Penjarakan Ganda dan Refleksivitas

4. Penjarakan Ganda dan Refleksivitas

Seluruh proyek intelektual Bourdieu adalah upaya melampaui oposisi antara subjektivisme dan objektivisme dan berbagai manifestasinya dalam ilmu- ilmu sosial. Menurutnya, oposisi ini bukan hanya semu dan menyesatkan, tetapi juga berbahaya karena dapat menggerogoti otonomi ilmu sosial tanpa disadari sang ilmuwan sendiri. Untuk itu, Bourdieu menyerukan penjarakan ganda dan refleksivitas, setidaknya untuk dua tujuan yang saling berkaitan: memperoleh pengetahuan yang memadai dengan menghindari sesat pikir skolastik dan mempertajam sisi kritis ilmu sosial dengan melindungi otonominya (Bourdieu 1992: 29; 1990: 5; bdk. Lewandowski 2000: 55).

Dengan penjarakan ganda, Bourdieu memaksudkan serentak penjarakan dari suyektivisme dan objektivisme. Subjektivisme dianggapnya tidak memadai karena hendak menjelaskan pengalaman langsung mengenai dunia sosial sebagaimana ditampilkan dalam kesadaran agen. Artinya, subjektivisme begitu saja mengadopsi objek dan penjelasan ilmu sosial dari kesadaran agen dan mengabaikan kondisi sosial yang memungkinkan kesadaran itu sendiri (Bourdieu 1992: 25-6). Ada dua risiko yang mengancam subjektivisme. Pertama, ia mengadopsi kategori klasifikasi agen dan memberinya kekuatan simbolik dengan memberinya status ilmiah. Padahal, seperti sudah disebutkan, kategori klasifikasi merupakan salah satu sarana dalam pertarungan simbolik di dunia sosial. Dengan demikian, tanpa disadari, ilmuwan subjektivis membiarkan ilmu yang dihasilkannya dimanfaatkan agen tertentu dalam pertarungan simbolik (Bourdieu 1990: 13). Kedua, ia cenderung menganggap sudut pandang agen, terutama dirinya sendiri atau kelas sosialnya, yang dibentuk oleh kondisi sosial-ekonomi tertentu sebagai universal dan dengan demikian memberinya kekuatan simbolik. Contoh paradigmatis untuk universalisasi sudut pandang partikular ini adalah filsafat (Bourdieu: 1993: 255-6; 1983: 5-6).

Meskipun sangat politis dan menolak netralitas ilmu, Bourdieu mengingatkan para ilmuwan mengenai bahayanya membiarkan pertimbangan- pertimbangan politik, betapapun luhur dan mulianya, memaksakan objek sebuah proyek ilmiah. Baginya, “maksud baik bukanlah pengganti bagi justifikasi epistemologis” (Bourdieu dalam Webb 2002: 70).

Karena itu, dengan mengamini pandangan epistemologi historis, Bourdieu meyakini bahwa ilmuwan sosial seharusnya mengkonstruksi objeknya sendiri secara sadar dan penuh kewaspadaan. Diharapkan kategori klasifikasi dunia sosial agen yang merupakan bagian dari pertarungan simbolik tidak merembes ke dalam diskursus ilmiah dan memanfaatkan ilmu sosial untuk mengabsahkan dan menguniversalkan diri (Bourdieu 1990: 12). Dengan demikian, seluruh karya Bourdieu harus dilihat dalam kerangka konstruksi objek ilmiah ini. Misalnya, ruang sosial yang terbagi ke dalam ranah dan kelas tidak boleh dipandang memiliki realitas ontologis, melainkan model yang digunakan untuk menjelaskan dunia sosial. Begitu pula agen-agen individual yang menempati posisi tertentu dalam ranah atau kelas tidak boleh diartikan sama persis dengan individu-individu tersebut sebagaimana dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai individu epistemik hasil konstruksi ilmiah (Bourdieu 1990: 22-3). Dalam hal ini, Bourdieu mengingatkan agar ilmuwan tidak mengacaukan “model kenyataan dengan kenyataan model” (Bourdieu 1994: 48), atau “hal-ihwal mengenai logika” dengan “logika mengenai hal-ihwal” (Bourdieu 2002: 79). Kerumitan tulisan- tulisan Bourdieu juga berakar dari hal ini. Bourdieu menyatakan bahwa kalimat- kalimatnya yang panjang dan rumit bertujuan untuk senantiasa mengingatkan pembaca bahwa yang sedang didiskusikan adalah konstruksi ilmiah, yang tidak bisa begitu saja disetarakan dengan objek yang dijumpai dalam kesadaran langsung. Selain itu, bahasa biasa merupakan gudang penyimpanan klasifikasi common sense . Karenanya, perlu penggunaan berbagai sarana literer untuk mengungkapkan suatu konstruksi yang kadang tak terungkapkan dalam konsep- konsep bahasa biasa (Bourdieu 1996: xiii; 1990: 21).

Namun, konstruksi objek seperti dilakukan objektivisme belum memadai. Objektivisme juga melupakan satu hal: kondisi sosial yang memungkinkan Namun, konstruksi objek seperti dilakukan objektivisme belum memadai. Objektivisme juga melupakan satu hal: kondisi sosial yang memungkinkan

Dengan objektifikasi atas objektifikasi serentak Bourdieu juga menyerukan refleksivitas, yaitu mengarahkan teori dan metode ilmu sosial pada sang ilmuwan dan ranah ilmiah itu sendiri—sebuah sosioanalisis (Bourdieu 1990: 5). Ilmuwan yang memproduksi ilmu, dalam pandangan Bourdieu, tidak berbeda dari agen-agen lain yang menghasilkan praktik. Ranah ilmiah adalah satu dari ranah-ranah yang membentuk dunia sosial. Dengan demikian, ilmuwan dalam ranah ilmiah tidak luput dari perjuangan mengakumulasi modal seperti halnya agen dalam ranah-ranah lain. Karenanya, refleksivitas menjadi syarat mutlak bagi otonomi dan kemajuan ilmu-ilmu sosial, agar ilmuwan mampu meningkatkan kewaspadaan epistemologis dengan memahami dan meminimalkan pengaruh kekuatan-kekuatan sosial terhadap dirinya dan praktik produksi ilmiahnya (Bourdieu 1990: 15-6; 1994: 188).

Mengakui bahwa ilmuwan, produksi ilmu, dan ranah ilmiah tak berbeda dengan agen, praktik, dan ranah lain yang diwarnai perjuangan meraih modal dan kekuasaan tidak berarti mengucapkan selamat tinggal pada ilmu pengetahuan seperti diklaim para pemikir posmodern. Pengakuan terhadap ketertanaman ilmuwan dan praktik ilmiah dalam dunia sosial dengan menepis ilusi intelektual yang bebas dari kepentingan, tak berakar, dan “berumah di atas angin”, justru merupakan titik tolak untuk menghasilkan ilmu-ilmu sosial refleksif yang kritis dan sadar akan batas-batasnya sendiri. Sebab dengan mengetahui sejarah pelembagaan dan pembentukan ranah ilmiah, juga mengetahui logika dan cara kerjanya, seorang ilmuwan sosial bisa memperoleh kebebasan relatif berkaitan dengan berbagai mekanisme yang mendeterminasi dirinya (Bourdieu 1990: xii-iii; 2002: 117-8). Bukankah teknologi yang didasari oleh pengetahuan terhadap Mengakui bahwa ilmuwan, produksi ilmu, dan ranah ilmiah tak berbeda dengan agen, praktik, dan ranah lain yang diwarnai perjuangan meraih modal dan kekuasaan tidak berarti mengucapkan selamat tinggal pada ilmu pengetahuan seperti diklaim para pemikir posmodern. Pengakuan terhadap ketertanaman ilmuwan dan praktik ilmiah dalam dunia sosial dengan menepis ilusi intelektual yang bebas dari kepentingan, tak berakar, dan “berumah di atas angin”, justru merupakan titik tolak untuk menghasilkan ilmu-ilmu sosial refleksif yang kritis dan sadar akan batas-batasnya sendiri. Sebab dengan mengetahui sejarah pelembagaan dan pembentukan ranah ilmiah, juga mengetahui logika dan cara kerjanya, seorang ilmuwan sosial bisa memperoleh kebebasan relatif berkaitan dengan berbagai mekanisme yang mendeterminasi dirinya (Bourdieu 1990: xii-iii; 2002: 117-8). Bukankah teknologi yang didasari oleh pengetahuan terhadap

Refleksivitas yang bertujuan mengungkap cara kerja ranah ilmiah, baik yang terobjektifkan dalam mekanisme ranah maupun yang menubuh dalam habitus ilmuwan, bukanlah tugas mudah. Sebaliknya, refleksivitas adalah tugas yang tak terbatas dan tak akan pernah selesai. Seseorang yang menganggap dirinya mampu sepenuhnya mengobjektifikasi dirinya dan posisinya sendiri kembali terperangkap dalam sesat pikir skolastik. Tugas berat ini juga tidak bisa dikerjakan oleh seorang ilmuwan secara individual. Refleksivitas adalah kerja kolektif berupa saling-objektifikasi antara sesama ilmuwan (Bourdieu 2002: 119).

Hal ini dimungkinkan oleh sifat ranah ilmiah itu sendiri yang memiliki dua wajah. Selain merupakan ruang pergulatan untuk mengakumulasi modal dan mengejar kepentingan, ranah ilmiah, seperti ranah-ranah yang lain, juga adalah sebuah semesta dengan logika dan cara kerja yang spesifik. Berbagai kepentingan dan kekuatan dalam dunia sosial hanya bisa masuk ke dalam sebuah ranah melalui proses sublimasi, yaitu sebentuk konversi ke dalam bentuk-bentuk yang diterima oleh batasan logika dan cara kerja ranah bersangkutan. Dalam hal ini, berbagai kepentingan non-ilmiah, seperti keinginan ilmuwan meraih ketenaran, kekayaan, posisi dalam universitas, dsb., harus dikonversi ke dalam bentuk yang diakui sebagai absah dalam ranah ilmiah, yaitu ke dalam bentuk kebenaran dan objektivitas. Jika kepentingan-kepentingan itu “dipaksa” masuk tanpa sublimasi, seluruh ranah akan bereaksi terhadapnya. Mekanisme saling-kontrol dalam ranah ilmiah ditambah mekanisme kontrol-diri melalui habitus ilmuwan inilah yang akan menjamin produksi kebenaran dan objektivitas, yang jauh lebih efektif ketimbang berbagai seruan mengenai “ketidak-berpihakan” atau “netralitas etis”. Namun harus ditambahkan bahwa kekuatan sensor suatu ranah untuk menuntut sublimasi sangat bergantung pada tingkat otonomi relatifnya. Tepat karena itulah otonomi ranah ilmiah harus terus menerus dibela dari gerusan kekuatan-kekuatan eksternal seperti kekuasaan negara atau pasar, sebab seperti ranah-ranah lainnya, otonomi relatif ranah ilmiah bukan sesuatu yang terberi, melainkan berasal dari proses historis yang bukannya tidak terbalikkan (Bourdieu 2002: 110-1). Dengan Hal ini dimungkinkan oleh sifat ranah ilmiah itu sendiri yang memiliki dua wajah. Selain merupakan ruang pergulatan untuk mengakumulasi modal dan mengejar kepentingan, ranah ilmiah, seperti ranah-ranah yang lain, juga adalah sebuah semesta dengan logika dan cara kerja yang spesifik. Berbagai kepentingan dan kekuatan dalam dunia sosial hanya bisa masuk ke dalam sebuah ranah melalui proses sublimasi, yaitu sebentuk konversi ke dalam bentuk-bentuk yang diterima oleh batasan logika dan cara kerja ranah bersangkutan. Dalam hal ini, berbagai kepentingan non-ilmiah, seperti keinginan ilmuwan meraih ketenaran, kekayaan, posisi dalam universitas, dsb., harus dikonversi ke dalam bentuk yang diakui sebagai absah dalam ranah ilmiah, yaitu ke dalam bentuk kebenaran dan objektivitas. Jika kepentingan-kepentingan itu “dipaksa” masuk tanpa sublimasi, seluruh ranah akan bereaksi terhadapnya. Mekanisme saling-kontrol dalam ranah ilmiah ditambah mekanisme kontrol-diri melalui habitus ilmuwan inilah yang akan menjamin produksi kebenaran dan objektivitas, yang jauh lebih efektif ketimbang berbagai seruan mengenai “ketidak-berpihakan” atau “netralitas etis”. Namun harus ditambahkan bahwa kekuatan sensor suatu ranah untuk menuntut sublimasi sangat bergantung pada tingkat otonomi relatifnya. Tepat karena itulah otonomi ranah ilmiah harus terus menerus dibela dari gerusan kekuatan-kekuatan eksternal seperti kekuasaan negara atau pasar, sebab seperti ranah-ranah lainnya, otonomi relatif ranah ilmiah bukan sesuatu yang terberi, melainkan berasal dari proses historis yang bukannya tidak terbalikkan (Bourdieu 2002: 110-1). Dengan

“Kalaupun ada kebenaran,” kata Bourdieu, “itu adalah bahwa kebenaran merupakan taruhan dalam pergulatan”. Dan objektivitas dalam praktik ilmiah, menurutnya, adalah “cakrawala terakhir namun yang terus-menerus mundur, seperangkat praktik kolektif ... berupa upaya desubjektifikasi tak henti-henti” (Bourdieu 2002: 118).