Rasio Historis dan Universalitas
2. Rasio Historis dan Universalitas
Bourdieu meyakini bahwa “segala hal bersifat historis” (Bourdieu 2002: 115), termasuk juga rasio. Menurutnya, rasio tidak jatuh begitu saja dari langit. Ada kondisi sosial-ekonomi tertentu yang harus dipenuhi secara historis agar rasio bisa muncul dan berkembang. Bentuk rasio itu sendiri bisa bermacam-macam,
bergantung pada kondisi pembentuknya. Berbagai bentuk rasio inilah yang mewujud sebagai rasio praktis dalam habitus yang menghasilkan praktik dan representasi dalam ranah yang berbeda-beda. Rasio teoretis, yang dikenal sebagai “Rasio”, hanyalah salah satu dari bermacam bentuk rasio. Kecenderungan rasio teoretis untuk berjarak dengan kenyataan, mengobjektifikasi, mengkalkulasi, melakukan abstraksi, dsb.—singkatnya kecenderungan teoretis—dibentuk oleh kondisi sosial-ekonomi tertentu yang memungkinkannya berjarak dari tuntutan kehidupan praktis. Rasio teoretis dibentuk oleh skhole, yaitu waktu luang yang memungkinkan orang “bermain-main dengan serius” menjawab “pertanyaan- pertanyaan yang diabaikan oleh orang-orang ‘serius’ yang sibuk dan disibukkan oleh urusan praktis sehari-hari” (Bourdieu 2002: 13, 14). Perlahan-lahan kondisi terbentuknya rasio teoretis ini dilupakan secara kolektif melalui rangkaian proses historis yang panjang dan rumit berupa pelembagaan pendidikan dan pembentukan ranah yang mendukung pengembangan disposisi teoretis—hal yang sudah terlihat saat munculnya ranah filsafat di Yunani Kuno. Dalam kelupaan terhadap kondisi pembentuk rasio teoretis inilah tertanam akar sesat pikir skolastik yang menemukan bentuk paling tuanya dalam filsafat dan terus diwarisi kaum intelektual dan ilmuwan sosial hingga kini (Bourdieu 2002: 17-24).
Dengan melupakan historisitas rasio, para filsuf dan ilmuwan cenderung menguniversalkan rasio teoretis, yakni disposisi dan cara pandang mereka sendiri, dan memproyeksikannya sebagai standar bagi praktik yang dilakukan agen-agen lain tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekonomi yang membentuk habitus mereka (Bourdieu 2002: 74). Wujud sesat pikir skolastik terutama dapat dilihat dalam tiga wilayah: “pengetahuan (atau ilmu), etika (atau hukum dan politik), dan estetik” (Bourdieu 2002: 50). Pada wilayah ilmu pengetahuan hal ini paling jelas terlihat dalam ilmu ekonomi yang menjadikan kemampuan kalkulasi dan maksimalisasi profit sebagai standar rasionalitas agen (Bourdieu 2002: 60, 70). Hal yang sama, seperti sudah didiskusikan, juga nampak dalam linguistik yang memandang bahasa semata sebagai kode yang hendak dipahami dan ditafsirkan. Di wilayah etika dan politik kecenderungan serupa terlihat, misalnya, dalam etika eksistensialis Sartre yang menekankan kebebasan manusia tanpa sedikitpun Dengan melupakan historisitas rasio, para filsuf dan ilmuwan cenderung menguniversalkan rasio teoretis, yakni disposisi dan cara pandang mereka sendiri, dan memproyeksikannya sebagai standar bagi praktik yang dilakukan agen-agen lain tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekonomi yang membentuk habitus mereka (Bourdieu 2002: 74). Wujud sesat pikir skolastik terutama dapat dilihat dalam tiga wilayah: “pengetahuan (atau ilmu), etika (atau hukum dan politik), dan estetik” (Bourdieu 2002: 50). Pada wilayah ilmu pengetahuan hal ini paling jelas terlihat dalam ilmu ekonomi yang menjadikan kemampuan kalkulasi dan maksimalisasi profit sebagai standar rasionalitas agen (Bourdieu 2002: 60, 70). Hal yang sama, seperti sudah didiskusikan, juga nampak dalam linguistik yang memandang bahasa semata sebagai kode yang hendak dipahami dan ditafsirkan. Di wilayah etika dan politik kecenderungan serupa terlihat, misalnya, dalam etika eksistensialis Sartre yang menekankan kebebasan manusia tanpa sedikitpun
Rasio teoretis, yang keberadaannya dimungkinkan oleh kondisi tertentu yang menguntungkan namun tidak disadari, dapat berfungsi sebagai modal budaya dan juga sebagai modal simbolik sejauh ia diabsahkan, terutama melalui mekanisme pendidikan. Dengan demikian, dalam dirinya “Rasio” mengandung potensi penyalahgunaan kekuasaan sekaligus potensi pembebasan (Bourdieu 2002: 78). Tepat karena alasan inilah maka perlu dilakukan analisis historis- sosiologis refleksif yang, seperti sudah dibicarakan sebelumnya, tidak hanya diarahkan pada dunia sosial tapi juga pada sang ilmuwan sendiri beserta ranah ilmiah di mana ia berada.
Melakukan historisisasi untuk menghindar dari universalisme abstrak dan sesat pikir skolastik tidak berarti membiarkan diri terperosok ke dalam relativisme historis dan membuang cita-cita pengetahuan ilmiah. Menurut Bourdieu, “historisisme harus didorong hingga batasnya ... untuk melihat apa yang benar- benar bisa diselamatkan” (Bourdieu 1994: 31). Justru dengan mengetahui sejarah, kondisi yang membentuk, dan batas-batas yang dipaksakan oleh dunia sosial, rasio bisa menemukan celah untuk meningkatkan kebebasannya relatif terhadap batas-batas itu. Tentu tak bisa disangkal bahwa dengan demikian analisis sosio- historis memberi pendasaran keilmiahan bagi dirinya sendiri secara sirkular (Bourdieu 2002: 117). Namun Bourdieu menolak pendasaran a priori. Yang harus dilakukan adalah “mengubah persoalan-persoalan metafisika ke dalam persoalan- persoalan yang dapat ditangani secara ilmiah, dan karenanya juga secara politis” (Bourdieu dalam Webb dkk. 2002: 66). Posisi Bourdieu dalam hal ini dekat dengan pernyataan Foucault dalam artikelnya, “What is Enlightenment?” (Webb dkk. 2002: 54).
Dengan menolak pencarian landasan ontologis sebagai sebuah ilusi, yang tersisa adalah “kerja kolektif refleksivitas kritis yang memungkinkan rasio ilmiah lebih menguasa dirinya ... dan makin mendekati kebebasan penuh dari berbagai batasan dan kontingensi”. Tentu hal ini tak akan pernah tercapai sepenuhnya. Ia hanya berperan sebagai “semacam focus imaginarius—titik bayangan, yang hendak digapai keyakinan rasionalis dan menjadi ukuran baginya” (Bourdieu 2002: 121-2).