Kelas, Selera, dan Klasifikasi

3. Kelas, Selera, dan Klasifikasi

Tema lain yang juga banyak disorot dalam karya-karya Bourdieu adalah kaitan antara kelas, selera konsumsi budaya dalam beragam bentuknya, dan klasifikasi. Ia menganalisis kelas secara khas dengan memadukan perhatian Marx terhadap modal ekonomi, Weber terhadap gaya hidup, dan Durkheim terhadap klasifikasi (Wacquant 1998: 222; bdk. Weininger 2005: 119).

Dalam pandangan Bourdieu, selain terbagi menjadi ranah-ranah, dunia sosial juga dibagi secara vertikal menurut struktur kelas. Pembagian vertikal ini didasarkan pada tiga poros. Poros pertama menempatkan agen-agen dalam hierarki berdasarkan total modal yang dimilikinya; makin banyak jumlah modal yang dimiliki makin tinggi dan dominan posisinya dalam struktur kelas. Poros kedua membedakan agen secara horisontal dalam struktur kelas berdasarkan komposisi modal yang dimiliknya. Di satu ujung, ada agen-agen yang memiliki lebih banyak modal ekonomi, dan di ujung yang lain terdapat agen-agen yang lebih banyak memiliki modal budaya. Meski membagi modal ke dalam empat jenis, dalam analisisnya secara umum Bourdieu cenderung melawankan modal ekonomi di satu sisi dan modal-modal non-ekonomi di sisi lain dan menyebutnya modal budaya. Selanjutnya, poros ketiga membedakan agen secara temporal berdasarkan jalur (trajectory) yang ditempuhnya, yaitu perubahan temporal dalam kepemilikan dan komposisi modalnya. Selain gerakan naik atau turun karena perubahan total modal, juga dimungkinkan gerakan horisontal dengan mengubah komposisi modal, yang disebut Bourdieu rekonversi modal. Perlu dicatat bahwa struktur kelas yang dirumuskan Bourdieu bersifat kontinum, karenanya garis batas antar-kelas tidak bersifat a priori dan hanya dibuat demi kepentingan analisis (Bourdieu 1994: 117-8; 1995a: 229-30; 1996: 114-132; bdk. Weininger 2005: 123-4). Model struktur kelas yang dirumuskan Bourdieu dapat digambarkan dalam skema berikut:

Kelas Dominan

AB

Modal Modal Budaya Ekonomi

Poros Temporal

A : Mobilitas Turun

B : Mobilitas Naik C : Rekonversi Modal

Kelas Subordinan

Gambar 1. Struktur Kelas

Disarikan dari Bourdieu (1996: 114)

Struktur kelas ini beserta struktur ranah yang sudah dijelaskan sebelumnya membentuk apa yang disebuit Bourdieu “ruang sosial”, yaitu sebuah ruang teoretis atau topologi sosial yang terdiri dari jejaring posisi-posisi objektif (Bourdieu 1995a: 229).

Kelas, yang secara objektif disatukan oleh kondisi sosial-ekonomi yang kurang lebih sama, cenderung menghasilkan habitus yang juga kurang lebih sama bagi para anggotanya. Habitus kelas inilah yang menghasilkan praktik sekaligus apresiasi yang terpola dalam ranah-ranah yang berbeda, termasuk juga dalam praktik konsumsi budaya dan gaya hidup, mulai pilihan musik, tontonan, bacaan, pakaian, makanan, minuman, olahraga, hingga dekorasi dan perabot rumah tangga. Dengan demikian, baik apresiasi maupun konsumsi terhadap benda-benda terstruktur berdasarkan kelas (Bourdieu dkk. 1999: 178; Bourdieu 1994: 131). Selera, yaitu penilaian terhadap suatu benda atau praktik sebagai baik-buruk, indah-jelek, disukai-tidak disukai, bermutu-tidak bermutu, halus-kasar, dsb., selain berfungsi untuk mengklasifikasi benda dan praktik konsumsi, juga berperan mengklasifikasikan pembuat klasifikasi itu sendiri. Singkatnya, agen “diklasifikasikan oleh caranya mengklasifikasi, dibedakan oleh pembedaan yang dibuatnya” (Bourdieu 1996: 6, 482). Karena itu, lazim dibuat penilaian mengenai seseorang sebagai memiliki selera “tinggi”, “bagus”, “halus”, “berbudaya”, atau sebaliknya memiliki selera “rendah”, “pasaran”, “kasar”, “tidak berbudaya”.

Dengan memiliki selera yang “tinggi” dan “berbudaya”, kelas dominan membedakan dirinya dengan kelas-kelas yang lain, dengan kata lain, memperoleh distingsi (distinction—rasa bergengsi, yaitu rasa berbeda sekaligus rasa lebih). Selera dalam ranah konsumsi budaya, seperti halnya bakat dalam ranah pendidikan, disalah-kenali bukan sebagai sesuatu yang kontingen dan dihasilkan oleh kondisi sosial-ekonomi tertentu, melainkan sebagai terberi dan alamiah, dan dengan demikian berperan mengabsahkan hierarki sosial. Misalnya, selera anggota kelas atas terhadap karya seni “tinggi”, meski dikenali sebagai bakat alamiah bawaan, sebenarnya diperoleh dari kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan investasi waktu dan modal ekonomi untuk menginternalisasi Dengan memiliki selera yang “tinggi” dan “berbudaya”, kelas dominan membedakan dirinya dengan kelas-kelas yang lain, dengan kata lain, memperoleh distingsi (distinction—rasa bergengsi, yaitu rasa berbeda sekaligus rasa lebih). Selera dalam ranah konsumsi budaya, seperti halnya bakat dalam ranah pendidikan, disalah-kenali bukan sebagai sesuatu yang kontingen dan dihasilkan oleh kondisi sosial-ekonomi tertentu, melainkan sebagai terberi dan alamiah, dan dengan demikian berperan mengabsahkan hierarki sosial. Misalnya, selera anggota kelas atas terhadap karya seni “tinggi”, meski dikenali sebagai bakat alamiah bawaan, sebenarnya diperoleh dari kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan investasi waktu dan modal ekonomi untuk menginternalisasi