Ruang Simbolik dan Homologi Struktural

1. Ruang Simbolik dan Homologi Struktural

Bourdieu merumuskan konsep kuasa simboliknya dengan memadukan tiga tradisi dan cara pandang. Pertama, tradisi neo-kantian yang memandang bentuk- bentuk simbolik (seperti mitos, bahasa, seni, ilmu, agama, dsb.) sebagai sarana untuk mengetahui dan menciptakan dunia objek. Dengan demikian, tradisi yang diwakili oleh Humboldt, Cassirer, Sapir-Whorf, Erwin Panofsky, Durkheim, dan Radcliffe-Brown ini mengakui aspek aktif dalam pengenalan manusia (Bourdieu 1995a: 164). Berbeda dengan Kant yang meyakini bahwa kategori-kategori pengetahuan yang turut membentuk objek sifatnya transendental dan universal (Hardiman 2004: 139-42), pada tradisi neo-kantian, terutama Panofsky dan Durkheim, bentuk-bentuk simbolik yang merupakan bentuk klasifikasi kenyataan dipandang tak lain adalah “bentuk historis” dan “bentuk sosial”, yakni sifatnya Bourdieu merumuskan konsep kuasa simboliknya dengan memadukan tiga tradisi dan cara pandang. Pertama, tradisi neo-kantian yang memandang bentuk- bentuk simbolik (seperti mitos, bahasa, seni, ilmu, agama, dsb.) sebagai sarana untuk mengetahui dan menciptakan dunia objek. Dengan demikian, tradisi yang diwakili oleh Humboldt, Cassirer, Sapir-Whorf, Erwin Panofsky, Durkheim, dan Radcliffe-Brown ini mengakui aspek aktif dalam pengenalan manusia (Bourdieu 1995a: 164). Berbeda dengan Kant yang meyakini bahwa kategori-kategori pengetahuan yang turut membentuk objek sifatnya transendental dan universal (Hardiman 2004: 139-42), pada tradisi neo-kantian, terutama Panofsky dan Durkheim, bentuk-bentuk simbolik yang merupakan bentuk klasifikasi kenyataan dipandang tak lain adalah “bentuk historis” dan “bentuk sosial”, yakni sifatnya

Tradisi kedua, yang diwakili de Saussure, strukturalisme, dan hingga tingkat tertentu Durkheim dan Panofsky, juga memandang bahwa bentuk-bentuk simbolik turut membentuk dunia. Bedanya, jika tradisi pertama lebih menekankan aspek produktif kesadaran, sedang yang kedua ini lebih memberi tekanan pada kesadaran dan bentuk-bentuk simbolik sebagai sesuatu yang dibentuk dan distrukturkan (Bourdieu 1995a: 164-6). Pada strukturalisme Lévi-Strauss, seperti disinggung di bab terdahulu, bentuk simbolik kembali memperoleh status universal dengan diasalkan pada mekanisme pikiran manusia.

Ketiga , tradisi Marxian dan Weberian yang juga memandang bahwa bentuk-bentuk simbolik bersifat fungsional. Namun berbeda dengan Durkheim yang menekankan fungsi integrasi, Marx dan Weber justru menekankan fungsi politis bentuk-bentuk simbolis sebagai sarana dominasi. Mereka menghubungkan produksi simbolik dengan kepentingan kelompok-kelompok dominan untuk menjustifikasi dominasinya atau, dalam istilah Weber, “penjinakan pihak yang terdominasi” (Bourdieu 1995a: 166-7).

Dari tiga alur tradisi dan cara pandang inilah, Bourdieu membuat sintesis dan merumuskan konsep kuasa simbolik. Menurutnya, bentuk simbolik memiliki kekuatan untuk menstrukturkan dan membentuk realitas justru karena ia sendiri terstruktur berdasarkan kondisi objektif realitas. Di sini ia memadukan pandangan pertama dan kedua. Selain itu bentuk-bentuk simbolik juga merupakan wilayah pertarungan, pergulatan, dan dominasi, karena masing-masing kelompok akan berusaha mendefinisikan dunia sosial sesuai kepentingannya. Di sini ia memasukkan juga cara pandang ketiga. Pun tak boleh dilupakan, karena dominasi dan kekuasaan ini dilakukan melalui bentuk simbolik, maka sifatnya sebagai Dari tiga alur tradisi dan cara pandang inilah, Bourdieu membuat sintesis dan merumuskan konsep kuasa simbolik. Menurutnya, bentuk simbolik memiliki kekuatan untuk menstrukturkan dan membentuk realitas justru karena ia sendiri terstruktur berdasarkan kondisi objektif realitas. Di sini ia memadukan pandangan pertama dan kedua. Selain itu bentuk-bentuk simbolik juga merupakan wilayah pertarungan, pergulatan, dan dominasi, karena masing-masing kelompok akan berusaha mendefinisikan dunia sosial sesuai kepentingannya. Di sini ia memasukkan juga cara pandang ketiga. Pun tak boleh dilupakan, karena dominasi dan kekuasaan ini dilakukan melalui bentuk simbolik, maka sifatnya sebagai

Dengan mensintesiskan tiga tradisi ini, Bourdieu serentak mengatasi tiga dikotomi. Pertama, dengan menganggap bentuk-bentuk simbolik menstrukturkan dan sekaligus distrukturkan realitas, ia memadukan aspek aktif kesadaran dalam idealisme neo-kantian dan aspek pasifnya dalam materialisme dan strukturalisme. Kedua , ia memadukan penekanan pada integrasi dan konflik dalam masyarakat dengan menganggap bahwa bentuk-bentuk simbolik serentak memiliki dua fungsi: sosial dan politik, integrasi dan dominasi, unifikasi dan diferensiasi. Bentuk- bentuk simbolik menyatukan sebuah masyarakat dan juga memisahkannya menjadi kelas-kelas yang berbeda. Justru adanya kesatuan yang memungkinkan konflik dan perbedaan (Bourdieu 1995a: 167). Ketiga, ia memadukan penekanan pada aspek material dan simbolik. Baginya, dua aspek dunia sosial ini berbeda namun tak terpisahkan. Tak ada bentuk material murni, karena semuanya dikenali agen melalui bentuk-bentuk simbolik. Pun sebaliknya, representasi simbolik yang dimiliki agen berakar pada benda-benda material. Ini terlihat, misalnya, pada pandangannya mengenai modal yang pluralistik, juga dalam pemikirannya tentang kelas yang tidak semata didasarkan pada distribusi modal material layaknya pandangan Marxis ortodoks tapi juga pada distribusi modal simbolik. Singkatnya, representasi simbolik agen terhadap realitas material tak kalah nyata dibanding realitas material itu sendiri (Bourdieu 1996: 483). Atau dengan kata lain, tidak mungkin membuat pemisahan tegas antara perbedaan yang “alamiah” dan perbedaan yang “sosial” (Webb dkk. 2002: 83).

Tujuan proyek Bordieu adalah mengenali dialektika hubungan antara realitas material dunia sosial yang disebutnya “ruang sosial”, yakni posisi objektif agen dalam struktur kelas dan ranah, dan bentuk-bentuk simbolik yang disebutnya “ruang simbolik”, yakni representasi subjektif agen terhadap dunia sosial. Atau dialektika antara posisi objektif dan pengambilan-posisi (position-taking) subjektif. Konsisten dengan penolakannya terhadap pemisahan aspek material dan simbolik, Bourdieu menganggap dua ruang ini tidak bisa saling direduksi satu sama lain. Tatanan simbolik memiliki otonomi relatif terhadap struktur kelas Tujuan proyek Bordieu adalah mengenali dialektika hubungan antara realitas material dunia sosial yang disebutnya “ruang sosial”, yakni posisi objektif agen dalam struktur kelas dan ranah, dan bentuk-bentuk simbolik yang disebutnya “ruang simbolik”, yakni representasi subjektif agen terhadap dunia sosial. Atau dialektika antara posisi objektif dan pengambilan-posisi (position-taking) subjektif. Konsisten dengan penolakannya terhadap pemisahan aspek material dan simbolik, Bourdieu menganggap dua ruang ini tidak bisa saling direduksi satu sama lain. Tatanan simbolik memiliki otonomi relatif terhadap struktur kelas