Tafsir Tematis dan Metodologi Kontemporer

b. Tafsir Tematis dan Metodologi Kontemporer

Agak sulit untuk menentukan secara pasti siapa yang pertama kali merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis. 116

El-Thâhir El-Maisâwi menyebut nama Fakhruddîn al-Râzî sebagai salah satu yang

paling awal. 118 Sonia Wafiq menyebut al-Syâtibî. Belakangan, konsep tersebut

dikembangkan secara elaboratif misalnya oleh, Burhân al-Dîn al-Biqâ‘î (w. 885 H.) dalam dua karyanya: “Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyy wa al-Suwar” dan

“Mashâ‘id al-Nazhar li al-Isyrâf ‘alâ Maqâshid al-Suwar”; 119 Sayyid Quthb (w.

1966) dalam Fî Zilâl al-Qur`ân; 121 serta banyak pemikir modern lainnya.

115 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama, 1992).

116 Tafsir mawdû‘î bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat tentang tema yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-Qur`an. Lihat Shalâh

‘Abd al-Fattah al-Khâlidî, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa al-Tatbîq, hal. 52-59. 117 Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdû‘i”, hal. 128-129.

118 Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf, hal. 654. Selain dua nama tersebut,

ada pula yang menyebut nama al-Fayruzabâdî (w. 817 H.) dengan karyanya, Bashâ`ir Dzawî al- Tamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz. Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, Ahdâf Kulli Sûrah wa Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3, 1986), vol. 1, hal. 4.

119 Tentang kitab Nadzm al-Durar, ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî berkomentar, “…di dalam kitab tafsir tersebut, [al-Biqâ‘î] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara ayat-ayat

dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang [bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain”. Lihat al- al- Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn (Jedah: Dâr al-Basyîr, 2002), hal. 450.

120 Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal. 26 dan Issa J. Boullata, “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’ân”, dalam Issa J. Boullata

[ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’ân (Surrey: Curzon Press, 2000), hal. 354- 371.

121 Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf ‘Alî Tsanâwi, Hamid al- Dîn al-Farâhî, serta Amîn Ahsan Islâhî di India dan Pakistan; ‘Izzat Darwazah dan Sayyid Qutb di

Mesir; serta Muhammad Husayn al-Thabathabâ`î di Iran. Lihat Mustansir Mir, “The sûra as unity: A twentieth century development in Qur’ân exegesis”, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’ân (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 211-224.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak antara pendekatan yang digunakan oleh Mufassir klasik dengan para mufassir modern dalam memperlakukan surah al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis?

Beragam definisi tafsir mawdhû‘î yang dikemukakan oleh banyak ulama dan penulis. 122 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Thâhir El-

Misâwi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan Mawdhû‘î dalam tafsir. Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi al- Qur`ân. Kedua, gagasan tentang al-Qur`ân sebagai sebuah kesatuan koheren yang

terbentuk dari bagian-bagiannya. 123 Selain itu, meski sebagian besar literatur tafsir

yang menggunakan metode Mawdhû‘î tidak mengemukakan kerangka epistemologis dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional yang bersifat atomistik, yang menafsirkan al-Qur`ân ayat perayat, dianggap tidak lagi

memuaskan. 124 Dalam hal ini Ibnu ‘Âsyûr termasuk dalam kategori diatas, beberapa buku

tafsir yang sering dijadikan rujukan dan studi kritisnya diantaranya tafsir al-Kasyâf karya Zamakhsari, al-Muharrar al-Wajîz karya Ibn ‘Atiyyah, Mafâtih al-ghaib karya

Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mahmûd Syaltût pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, hal. 113.

122 Salah satu definisi tafsir mawdhu‘î yang diajukan oleh Mushtafâ Muslim adalah “Sebuah ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-Maqâshid al-Qur`âniyyah, baik

yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih.” Lihat Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al- mawdhu‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq mendefinisikannya sebagai “Sebuah metode (manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan untuk memperlihatkan kesesuaian (munâsabah) antara teks-teks al-Qur`an (al-nushûsh al- Qur`âniyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu tercapainya salah satu atau lebih dari maqâshid al-Qur`ân serta (digunakan untuk) menyelesaikan problem-problem nyata (masyâkil wâqi‘iyyah).” Lihat, Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsîr mawdhu‘î wa al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadits al- Syarîf, hal. 653-654.

123 Muhammad El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdhû‘i”, hal. 128-129.

124 El-Misawi, hal. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Khalidî. Lihat Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsîr al- mawdhu‘î bayna al-Nadzariyyah wa al-Tatbîq, hal. 42-

Fakhrudîn al-Râzi, tafsir al-Baidhâwi yang merupakan ringkasan dari tafsir al- Kasyâf , dan Mafâtih al-Ghaib dengan tahqîq yang indah dan tafsir Syihâb al-Alûsi. Demikian pula dengan komentar-komentar at-Thâibi, al-Qazwaini, al-Quthb, dan at- Taftazâni atas tafsir al-Kasyâf, serta komentar al-Khafaji atas tafsir al-Baidhâwî. Di samping tafsir Ibnu Sa’ud, tafsir Qurthûbi, dan yang dari tafsirnya Ibnu ‘Atiyyah at- Tunisi dari penulisan muridnya, al-Ubay. Meskipun sifatnya hanya komentar (ta’lîq), tafsir Ibnu Atiyyah, karena tidak lengkapnya mereka dalam menafsiri semua ayat Al- Qur`ân maka tidak dapat dikatakan sebuah tafsir tersendiri. Berikutnya yang banyak

disoroti adalah tafsir al-Ahkâm karya Al-Imam Muhammad Jarîr at-Thabarî dan kitab Dzurrat at-tanzîl yang diduga karya Imâm Fakhrudîn al-Râzî (544 H) atau kadang

diklaim sebagai milik Râghib al-Asfahâni. 125