Bahasa sebagai Tindakan

B. Bahasa sebagai Tindakan

Salah satu benih pandangan yang menggugat dominasi Plato-Aristotelian disemai di Skotlandia di penghujung abad 18. Adalah Thomas Reid (1710-1796), peletak dasar filsafat common sense dan pengkritik empirisisme Inggris dan skeptisisme David Hume, yang menyemai benih pandangan ini, yang kemudian di abad 20 berkembang menjadi teori tindak tutur (Mulligan 1987: 34 cat. no. 5; Schuhmann & Smith 1990: 47; Smith 1990: 29-30). Filsuf Skotlandia ini memulai upayanya dari kritik terhadap para filsuf sejak Aristoteles yang hanya memfokuskan perhatian pada proposisi dan mengabaikan jenis kalimat yang lain seperti pertanyaan, perintah, janji, dsb. karena tidak menyatakan realitas dan dapat dinilai sebagai benar atau salah. Dalam rangka menganalisis ungkapan-ungkapan yang terabaikan ini, Reid mengajukan istilah “tindak sosial” (social act)—yang juga disebutnya “operasi sosial” (social operation), yang dilawankannya dengan “tindak soliter” (solitary act). Dua jenis tindakan ini mandiri dan tak bisa saling direduksi pada yang lain. Tindak soliter, yang meliputi tindak penilaian (judgment), persepsi, memori, kehendak, merasa senang atau sedih, memiliki ciri bahwa keberadaannya secara esensial tidak ditentukan oleh pengungkapannya dalam tanda. Ciri lainnya adalah tindak soliter tidak mengandaikan hubungan Salah satu benih pandangan yang menggugat dominasi Plato-Aristotelian disemai di Skotlandia di penghujung abad 18. Adalah Thomas Reid (1710-1796), peletak dasar filsafat common sense dan pengkritik empirisisme Inggris dan skeptisisme David Hume, yang menyemai benih pandangan ini, yang kemudian di abad 20 berkembang menjadi teori tindak tutur (Mulligan 1987: 34 cat. no. 5; Schuhmann & Smith 1990: 47; Smith 1990: 29-30). Filsuf Skotlandia ini memulai upayanya dari kritik terhadap para filsuf sejak Aristoteles yang hanya memfokuskan perhatian pada proposisi dan mengabaikan jenis kalimat yang lain seperti pertanyaan, perintah, janji, dsb. karena tidak menyatakan realitas dan dapat dinilai sebagai benar atau salah. Dalam rangka menganalisis ungkapan-ungkapan yang terabaikan ini, Reid mengajukan istilah “tindak sosial” (social act)—yang juga disebutnya “operasi sosial” (social operation), yang dilawankannya dengan “tindak soliter” (solitary act). Dua jenis tindakan ini mandiri dan tak bisa saling direduksi pada yang lain. Tindak soliter, yang meliputi tindak penilaian (judgment), persepsi, memori, kehendak, merasa senang atau sedih, memiliki ciri bahwa keberadaannya secara esensial tidak ditentukan oleh pengungkapannya dalam tanda. Ciri lainnya adalah tindak soliter tidak mengandaikan hubungan

Meski revolusioner dan radikal, pandangan Reid belum sepenuhnya lepas dari kungkungan dominasi Plato-Aristotelian. Pada dasarnya Reid adalah seorang filsuf manusia dalam jalur Cartesian dengan keprihatinan terutama untuk memahami kinerja pikiran. Dalam kerangka inilah kajiannya mengenai bahasa dijalankan, karena ia yakin bahwa penyelidikan terhadap bahasa biasa—ia menyebutnya “bahasa vulgar”—akan mengungkap cara kerja pikiran manusia sekaligus menunjukkan kekeliruan pandangan para filsuf yang menggunakan bahasa secara tidak tepat. Dengan demikian, tindak sosial, seperti halnya tindak soliter, tetap saja dipandang sebagai salah satu jenis kemampuan pikiran manusia, dan karenanya bersifat mental. Di titik inilah muncul kontradiksi dualisme Cartesian yang terkandung dalam pandangan Reid. Sementara mengakui sifat mental tindak sosial, ia juga mensyaratkan penggungkapannya dalam bentuk material dan meyakini bahwa tindakan itu memiliki efek material. Uraian Reid juga dinilai belum lengkap karena tidak memperhatikan kemungkinan ketidakberhasilan (infelicity) tindak sosial. Meski keyakinannya pada common sense berpengaruh cukup luas dan melahirkan gerakan filsafat common sense yang di abad 20 menginspirasi George Edward Moore, pandangan Reid mengenai tindak sosial tetap tak mendapat banyak perhatian dan baru muncul kembali dan disempurnakan dalam bentuk teori tindak tutur di tangan Austin (Schuhmann & Smith 1990: 56-60; Smith 1990: 30).

Sekira satu abad kemudian, pada peralihan abad 19 ke abad 20, benih yang lain kembali disemai. Kali ini di Jerman dalam alur psikologi Gestalt dan gerakan

fenomenologi yang dimotori Franz Brentano dan muridnya, Edmund Husserl. Dari Brentano, Husserl mengadopsi gagasan intensionalitas, yaitu bahwa kesadaran selalu terarah pada objek tertentu—berupa benda individual, peristiwa, proses, esensi, objek ideal, atau keadaan-keadaan faktual (states of affairs)— dalam tindakan objektifikasi. Semua bentuk pengalaman dan tindakan mental mendapat isinya dari tindakan objektifikasi itu, sedang bentuknya yang beragam, seperti menilai, meragukan, mempertanyakan, mengharap, takut, dsb. ditentukan oleh kualitas intensionalitasnya. Berdasar pandangan ini, Husserl menganggap bahwa bahasa mendapatkan maknanya karena merepresentasikan tindakan mental tertentu, yang pada gilirannya terarah pada objek melalui tindakan objektifikasi. Singkatnya, bahasa merupakan representasi objek kesadaran, dan dengan demikian terutama berfungsi referensial. Tak hanya proposisi yang berfungsi referensial, ungkapan-ungkapan seperti: pertanyaan, perintah, janji, dan ancaman, menurut Husserl juga merupakan representasi tindakan objektifikasi. Tak semua pengikut Husserl mengamini pandangan ini. Sebagian pengikutnya, seperti Alexander Pfänder dan Johannes Daubert, yang dikenal sebagai para fenomenolog Munich, menolak pandangan Husserl itu. Bagi mereka, tidak semua ungkapan bahasa merepresentasikan tindak objektifikasi seperti layaknya tindak penilaian. Harus ditambahkan kategori lain bagi pertanyaan, perintah, dsb. yang secara radikal berbeda dengan penilaian. Dalam tradisi fenomenologi Munich inilah, Adolf Reinach (1883-1917) mengembangkan kritik terhadap Husserl. Reinach menyebut kategori ungkapan non-objektifikasi sebagai “tindak sosial” (sozial akte ). Meski menggunakan istilah yang sama dengan Reid, tak ada petunjuk yang jelas apakah Reinach mengenal dan mendapat inspirasi dari karya-karya Reid (Mulligan 1987: 29-32; Smith 1990: 30-1; Schuhmann & Smith 1987: 17-9).

Tindak sosial dijelaskan Reinach sebagai tindakan mental yang ungkapan non-mentalnya tidak sekadar aksidental dan tambahan, melainkan bagian esensial dan tak terpisahkan darinya. Untuk menjelaskan tindak sosial, Reinach membuat serangkaian pembedaan. Pertama, antara tindakan pasif dan tindakan spontan. Berbeda dengan tindakan pasif seperti menilai, memutuskan, dan merasa sakit, tindakan spontan harus diwujudkan ke dalam bentuk non-mental. Kedua, tindakan

spontan dibedakan lebih jauh berdasarkan apakah perwujudan dalam bentuk non- mental dapat terpisah dengan tindakan mentalnya atau tidak, berturut-turut menjadi tindak internal dan eksternal. Ketiga, tindakan juga dibedakan menjadi tindakan yang terarah pada diri sendiri dan yang terarah pada orang lain. Dalam kerangka pembedaan-pembedaan ini, tindak sosial berada dalam wilayah tindakan spontan, eksternal, dan terarah pada orang lain, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus dimengerti oleh orang yang jadi sasaran tindakan itu. Tindakan sosial juga dianggap Reinach akan menghasilkan perubahan dalam struktur realitas. Dengan demikian, janji, misalnya, adalah tindakan mental yang serentak diungkapkan dalam bentuk non-mental, yaitu bahasa, diarahkan pada orang lain dan sekaligus dipahami olehnya. Serentak dengan itu, janji akan mengubah struktur kewajiban antara si pengucap janji dan lawan bicaranya (Smith 1990: 35-7; Mulligan 1987: 32-42).

Seperti halnya teori Reid, teori tindak sosial Reinach juga belum sepenuhnya bebas dari pandangan Plato-Aristotelian. Ini bisa dipahami karena Reinach merumuskan teorinya dalam kerangka fenomenologi realis yang masih berupaya mencari esensi yang tak berubah yang menjadi acuan tindak sosial tertentu. Hal yang dilakukan Reinach dengan teorinya adalah secara fenomenologis mendeskripsikan struktur esensi dan struktur ketergantungan antar-esensi yang menjamin berlangsungnya tindak sosial tertentu dalam realitas empiris. Struktur ini disebutnya struktur a priori, karena tidak dipahami secara induktif, melainkan hadir dalam kesadaran serentak dengan pemahaman esensi objek tertentu. Pemahaman a priori ini bisa dibandingkan dengan, misalnya, pemahaman mengenai esensi dan struktur segitiga, dan bahwa biru bukanlah suatu bentuk. Struktur a priori ini, karena menyatu dengan esensi, bersifat niscaya dan universal. Dan tiap tindakan sosial tertentu adalah perwujudan individual darinya. Kembali ke contoh di atas, di tingkatan esensial, janji memiliki struktur tertentu yang menimbulkan ikatan kewajiban tertentu bagi si pengucap janji pada lawan bicaranya untuk melakukan sesuatu yang dijanjikan. Esensi janji dengan struktur demikian itulah yang menjamin timbulnya perubahan struktur kewajiban dalam realitas empiris (Mulligan 1987: 44-6; Smith 1990: 44-7). Meski esensi ala

Reinach disebut berbeda dengan ide Platonis atau esensi Aristotelian karena tak punya eksistensi mandiri dan hanya ada sejauh diwujudkan dalam manifestasi individualnya (Smith 1990: 44), namun benang merah yang menghubungkan pandangannya dengan gagasan Plato-Aristotelian masih sangat kentara untuk diabaikan. Selain itu, meski Smith (1990: 49-50) mengakui bahwa dalam teori Reinach masih dimungkinkan adanya penambahan struktur baru yang sama sekali konvensional pada periode tertentu dalam sejarah, namun baginya tetap harus ada struktur realitas yang mendasarinya yang sifatnya a priori dan universal. Dalam arti ini, ia membandingkan teori Reinach dengan “tatabahasa universal” dan menyebutnya “ontologi universal”.

Perumusan teori tindak tutur yang lain, sebagaimana lazim dikenal sekarang dengan istilah itu, dilakukan oleh John Langshaw Austin (1911-1960), salah satu tokoh gerakan Filsafat Bahasa Biasa dalam tradisi filsafat analitik. Mengenai Austin masih akan dibicarakan lagi di bab berikutnya dalam hubungannya dengan pandangan Bourdieu, karena teori tindak tutur Austin-lah yang berpengaruh langsung padanya. Di sini hanya perlu disebut bahwa menurut beberapa komentator (mis. Mulligan 1987: 31-4; Schuhmann & Smith 1990: 61 cat. no. 4; Smith 1990: 33-4), teori tindak sosial Reinach tak hanya melampaui teori yang dirumuskan Reid seabad sebelumnya, tapi juga pada beberapa titik lebih komprehensif dan lebih terperinci ketimbang teori tindak tutur yang dirumuskan Austin setengah abad kemudian. Mengenai perbandingan Reinach dan Reid tak ada yang perlu diperdebatkan. Tetapi mengenai Austin, penilaian mereka tak sepenuhnya tepat. Di satu sisi, penilaian mereka benar. Teori tindak tutur Austin memang belum tuntas dan lebih bersifat programatis. Ia belum sempat merinci teorinya lebih jauh dan meninggal lima tahun setelah merumuskan garis besarnya dalam rangkaian kuliah di Harvard tahun 1955, yang kemudian diterbitkan secara anumerta dalam How to Do Things with Words (1962) (Aunullah 2005: 50). Namun di sisi lain, para komentator itu mengabaikan setidaknya dua hal penting yang menjadi sumbangan teori Austin dalam kaitannya dengan kritik terhadap dominasi pandangan Plato-Aristotelian. Pertama, kritiknya terhadap kajian bahasa secara abstrak dan penekanannya terhadap penggunaan

bahasa dalam konteks sosial yang konkrit (Austin 1961: 130; 1962: 147; bdk. Aunullah 2005: 54-5). Hal ini penting ditekankan karena para penerusnya, seperti John Searle, Jerrold Katz, dan Herbert Paul Grice, mencoba mengintegrasikan kembali pandangan Austin ke dalam kajian bahasa arus utama yang menomorsatukan kajian bahasa secara abstrak (Robinson 1997). Kedua, Austin tidak sekadar mengakui adanya tuturan tertentu yang merupakan tindakan, seperti nampak dalam pembedaan yang dirumuskan di awal kariernya antara ucapan konstatif yang menggambarkan realitas dan ucapan performatif yang merupakan tindakan. Ia merevisi pandangannya dan menempatkan seluruh praktik berbahasa dalam wilayah tindakan yang berpotensi mengubah realitas—yang disebutnya “tindak tutur” (Austin 1962: 90-1; 1979: 21-2; bdk. Aunullah 67-70). Dengan demikian, Austin melapangkan jalan bagi sebuah analisis terhadap bahasa sebagai praktik dalam konteks sosial dan, pada gilirannya, juga hubungannya dengan kekuasaan.

Sejak akhir ‘60-an, pengaruh Austin, terutama melalui perumusan Searle dan Grice, mulai diadopsi kalangan linguis Amerika dan diintegrasikan ke dalam linguistik, membentuk sebuah sub-disiplin yang disebut pragmatik. Penerimaan teori tindak tutur ini berlangsung seiring dengan akumulasi kegagalan linguistik struktural-behavioristik Bloomfieldian dan tatabahasa generatif transformasional Chomsky untuk menjelaskan masalah makna (Leech 1993: 1-6). Teori tindak tutur juga mendapatkan pengembangan lebih lanjut, dalam kerangka yang berbeda, di tangan Jürgen Habermas. Mengenai filsuf Mazhab Frankfurt ini nanti masih akan dibicarakan kembali.