Universalisasi Akses terhadap Universalitas

3. Universalisasi Akses terhadap Universalitas

Dengan terbukanya celah bagi rasio untuk meloloskan diri dari determinasi dunia sosial dan salah-pengenalan, betapapun kecilnya terbuka juga celah bagi perubahan dan resistensi. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memicu terjadinya perubahan. Pertama, dalam diferensiasi dunia sosial ke dalam ranah-ranah semi-otonom terkandung kontradiksi yang dapat mengancam posisi kelas dominan. Dengan diferensiasi, kekuasaan yang semula memusat pada sedikit agen menjadi relatif tersebar ke dalam berbagai ranah yang cenderung saling bersaing dalam meta-ranah kekuasaan. Dengan demikian selalu ada peluang bagi kelas yang didominasi untuk mengambil keuntungan dari pertarungan pihak-pihak yang berkuasa dalam ranah-ranah yang berbeda. Namun peluang ini tak boleh dilebih-lebihkan karena pihak yang dominan dalam semua ranah disatukan oleh solidaritas objektif berdasarkan homologi posisi mereka dalam struktur ranah (Bourdieu 2002: 102-3). Ketika dua gajah bertarung, alih- alih bisa menangguk untung, pelanduk justru kerap mati di tengah-tengah.

Kedua , ada ranah-ranah tertentu yang memperoleh keabsahannya dengan mengajukan klaim terhadap universalitas dan dengan demikian membantu menguniversalkan pengakuan resmi terhadap universalitas itu. Misalnya, ranah hukum memperoleh keabsahannya dengan mengajukan klaim sebagai adil, imparsial, dan tidak pandang bulu. Pemerintah mendapat keabsahannya dengan mengklaim sebagai perwakilan seluruh warganya dan akan melayani kepentingan mereka secara merata. Begitu pula ranah ilmiah, pendidikan, dsb. Ranah-ranah ini mendapatkan kuasa simboliknya dengan bayaran kepatuhan (paling tidak dalam

penampakannya) terhadap prinsip universalitas. Tentu tak bisa dimungkiri bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip universal ini juga universal sifatnya. Namun sekali prinsip universalitas diklaim dan diakui secara publik ia berfungsi sebagai standar dan sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai senjata dalam perjuangan simbolik. Selain itu, sejalan dengan logika persaingan dalam masing-masing ranah, semua pihak termasuk kelas yang dominan “terpaksa” mematuhi prinsip universal itu, entah dengan tulus atau secara hipokrit, agar tak kehilangan modal simboliknya (Bourdieu 2002: 122-7). Namun juga tak boleh dilupakan bahwa otonomi ranah-ranah ini bukan sesuatu yang tak bisa berubah. Karena itu, perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk melindungi otonomi relatifnya, terutama dari kekuatan neoliberalisme yang belakangan ini menerobos ke berbagai ranah dan memaksakan logikanya (Bourdieu 1998: 94-105; Bourdieu & Wacquant 1999, 2001).

Pandangan macam ini tentu bisa dianggap mengecewakan karena membuat nilai-nilai moral kehilangan landasan universalnya. Tapi jika kita tidak ingin terperosok ke dalam utopianisme yang tidak bertanggungjawab dan cenderung menyesatkan, tak ada jalan lain kecuali kembali ke pandangan yang “realistis” mengenai dunia sosial di mana nilai-nilai universal dihasilkan (Bourdieu 2002: 127). Lagi pula komitmen terhadap universalisme abstrak tak banyak memperbaiki keadaan, jika bukannya malah memperburuknya karena bisa jadi mengabsahkan ketimpangan.

Ketiga , universalisme abstrak yang melulu formal tidak pernah cukup untuk mengubah keadaan. Alih-alih membongkar dominasi, universalisme formal malah menutupi dan mengabsahkannya dengan memberi penampakan tak berpihak dan universal bagi sebuah ketimpangan (Bourdieu 2002: 70). Misalnya, diklaim secara formal bahwa siapapun berhak mengikuti pendidikan di sekolah dan akan dievaluasi secara adil dan merata. Dalam kenyataannya tidak semua orang bisa sekolah. Ada kondisi tertentu yang harus dipenuhi, dan ada modal tertentu yang harus diinvestasikan, tak hanya modal ekonomi, tapi juga modal budaya, modal bahasa, dan modal simbolik. Begitu pula, evaluasi dalam sekolah pada kenyataannya tidak setara. Namun ketimpangan yang semena ini ditutupi Ketiga , universalisme abstrak yang melulu formal tidak pernah cukup untuk mengubah keadaan. Alih-alih membongkar dominasi, universalisme formal malah menutupi dan mengabsahkannya dengan memberi penampakan tak berpihak dan universal bagi sebuah ketimpangan (Bourdieu 2002: 70). Misalnya, diklaim secara formal bahwa siapapun berhak mengikuti pendidikan di sekolah dan akan dievaluasi secara adil dan merata. Dalam kenyataannya tidak semua orang bisa sekolah. Ada kondisi tertentu yang harus dipenuhi, dan ada modal tertentu yang harus diinvestasikan, tak hanya modal ekonomi, tapi juga modal budaya, modal bahasa, dan modal simbolik. Begitu pula, evaluasi dalam sekolah pada kenyataannya tidak setara. Namun ketimpangan yang semena ini ditutupi

Upaya untuk menguniversalkan kondisi-kondisi yang memungkinkan akses terhadap universalitas ini sudah tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Bukan hanya karena kelembaman struktur sosial, tetapi lebih-lebih karena struktur itu mengakar kokoh dalam habitus manusia. Untuk itu, upaya lain yang sifatnya lebih simbolik juga perlu dilakukan.

Keempat , menggunakan ilmu-ilmu sosial untuk mengungkap struktur dunia sosial dan mekanisme dominasi simbolik yang terkandung di dalamnya serta menyebarkan kesadaran kritis ini pada publik seluas mungkin. Membuat orang menyadari berbagai mekanisme yang membuat hidupnya menderita memang tidak serta merta mengubah keadaan menjadi lebih baik. Namun tiap pengungkapan memiliki setidaknya dua efek yang tak bisa diabaikan: pertama, “memungkinkan mereka yang menderita mengetahui bahwa penderitaan mereka bisa dihubungkan dengan sebab-sebab sosial dan dengan demikian mereka merasa terbebas dari rasa bersalah”; dan kedua, membuka kedok asal-usul “ketidak- bahagiaan dalam semua bentuknya, termasuk yang paling dalam dan paling rahasia” dan membuatnya diketahui publik (Bourdieu dalam Webb dkk. 2002: 56). Dalam sebuah wawancara, Bourdieu mengungkapkan harapannya tentang peran kaum intelektual

“ Saya mendambakan agar para penulis, seniman, filsuf, dan ilmuwan mampu membuat suara mereka terdengar secara langsung di semua wilayah publik di mana mereka berkompeten. Saya rasa semua orang akan mendapat banyak keuntungan jika logika kehidupan intelektual, yaitu logika argumen dan bantahan, diperluas ke dalam kehidupan publik. Sementara ini, yang sering terjadi logika kehidupan politik, yaitu logika celaan dan fitnah, ‘sloganisasi’ dan penyalahan pikiran lawan, yang merasuk ke dalam kehidupan intelektual (Bourdieu 1998: 9, cetak miring ditambahkan).