Meradikalkan Teori Speech Act

2. Meradikalkan Teori Speech Act

Salah satu kritik Bourdieu terhadap linguistik struktural dan tatabahasa generatif adalah keduanya mengabstraksi bahasa dari penggunaan konkretnya. Yang terabaikan adalah sifat bahasa sebagai tindakan yang memiliki efek dan kekuatan. Di sinilah, menurut Bourdieu, terletak arti penting teori tindak tutur yang dirumuskan Austin. Memang ada kritik bernada sangat keras terhadap Austin dalam tulisan Bourdieu. Misalnya, tentang upaya mencari kekuatan sebuah ungkapan performatif dalam ungkapan itu sendiri, ia menulis: “inilah esensi kekeliruan yang diungkapkan dalam bentuk paling sempurna oleh Austin” (Bourdieu 1995a: 107). Kecaman ini lebih berupa kesalahpahaman atau kritik yang dilebih-lebihkan, sebab di tulisannya yang lain Bourdieu menganggap Austin sudah berada di jalur yang tepat dengan mencari aspek sosial keberhasilan suatu tindak tutur, meski tak sepenuhnya berhasil menjelajahi konsekuensi teorinya. Yang disalahkan Bourdieu adalah para penerus Austin karena mereduksi karyanya menjadi pembacaan yang murni logis dan linguistis (Bourdieu 1995a: 73-4; 1994: 28-9), atau kembali terjebak ke dalam universalisme dan idealisasi layaknya dilakukan Apel, Grice, dan Habermas (Bourdieu dalam Wacquant 1989: 49; Bourdieu 1995a: 257 cat. no. 4; 2002: 65-7, 110, 121-2; bdk. Thompson 1995: 10).

Secara sangat ringkas, untuk sekadar memberi latar bagi diskusi ini, teori tindak tutur Austin dapat dijelaskan sebagai berikut. Semula Austin mengkritik anggapan para filsuf bahwa semua pernyataan berfungsi untuk mendeskripsikan

fakta. Anggapan ini disebutnya “sesat pikir deskriptif” atau “sesat pikir konstatif”(Austin 1962: 1-3). Selanjutnya, ia menunjukkan bahwa ada ungkapan tertentu yang merupakan pernyataan namun tidak berfungsi menggambarkan fakta, melainkan untuk melakukan suatu tindakan. Ia menyebut jenis ungkapan ini performatif dan dilawankannya dengan konstatif. Sementara ucapan konstatif dapat dievaluasi sebagai benar atau salah, ucapan performatif hanya bisa dinilai sebagai happy atau unhappy, layak atau tidak, berhasil atau tidak. Menurut Austin, agar layak dan berhasil, sebuah ucapan performatif harus memenuhi beberapa aturan yang menentukan kata-kata yang diucapkan, siapa yang mengucapkan, serta prosedur dan kondisi yang harus dipenuhi (Austin 1962: 14- 5). Pada perkembangannya, Austin tidak puas dengan pemilahan yang dibuatnya karena ternyata tak ada kriteria yang benar-benar tegas memisahkan dua jenis ucapan itu. Ia merumuskan ulang teorinya dan memandang semua ucapan sebagai tindakan dan menyatukannya di bawah payung “tindak tutur”. Sebuah tindak tutur serentak terdiri dari tiga tindakan: (1) tindak lokusioner, yakni tindakan mengucapkan ungkapan itu sendiri dengan mengacu pada makna dan objek tertentu. Misalnya, mengucapkan “Saya berjanji akan datang ke rumahmu besok”, dengan “saya” mengacu pada penutur dan dengan “rumahmu” mengacu pada rumah tertentu merupakan tindak lokusioner. (2) tindak ilokusioner, yaitu tindakan yang dilakukan dalam mengucapkan suatu ungkapan, atau efek konvensional yang diakibatkan ungkapan itu. Misalnya, dalam mengucapkan ungkapan dalam contoh sebelumnya si penutur melakukan tindakan berjanji dengan segala efek konvensionalnya, seperti kewajiban untuk datang ke rumah lawan bicaranya esok. Dan (3) tindak perlokusioner, yakni tindakan yang dilakukan dengan mengucapkan suatu ungkapan, atau efek non-konvensional yang diakibatkan ungkapan itu. Meneruskan contoh tadi, si penutur bisa jadi membuat lawan bicaranya merasa senang karena janji itu, atau justru sebaliknya membuatnya merasa terganggu (Austin 1962: 94-103; Aunullah 2005: 67-74).

Jika Austin masih setengah hati membicarakan kondisi sosial yang menjamin keberhasilan ucapan performatif atau sebuah tindak tutur, menurut Bourdieu, itu karena Austin tak sepenuhnya menyadari apa yang ia lakukan.

Sementara ia yakin sedang memberi kontribusi pada filsafat bahasa dalam kerangka analisis logis, sebenarnya yang dilakukannya adalah mengkaji secara sosiologis sebuah kelas ungkapan simbolik yang kekuatannya, meski nampak bersumber dari dirinya sendiri, sejatinya berasal dari kondisi institusional produksi dan resepsinya (Bourdieu 1995a: 73-4, 111).

Tujuan Bourdieu adalah membumikan teori tindak tutur ini dengan memberi landasan sosial bagi kekuatannya. Dalam makna tertentu ia juga meradikalkannya dengan sepenuhnya menarik konsekuensi dari ucapan performatif atau tindak ilokusioner. Baginya, selain berupa hubungan komunikasi yang meniscayakan pengetahuan dan pengenalan, juga tak boleh dilupakan bahwa pertukaran bahasa merupakan hubungan kuasa simbolik. Bahasa bukan hanya memiliki kemampuan generatif untuk menghasilkan sejumlah kalimat yang tak terbatas, tapi juga kemampuan originatif untuk menciptakan sesuatu yang diucapkannya (Bourdieu 1995a: 37-8). Bourdieu menyebut bahwa yang memiliki kekuatan simbolik bukan sekadar ucapan-ucapan tertentu yang disokong oleh institusi, lebih jauh lagi ia menyarankan bahwa hingga tingkat tertentu dan efek yang berlainan semua ucapan adalah performatif.

Di sini, kritik Thompson yang sudah disinggung di bab I perlu dibicarakan lebih jauh. Salah satu keberatan Thompson adalah bahwa Bourdieu membatasi “kuasa bahasa” hanya pada kekuasaan untuk memobilisasi otoritas yang diberikan pada seorang agen oleh kelompoknya. Singkatnya, kekuatan tindak tutur direduksi Bourdieu hanya pada kekuatan institusi yang mengabsahkannya. Thompson tak hendak menyangkal bahwa ada banyak kasus di mana “tindak tutur adalah ‘tindak institusional’ yang didengarkan, dipercaya, dipatuhi, dan dijawab persis karena ia ‘diabsahkan’ oleh institusi yang bersangkutan” (1984: 67). Meski demikian, menurutnya tak tepat menjadikan kasus macam ini sebagai paradigma bagi hubungan bahasa dan kuasa karena dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak pembicaraan yang merupakan tindak kekuasaan namun tidak dapat digolongkan sebagai tindak institusional (Thompson 1984: 68).

Mengenai kritik Thompson ini, ada beberapa hal yang perlu dikatakan. Pertama , ia memahami makna “institusi” terlalu sempit sebagai organisasi

tertentu. Dengan pemahaman demikian memang banyak ucapan sehari-hari, seperti percakapan antar-teman, dsb., yang tidak berkaitan langsung dengan organisasi tertentu. Bourdieu memang sangat sering berbicara mengenai kuasa bahasa dan hubungannya dengan institusi dalam arti sempit macam ini (mis. 1994: 133-7, 139; 1995a: 73-6, 109-16, 172 dst.). Namun, seperti diakui Thompson dalam tulisannya yang lain, “Bourdieu menggunakan istilah ‘institusi’ dalam cara yang sangat umum dan aktif. ... Sebuah instistusi tidak perlu berupa sebuah organisasi tertentu ... tapi seperangkat hubungan sosial yang relatif tahan lama yang memberi individu kekuasaan, status, dan beragam sumber daya” (Thompson 1995: 8). Kedua, terkait dengan pemahamannya mengenai institusi, menurut Thompson, selain modal ekonomi, simbolik (otoritas, prestise, penghormatan), atau budaya (pengetahuan, kemampuan retoris, gelar akademik) yang ditopang langsung oleh institusi tertentu dan menjadi landasan kekuasaan sebuah tindak tutur, ada pula bentuk modal lain yang tak berhubungan dengan institusi tertentu seperti hubungan interpersonal yang lebih melibatkan afeksi yang juga bisa dieksploitasi dalam tindak kekuasaan (1984: 68-9). Dalam hal ini Thompson mengabaikan tulisan Bourdieu mengenai jenis-jenis modal. Jenis modal yang disebutnya tidak dipertimbangkan Bourdieu adalah modal sosial (bdk. Bourdieu 1986: 248-50). Ketiga, bahasa dengan efek performatif mendapat maknanya yang lebih luas dan radikal pada Bourdieu, dan dengan demikian melampaui kritik Thompson. Tak hanya ungkapan-ungkapan tertentu, tetapi skema klasifikasi yang inheren dalam bahasa hingga tingkat tertentu merupakan penciptaan kenyataan.