Bahasa dan Efek Performatif

3. Bahasa dan Efek Performatif

Bahasa adalah sarana manusia untuk memahami dan mengklasifikasi realitas. Karenanya, melalui tindak penamaan, terutama yang diakui secara luas, seorang agen bisa menstrukturkan persepsi terhadap realitas dengan cara tertentu, dan dengan demikian mempertahankan atau mengubah realitas itu sendiri. Semua agen sosial, sejauh dimungkinkan oleh keadaannya, selalu berusaha menggapai kuasa menciptakan realitas melalui kata-kata ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai gosip, hinaan, ejekan, kritik, bantahan, dan pujian. Kita juga menjumpai peresmian gedung, deklarasi partai, pembukaan sidang, pelantikan pejabat, keputusan presiden, diagnosa dokter, publikasi ilmiah, akad pernikahan, pejanjian jual-beli, hingga vonis hakim. Semua diskursus ini, hingga tingkat tertentu dan dengan efek yang berbeda, merupakan tindakan performatif, yaitu upaya menciptakan kenyataan melalui kata-kata (Bourdieu 1995a: 105). Efek yang dihasilkan sebuah diskursus, sekali lagi, tidak bisa dicari akarnya dalam diskursus itu sendiri. Kekuatan efeknya bergantung pada seberapa banyak modal simbolik yang terkonsentrasi di dalamnya, yaitu seberapa jauh ia dikenali sebagai absah (Bourdieu 1995a: 106).

Di satu ujung ekstrem terdapat tindak tutur institusional yang dapat menghasilkan efek performatif paling nyata dan kuat, terutama tindak tutur legal, karena di dalamnya terkandung seluruh modal simbolik yang dimiliki institusi bersangkutan. Konsentrasi modal simbolik pada institusi tertentu berkaitan erat

dengan penyatuan berbagai ranah dan pembentukan negara. Seorang hakim yang membacakan vonis tidak berbicara atas namanya sendiri, melainkan atas nama institusi hukum. Dan dengan demikian modal simbolik yang terkandung dalam tindak tuturnya ditopang oleh institusi hukum itu sendiri dan negara. Tindak tutur institusional hanya merupakan salah satu model, meski memang model yang paling jelas dan mudah dipahami karena aturan-aturannya cenderung eksplisit. Dalam hal ini, keabsahan tindak tutur institusional ditentukan oleh tiga hal. Pertama, diucapkan oleh orang yang mendapat mandat absah untuk mengucapkannya. Kedua, diucapkan dalam situasi yang absah, yakni, untuk khalayak yang absah. Dan ketiga, diucapkan dengan cara dan dalam bentuk yang absah (Bourdieu 1995a: 113). Meneruskan contoh di atas, sebuah vonis hanya memiliki efek performatif jika diucapkan oleh seorang hakim, dalam ruang pengadilan, di depan terdakwa tertentu, dan dengan cara dan bentuk yang absah, misalnya, menggunakan bahasa Indonesia baku dengan jargon hukum tertentu dan mengacu pada pasal tertentu dalam KUHP.

Aturan-aturan formal ini, walaupun penting dan terlihat paling jelas hanya merupakan satu aspek dari seluruh kondisi yang memberi kekuatan pada sebuah tindak tutur. Tak boleh dilupakan bahwa di balik aturan-aturan seremonial dan liturgis itu hadir seluruh struktur ruang sosial melalui habitus dan turut memberi kekuatan simbolik pada diskursus yang diucapkan. Membatasi analisis hanya pada unsur-unsur formal sebuah seremoni dan mengabaikan struktur sosial yang mengabsahkannya akan menyesatkan (Bourdieu 1995a: 113).

Di ujung ekstrem yang lain terdapat ucapan-ucapan yang memiliki kuasa simbolik nol atau bahkan negatif. Misalnya, sebuah pernyataan yang tidak disertai modal simbolik alih-alih membawa efek performatif yang diharapkan, bisa dicap sebagai “fitnah” dan berefek negatif pada penuturnya sendiri. Begitu pula, sebuah ceramah tanpa modal simbolik bisa dikenali sebagai “hasutan”. Ucapan-ucapan yang melanggar aturan, baik sosial maupun linguistik, bisa dianggap sebagai “tak tahu aturan”, atau pada tingkat yang sangat parah akan dianggap sama sekali “tidak dimengerti” atau diacuhkan sebagai “omongan orang gila”. “Hanya seorang Di ujung ekstrem yang lain terdapat ucapan-ucapan yang memiliki kuasa simbolik nol atau bahkan negatif. Misalnya, sebuah pernyataan yang tidak disertai modal simbolik alih-alih membawa efek performatif yang diharapkan, bisa dicap sebagai “fitnah” dan berefek negatif pada penuturnya sendiri. Begitu pula, sebuah ceramah tanpa modal simbolik bisa dikenali sebagai “hasutan”. Ucapan-ucapan yang melanggar aturan, baik sosial maupun linguistik, bisa dianggap sebagai “tak tahu aturan”, atau pada tingkat yang sangat parah akan dianggap sama sekali “tidak dimengerti” atau diacuhkan sebagai “omongan orang gila”. “Hanya seorang

Di antara dua kutub ekstrem, tindak tutur institusional yang memiliki efek penuh dan tindak tutur yang berefek nol atau negatif, ada bermacam tindak tutur dengan derajat efek yang beragam sesuai jumlah modal simbolik yang terkandung di dalamnya. Beragam tindak tutur ini aturannya tak terdefinisikan secara eksplisit dan tegas layaknya tindak tutur institusional, namun tak kurang terstrukturnya. Berbagai aturan implisit mengenai siapa berhak bicara apa kepada siapa, di mana , dan kapan, meski tak setegas dalam seremoni resmi tetap dikenali dan diakui dalam berbagai situasi interaksi. Karena itu setiap interaksi linguistik sebenarnya memiliki struktur yang homologis dengan struktur ruang sosial. Dengan kata lain, seluruh struktur sosial hadir dalam setiap interaksi, betapapun intim dan personalnya. Di sini Bourdieu mengajukan kritik pada pendekatan interaksionisme simbolik dan etnometodologi karena cenderung menganggap interaksi sebagai dunia tertutup yang hanya distrukturkan oleh aksi dan reaksi para peserta interaksi dan mengabaikan pengaruh struktur ruang sosial terhadap struktur interaksi (Bourdieu 1995: 81; 1995a: 64-5; Bourdieu dalam Wacquant 1989: 47).

Posisi seorang agen dalam struktur ruang sosial akan menentukan pula posisinya dalam sebuah interaksi. Artinya, struktur interaksi dipengaruhi oleh jumlah modal budaya, modal simbolik, dan terutama modal bahasa yang dimiliki masing-masing peserta interaksi itu. Struktur sosial hadir dalam interaksi melalui habitus. Ini bisa dipahami karena seorang agen menghasilkan diskursus atau bereaksi terhadap diskursus yang dihasilkan agen lain melalui habitus. Sementara habitus dibentuk berdasarkan posisi agen dalam struktur sosial (Bourdieu 1995a: 64-5). Ketika jarak sosial antar-peserta interaksi cukup jauh, agen yang posisinya dalam struktur sosial lebih rendah akan merasa diskursusnya kurang bernilai dibanding diskursus lawan bicaranya. Ia akan mengalaminya sebagai rasa malu, tegang, keharusan untuk berhati-hati agar tidak salah bicara, terintimidasi, bahkan mungkin diam sama sekali. Semata kehadiran orang yang lebih tinggi dalam Posisi seorang agen dalam struktur ruang sosial akan menentukan pula posisinya dalam sebuah interaksi. Artinya, struktur interaksi dipengaruhi oleh jumlah modal budaya, modal simbolik, dan terutama modal bahasa yang dimiliki masing-masing peserta interaksi itu. Struktur sosial hadir dalam interaksi melalui habitus. Ini bisa dipahami karena seorang agen menghasilkan diskursus atau bereaksi terhadap diskursus yang dihasilkan agen lain melalui habitus. Sementara habitus dibentuk berdasarkan posisi agen dalam struktur sosial (Bourdieu 1995a: 64-5). Ketika jarak sosial antar-peserta interaksi cukup jauh, agen yang posisinya dalam struktur sosial lebih rendah akan merasa diskursusnya kurang bernilai dibanding diskursus lawan bicaranya. Ia akan mengalaminya sebagai rasa malu, tegang, keharusan untuk berhati-hati agar tidak salah bicara, terintimidasi, bahkan mungkin diam sama sekali. Semata kehadiran orang yang lebih tinggi dalam

Memang benar bahwa dalam batas-batas tertentu struktur interaksi bisa dimanipulasi dengan memanfaatkan sarana meta-diskursus, yaitu penggunaan gaya bahasa untuk menghasilkan efek tertentu, seperti penghalusan, eufemisme, sikap merendahkan diri, ironi, pasemon, dsb. Tapi tentu saja kemampuan memanfaatkan perangkat meta-diskursus ini sangat bergantung pada modal budaya dan modal bahasa yang dimiliki seseorang (Bourdieu 1995a: 71).

Juga benar bahwa penyatuan pasar linguistik tidak pernah sempurna, total, dan menyeluruh. Selalu tersisa ruang bagi individu yang terdominasi, seperti dalam percakapan antar-teman atau antar-anggota keluarga, di mana aturan pembentukan harga yang berlaku dalam situasi resmi ditangguhkan. Dalam situasi macam ini seorang agen bisa menghasilkan tuturan, bahkan yang “tidak absah sekalipun”, dengan santai dan “lepas” karena tuturannya itu akan dinilai menggunakan skema habitus yang juga menghasilkannya. Namun hal ini tidak menghapuskan kenyataan bahwa mereka terdominasi. Skema evaluasi bahasa yang resmi hanya ditangguhkan belaka dan tidak lenyap. Sekali mereka beralih dari wilayah privat ke wilayah publik yang resmi, skema itu kembali berlaku. Dominasi tepat berada dalam kenyataan bahwa mereka secara potensial selalu berada di bawah “yurisdiksi” aturan resmi (Bourdieu 1995a: 71). Lagi pula jangan dilupakan bahwa wilayah privat pun memiliki strukturnya sendiri berdasarkan, misalnya, usia dan gender.