi dialih-rupakan ke dalam bentuk yang absah, yakni ke dalam bentuk birokrasi pemerintahan melalui mekanisme perwakilan politik dan penegakan hukum. Ketaatan terhadap aparat pemerintah dikenali bukan semata ketakutan pada kekuatan fisik dan ekonomi tertentu, melainkan sebagai ketaatan pada hukum dan pemerintah yang merupakan perwakilan rakyat. Disposisi tertentu, seperti cara berpikir dan bertutur yang runtut, gaya menulis yang teratur, dsb. yang sebenarnya diperoleh lewat kondisi sosial-ekonomi tertentu yang semena, dikenali sebagai bakat alamiah, dan selanjutnya diabsahkan lewat mekanisme Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kuasa simbolik adalah kuasa turunan, yaitu “bentuk kuasa yang dialihkan, yakni dapat disalah-kenali, dialih- rupakan dan dilegitimasi, dari bentuk-bentuk kuasa yang lain” (Bourdieu 1995a: 170). Kekuasaan yang didasari penguasaan terhadap modal ekonomi tertentu, yang memungkinkan seorang agen memberikan hadiah atau hutang pada orang lain, dialih-rupakan ke dalam bentuk yang diakui sebagai absah, yakni ke dalam bentuk kewajiban moral untuk membalas budi atas kebaikan dan kemurahan hati. Begitu pula, kekuasaan yang dilandasi paksaan fisik dan penguasaan modal ekonomi dialih-rupakan ke dalam bentuk yang absah, yakni ke dalam bentuk birokrasi pemerintahan melalui mekanisme perwakilan politik dan penegakan hukum. Ketaatan terhadap aparat pemerintah dikenali bukan semata ketakutan pada kekuatan fisik dan ekonomi tertentu, melainkan sebagai ketaatan pada hukum dan pemerintah yang merupakan perwakilan rakyat. Disposisi tertentu, seperti cara berpikir dan bertutur yang runtut, gaya menulis yang teratur, dsb. yang sebenarnya diperoleh lewat kondisi sosial-ekonomi tertentu yang semena, dikenali sebagai bakat alamiah, dan selanjutnya diabsahkan lewat mekanisme

Dalam semua contoh tadi, pengabsahan dan pengalih-rupaan kekuasaan dimungkinkan oleh salah-pengenalan terhadap dasar kekuasaan yang sebenarnya. Kekuasaan yang semena disalah-kenali sebagai absah, terberi, dan alamiah. Melalui salah-pengenalan, agen mengenali dan mengakui kewajiban membalas budi, kualifikasi pendidikan, ketaatan pada hukum dan pemerintah sebagai sesuatu yang alamiah, sama alamiahnya seperti benda yang dilemparkan akan jatuh ke bawah. Pengenalan, tepatnya salah-pengenalan, ini terjadi melalui habitus yang mengatur representasi, klasifikasi, dan evaluasi agen. Karena itu, Bourdieu juga merumuskan kuasa simbolik sebagai “kuasa untuk menentukan instrumen- instrumen pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara semena—tapi yang kesemenannya tidak disadari” (Bourdieu 1995a: 168). Dalam arti inilah, kuasa simbolik merupakan kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai diakui dan dikenali sebagai absah. Kuasa simbolik adalah “kuasa untuk membentuk hal yang terberi ..., untuk membuat orang melihat dan percaya, untuk memperkuat atau mengubah cara pandang terhadap dunia dan, karenanya, cara bertindak terhadap dunia dan dengan demikian mengubah dunia itu sendiri,” (Bourdieu 1995a: 170, cetak miring ditambahkan).

Secara bergantian, Bourdieu menggunakan sebutan “kuasa simbolik”, “dominasi simbolik”, dan “kekerasan simbolik” untuk menunjuk hal yang sama (bdk. Hallet 2003: 36; Thompson 1995: 23). Beragam sebutan ini digunakan Bourdieu untuk menekankan aspek yang berlainan dari gejala yang tunggal, yaitu salah-pengenalan habitus terhadap realitas yang semena sebagai absah dan terberi. Dengan demikian, kemampuan untuk menjamin terjadinya salah-pengenalan adalah sebentuk kuasa. Dalam arti lain, kemampuan macam ini juga merupakan dominasi dan kekerasan karena secara halus “dipaksakan” suatu cara tertentu Secara bergantian, Bourdieu menggunakan sebutan “kuasa simbolik”, “dominasi simbolik”, dan “kekerasan simbolik” untuk menunjuk hal yang sama (bdk. Hallet 2003: 36; Thompson 1995: 23). Beragam sebutan ini digunakan Bourdieu untuk menekankan aspek yang berlainan dari gejala yang tunggal, yaitu salah-pengenalan habitus terhadap realitas yang semena sebagai absah dan terberi. Dengan demikian, kemampuan untuk menjamin terjadinya salah-pengenalan adalah sebentuk kuasa. Dalam arti lain, kemampuan macam ini juga merupakan dominasi dan kekerasan karena secara halus “dipaksakan” suatu cara tertentu

Di titik ini perlu disinggung sekilas perbandingan antara pandangan Bourdieu dan Foucault mengenai kekuasaan. Bourdieu sepakat dengan Foucault bahwa kekuasaan bukan suatu substansi yang bisa dimiliki, namun adalah efek dari relasi sosial tertentu yang membentuk baik agen yang menjalankan maupun yang menjadi sasarannya. Bourdieu, dalam pandangannya tentang berbagai bentuk modal, juga sejajar dengan pandangan Foucault mengenai keberagaman bentuk kuasa. Mereka berdua juga sependapat bahwa pelaksanaan kuasa tidak selalu disertai kehendak sadar, dan bahwa kuasa tidak hanya represif namun juga produktif. Di samping beberapa kesamaan tadi, kedua pemikir Prancis ini berpisah jalan pada setidaknya dua titik. Pertama, Bourdieu tidak sepandangan dengan Foucault bahwa kuasa tersebar dalam seluruh dunia sosial melalui “buluh-buluh kapiler”. Meski tidak menyatu dalam satu pusat yang dengan aparatusnya mampu menerapkan kuasa secara top-down ala Althusser, bagi Bourdieu, kuasa tetap terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu dalam dunia sosial, yakni dalam institusi-institusi yang menjamin reproduksi berbagai jenis modal. Titik kedua, berbeda dengan kuasa/pengetahuan ala Foucault, kuasa simbolik dalam pemikiran Bourdieu tidak mengandaikan mediasi “diskursus” atau seperangkat pengetahuan yang diformalkan yang mengajukan klaim atas kebenaran. Kuasa simbolik bekerja melalui penanaman skema persepsi dan apresiasi terhadap dunia objektif yang menubuh dalam habitus (Wacquant 1993a: 11-3).

Karena mengabaikan proses internalisasi skema persepsi dan apresiasi, yang dimaksud Bourdieu dengan konsep habitus, Foucault tetap memahami kuasa sebagai disiplin yang datang dari luar. Foucault memang menekankan adanya peralihan bentuk kekuasaan dari siksaan fisik ke bentuk-bentuk yang lebih halus yang berlandaskan pengawasan dan akumulasi pengetahuan atas subjek. Namun begitu, bahkan dalam bentuk kekuasaan yang disebutnya pan-opticon, di mana agen mendisiplinkan dirinya sendiri lepas dari adanya pengawasan atau tidak, kuasa tetap mengandaikan perasaan diawasi dari luar. Ini berbeda dengan habitus Karena mengabaikan proses internalisasi skema persepsi dan apresiasi, yang dimaksud Bourdieu dengan konsep habitus, Foucault tetap memahami kuasa sebagai disiplin yang datang dari luar. Foucault memang menekankan adanya peralihan bentuk kekuasaan dari siksaan fisik ke bentuk-bentuk yang lebih halus yang berlandaskan pengawasan dan akumulasi pengetahuan atas subjek. Namun begitu, bahkan dalam bentuk kekuasaan yang disebutnya pan-opticon, di mana agen mendisiplinkan dirinya sendiri lepas dari adanya pengawasan atau tidak, kuasa tetap mengandaikan perasaan diawasi dari luar. Ini berbeda dengan habitus