Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur

A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur

Dalam kesempatan lain Ibnu Âsyûr menyatakan bahwa terdapat dua karakter mufassir dalam menyikapi tafsir sebelumnya. Pertama; mereka cenderung mengekor (taqlid) pada apa yang didapat dari pendahulunya. Kedua; mereka yang menolak bersikap apriori terhadap tafsir-tafsir yang telah ada sekian abad sebelumnya. Menurut Ibn ‘Âsyûr satu karakter lagi bagi mufassir yang mencoba menjembatani dua karakteristik diatas. Bagi mereka yang masih bertali pada mufassir diatas maka kami akan membersihkan dan menambahkan (melengkapinya), dan hampir tidak pernah kami membuang atau menganulir dari tafsir sebelumnya. Karena lanjut Ibn ‘Âsyûr dengan membuang karya-karya umat yang terpuji berarti telah mengingkari nikmat dan keistimewaan sebelumnya, segala puji bagi Allah Rabbul ‘Âlamin yang telah menunjukkan dan mengukuhkan harapan dan mempermudah jalan kebaikan ini.” 211

Sebagai pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn ‘Âsyûr menulis sebuah mukaddimah yang dibaginya menjadi 10 bagian, antara lain;

210 Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995), hal. 85. lihat Bab II hal 5.

211 Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8

Pengantar Pertama Ibnu ‘Âsyûr (1973 M) berbicara tentang tafsir dan ta’wil, dia menegaskan tafsir merupakan ilmu Islam yang pertama, menurutnya orang pertama yang mengkodifikasi tafsir yaitu ‘Abdul Mâlik ibn Juraij (80-149 H). Banyak dari riwayat Ibnu Juraij diambilkan dari Ibn Abbas walaupun figur sekaliber Ibnu Abbas (sahabat) banyak juga yang mengklaim dengan riwayat-riwayat yang tidak jelas jluntrungnya (israiliyyât), hal saling mengklaim dan melegitimasi tafsir dan ta’wîl kelompok ini sudah terjadi pada Ibnu Abbâs. 212

Perhatian kepada persoalan-persoalan linguistik itu bermuara pada upaya penetapan pola relasi antara teks dan maknanya. Secara umum, relasi tersebut bersifat tekstualis, dalam arti bahwa pemaknaan apa pun terhadap al-Qur`ân tidak boleh

bertentangan dengan teks (al-Qur`ân dan hadits). 213 Pada praktiknya kemudian, prinsip tentang tekstualisme dalam tafsir ini bersinggungan dengan, paling tidak, dua

hal: takwil dan pembatalan teks (ta‘tîl al-nash). 214 Menurut sebagian ulama klasik ta’wil sepadan (makna) dengan tafsir, dimana

ta’wil dianggap sebagai tafsir Al-Qur’ân, sama dengan ta’wîl Al-Qur’ân. 215 Ta'wîl merupakan sisi lain dalam memotret –dan memahami- cakrawala teks al-Qur'ân,

selain ta'wîl terdapat beberapa istilah yang menunjukkan pada pengungkapan makna al-Qur'ân seperti tafsîr, bayân, syarh, dan terjemah. Dari beberapa term tersebut, term

212 Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 10-17 213 Teks al-Qur`ân bahkan ditempatkan di atas bahasa—bukan bahasa yang menjadi kriteria

benar atau tidaknya teks, melainkan teks yang menentukan apakah sebuah kaidah dalam bahasa Arab bisa dianggap benar atau tidak. Lihat G.E. von Grunebaum, “I‘djâz”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Bandingkan dengan al-Suyuti, Al-Itqân, vol. 1, hal. 9.

214 Istilah “ta‘tîl al-nash” berasal dari Yûsuf al-Qardâwî. Lihat al-Qardâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâsid al-Syari‘ah: Bayna al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûs al-Juz`iyyah (Kairo: Dâr al-

Syurûq, 2006), hal. 4. 215 Muhammad ‘Alî Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus

1401 H, hal. 62-63. seperti Mujahid (w.104 H) murid dari Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman al- Qur’ân-, yang berpandangan bahwa mayoritas ulama memahami ta’wil sebagai tafsir al-Qur’ân, namun demikian sebagaian ulama’ mempunyai perspektif berbeda antara tafsir dan ta’wîl terdapat perbedaan yang jelas dikalangan mufassir khalaf (kontemporer) kedua istilah ini. Menurut mereka tafsir mengacu pada arti dhâhir ayat-ayat Al-Qur’ân. Sementara ta’wîl mengacu pada bermacam- macam kemungkinan makna yang dikandung ayat Al-Qur’ân.

yang popular atau mendominasi saat ini adalah term tafsir dibanding dengan term ta'wîl dalam memahami makna al-Qur'ân.

Meskipun istilah yang mendominasi saat ini adalah istilah tafsir, akan tetapi dalam catatan sejarah istilah ta'wîl yang lebih dahulu muncul dari pada istilah tafsir. Rasulullah Saw. pernah mengungkapkan lafadz tersebut ketika mendo'akan Ibn Abbas (w. 68 H) agar Allah Swt. Memberikan pemahaman dalam hal ta'wîl kepada Ibn Abbas (…allâhumma faqqihhu fî ad-dîn wa 'allimhu at-ta'wîl). Pada masa tâbi' at-tâbi'in, istilah ta'wil lebih populer. Di zaman Imam at-Thabari misalnya -pengarang

kitab Jâmi' al-Bayân fi Ta'wil Ayy al-Qur'ân- diterangkan, bahwa lafadz ta'wîl lebih banyak di ulang daripada lafadz tafsir. Ini di buktikan bahwa kata tafsir hanya disebutkan sekali (al-Furqân ayat 33), sedangkan lafadz ta'wîl terulang lebih dari

sepuluh kali. 216 Ta’wîl dengan segala perdebatan mengenai definisi dan pembatasannya

menganut asumsi tentang dua level makna: zhâhir -bâtin, haqîqî-majâzî, qarîb-ba‘îd, muhkam-mutasyâbih, jâzim-muhtamil, atau ma`tsûr-manzûr. 217 Dalam pandangan

ortodoksi Sunni, pembagian dua level makna ini bersifat biner, dalam arti bahwa kategori yang kedua harus merujuk kepada, dan dibatasi oleh, kategori pertama. Lebih jauh lagi, perumusan makna pada kategori kedua harus selalu dilakukan dalam wilayah yang diizinkan oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian, makna bâtin, majâzî, ba‘îd, mutasyâbih, muhtamil, dan manzhûr hanya bisa diterima apabila ia tidak bertentangan dengan makna zhâhir , haqîqî, qarîb, muhkam, jâzim, dan

ma`tsûr serta tidak menyimpang dari aturan-aturan bahasa. 218

216 Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 327. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-

Qaradhâwi, berinteraksi dengan al-Qur`ân, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233. 217 Tentang konotasi takwil dengan dua level makna ini, lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-

Mufassirûn, vol. 1, hal. 13-16 dan Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl wa al-Istinbât wa al-Tadabbur wa al-Mufassir (www.ahlalhadeeth.com), hal. 52-60.

218 Menurut al-Jâbirî, bahkan kelompok Sunni dan Muktazilah sebetulnya sepakat bahwa takwil tidak boleh melanggar batasan-batasan yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Perbedaan di antara kedua

kelompok tersebut sebetulnya terletak hanya dalam penentuan ayat-ayat mutasyâbihât. Lihat al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 59-60. Sementara itu, menurut al-Dzahabî, untuk menerima takwil

Ta’wîl dalam perspektif Ibnu ‘Âsyûr menyerupai pandangan yang pernah diusung pendahulunya seperti al-Zamakhsyari dan ‘Ali Shabuny, , termasuk al- Qaththân, sedangkan al-Tsa’labiy, Ibn A’raby, dan Abû Ubaidah, ketiga terakhir ini mereka mengadopsi pandangan Râghib al-Asfahâny yang menyatakan persamaan antara tafsir dan ta’wîl dalam mukaddimah kitab tafsirnya Tahrîr wa al-Tanwîr, sebagian Ulama berpandangan bahwa tafsir menerangkan makna Zhâhir (tersurat) sedangkan Ta’wîl menjelaskan makna mutasyâbih (tersirat), mereka berpandangan bahwa ta’wîl adalah dengan membalikkan makna lafadz dari makna yang tersurat

kepada makna lain yang tersirat didalamnya sebagai keterangan atas ayat tersebut dalam hal ini Ibnu ‘Âsyur menyatakan sebagai ma’nâ ushûliy. 219

Seperti halnya penafsiran firman Allah ” ﺖﻴﻤﻟا ﻦﻡ ﻲﺤﻟا جﺮﺨی” dengan makna ‘mengeluarkan seekor burung dari telur’ (menetaskan telur) penafsiran seperti inilah yang kemudian disebut tafsir, adapun dengan menafsirkannya ‘mengeluarkan seorang muslim dari lembah kekufuran’ hal ini merupakan ta’wîl , dan masih banyak kemungkinan/ibarat yang lain dalam ta’wîl ini, dikarenakan ta’wîl menyerupai makna awal (tafsir) dan merupakan awal sumber jika dikembalikan kepada tujuan yang dimaksud (ghâyah maqshûdah) dari sebuah lafadh, dan tujuan yang dimaksud dari lafadh ini adalah makna itu sendiri dan makna diatas (ta’wîl) bergantung kepada apa yang dikehendaki oleh Mutakallim (Allah), begitu halnya dengan tafsir, daripadanya

tidak disandarkan kecuali terdapat makna yang rinci (logis) yang tersembunyi. 220

makna batin, para ulama telah menetapkan dua syarat. Pertama, makna batin itu sesuai dengan makna zahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Kedua, ada teks yang dengan tegas mendukung keabsahan makna batin tersebut. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82.

219 Ibnu ‘Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 15-17. 220 Ibnu ‘Âsyur al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 16-17, Lihat perbedaan pandangan Ibn ‘Âsyûr

dengan Al-Syâtibî dalam penafsiran “al-kitâb” dalam penafsirannya terhadap ayat “mâ farratnâ fil- kitâbi min syay’”, dengan tiga kategori prinsipnya Pertama, argumen berdasarkan ayat-ayat al-Qur`ân sendiri, seperti “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu….” (al-Mâ`idah [5]: 3), “…Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitâb…” (al-An‘âm [6]: 38), serta “…Dan Kami turunkan al-kitâb kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu…” (al-Nahl [16]: 89), dalam Al- Syâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10. Al-Syâtibi menyatakan bahwa al-Qur`ân mengandung prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, seluruhnya tanpa terkecuali. Memiliki pengetahuan tentang al-Qur`ân sama seperti memiliki pengetahuan tentang syariat Islam secara general, al-Râzî mendukung prinsip tersebut dengan argumen-argumen yang nyaris sama dengan argumen-argumen al-

Selanjutnya Ta’wîl disinonimkan dengan interpretasi atau memalingkan makna (reklamasi). Yaitu seseorang mufassir memalingkan makna ayat al-Qur’ân dari berbagai kemungkinan makna yang lain. 221 Sebagian Ulama’ menganggap bahwa Ta’wîl sinonim dari tafsir. 222 Pada kesempatan yang lain ta’wil juga disebut sebagai tadbîr (meditasi), taqdîr (kontemplasi), dan tafsir (interpretasi). 223 . ........... adapun terkait dengan hal ini, ditegaskan dalam Al-Qurân bahwa tidak ada yang (mampu) mengetahui Ta’wîl nya kecuali Allah’ beserta “al-Râsikhûn fi al-‘ilm” (QS. 3:7).

Sebuah kutipan dari al-Dzahabî berikut ini memperlihatkan bagaimana dua level makna itu diperlakukan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`ân. Setiap makna bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`ân tidak bisa dibangun kecuali di atasnya adalah termasuk kategori zhâhir . Maka untuk memahami zhâhir al-Qur`ân, tidak diperlukan syarat tambahan selain menaati kaidah-kaidah bahasa Arab. Setiap makna yang ditarik dari al-Qur`ân secara tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sama sekali bukanlah termasuk tafsir al-Qur`ân…Siapa pun yang memiliki pendapat di luar hal itu, maka pendapatnya tidak dapat diterima. Sedangkan [untuk memahami] makna bâtin, pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab saja tidak memadai. [Selain kaidah-kaidah bahasa], dibutuhkan juga cahaya yang diletakkan Allah ke dalam hati manusia agar ia bisa memiliki pandangan yang terbuka serta pemikiran yang jernih. Artinya, tafsir bâthin bukanlah sesuatu yang berada di luar kandungan

lafadz al-Qur`ân….” 224

Akan tetapi orientasi tekstual dalam tafsir itu tidak sama dengan literalisme yang kaku. Ortodoksi Sunni menolak penafsiran yang terlampau literal seperti apa

Syatibî. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Gayb (Beirut: Dâr al-Fikr, cet. 3, 1985), vol. 12, hal. 225-228. Ibn ‘Âsyûr lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa makna pada ayat di atas adalah ketentuan Allah di zaman azali, bukan al-Qur`an. Dia juga menyatakan bahwa pilihannya itu berseberangan dengan pilihan al-Râzî dan al-Syatibi. Lihat Muhammad al-Thâhir ibn ‘Âsyûr, Al- Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), vol. 7, hal. 217. Al-Syâtibî, Al- Muwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10.

221 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 222 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 223 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 224 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82.

yang dilakukan oleh kelompok Zhâhiriyyah. 225 Artinya, memang ada pengakuan terhadap konteks, namun pengakuan tersebut hanya dibatasi pada konteks linguistik

yang tidak melampaui teks, seperti siyâq al-kalâm dan munâsabah, atau konteks historis yang juga didasarkan pada teks, seperti asbâb al-nuzûl. Sedangkan kontekstualisasi yang melampaui teks cenderung tidak diterima kecuali jika ada teks lain, seperti dalam konsep naskh, yang menguatkannya.

Perdebatan tentang teks dan konteksnya itu juga terlihat dalam persoalan ta‘tîl al-nash. Perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya, terutama pada masa modern ini, melahirkan perdebatan mengenai hubungan antara teks al-Qur`ân dengan realitas kehidupan. Pertanyaannya adalah: bagaimana menafsirkan beberapa ayat al- Qur`ân yang terkesan bertolak belakang dengan perkembangan sosial? Beberapa

pemikir muslim modern, seperti Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî 226 di Maroko, Nasr

Hâmid Abû Zayd 228 di Mesir, Mohammed Arkoun di Prancis, dan A. Muqsith Ghazali 229 di Indonesia, berpendapat bahwa lafaz teks bisa dibatalkan berdasarkan

225 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. Bandingkan dengan Yûsûf al-Qaradhâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 45-50. Bahkan R. Brunschvig menyatakan bahwa jika

dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam Islam, Zâhiriyyah berada di “batas terjauh dari ortodoksi” (at the furthest limit of orthodoxy). Lihat Abdel-Majid Turki, “al-Zâhiriyya”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

226 Secara tersirat, al-Jâbirî menekankan perlunya hukum waris yang terdapat dalam al-Qur`an untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terus berubah.

Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirâsat wa Munâqasyat (Beirut: al- Markaz al-Tsaqafî al-‘Arabî, 2001), hal. 54-56.

227 Untuk analisis tentang penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi kaum wanita dalam Islam, termasuk tentang hukum waris, lihat Yusuf Rahman, “The

Hermeneutical Theory of Nasr Hâmid Abû Zayd”, hal. 181-189. 228 Al-Qaradhâwi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 87. Untuk kajian yang lebih

terperinci tentang posisi Arkoun dalam penafsiran ayat-ayat mîrâts, lihat Jilani Ben Touhami Meftah, “Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata al-Mîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsir al-Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hal. 887-894

229 Menurutnya, Maqâshid al-syarî‘ah merupakan sumber hukum pertama dan primer dalam Islam, di atas al-Qur`ân dan hadits. Dengan demikian, jika teks sebuah ayat dalam al-Qur`an

bertentangan dengan maqâshid, maka yang harus didahulukan dan diberi prioritas adalah maqâshid, bukan teks. Jika prinsip ini diterapkan dalam tafsir al-Qur`an, maka kontradiksi-kontradiksi antar ayat akan dengan mudah diatasi tanpa harus memaksakan interpretasi yang sewenang-wenang. Lihat A. Muqsith Ghazali, “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005.

maslahat tertentu. Sebagai rujukan, salah satu ulama masa lalu yang sering dikutip mendukung pendapat tersebut adalah Najm al-Dîn al-Tûfi, seorang juris abad 7-8

Hijriah yang bermazhab Hanbali. 230

Dengan sruktur Rigiditas yang dibangun di atas prinsip sentralitas teks al- Qur`ân, tentu saja pandangan tentang keabsahan pembatalan teks al-Qur`ân demi

sesuatu di luarnya itu ditolak keras oleh para ulama ortodoks. 231 Teks hanya bisa dibatalkan (di-naskh) oleh teks yang lain, baik berupa ayat al-Qur`ân yang lain

maupun hadits Nabi, bukan oleh sesuatu di luarnya dan bukan pula oleh maslahat yang tidak memiliki landasan tekstual. Dalam pengantar Kedua Ibnu ‘Âsyûr memaparkan tentang istimdâd (perangkat pengetahuan sebagai alat bantu) penafsiran yang sudah ada sebelum ilmu itu ada. Seperti ilmu gramatikal, linguistik arab, ushûl al-fiqh, ilmu kalam, ilmu ma’ânî dan bayân, ilmu badî, peran (majâz), dan syair-syair arab untuk mengenalkan beberapa kosakata al-Qur`ân, al-Qirâ’ât, akhbâr al-‘arab, Ibn ‘Âsyûr juga menggunakan pendekatan salaf (atsar) yang mementingkan sisi nukilan.

Selengkapnya lihat kembali pada bab 2 tesis ini. 232 Pada pengantar Ketiga Ibnu ‘Âsyûr menerangkan tentang keabsahan tafsir

tanpa nukilan (ma’tsûr) dan makna tafsir berdasarkan nalar (bi ar-ra’yi). Ibnu ‘Âsyûr menghindari penafsiran dengan akal yang pernah dilarang langsung oleh Nabi Muhammad Shallawwahu ‘alaih wasallam, Abu Bakar r.a pernah juga melarang mereka-reka makna al-Qur`ân. Namun disisi lain dia membolehkannya, dengan dasar bahwa; ﻪﺒﺋﺎﺠﻋ يﺪﻘﻨﺗﻻ نﺁﺮﻘﻟا نإ bahwa keajaiban Al-Qur’ân tidak akan pernah habis untuk dikaji sampai hari akhir (kiamat), dan tafsir dalam hal ini juga mempunyai

230 Najm al-Dîn al-Thûfî lahir pada tahun 675 H. di Tûfah, sebuah desa yang tidak jauh dari Baghdad, dan meninggal dunia di Hebron pada tahun 716 H.. Karyanya yang kontroversial tentang

maslahah adalah Kitab al-Ta‘yîn fiî Syarh al-Arba‘în, atau juga dikenal dengan Risâlah al-Imam al- Tûfî fî Taqdîm al-Maslahah fî al-Mu‘âmalat ‘ala al-Nash. Lihat W.P. Heinrichs, “al-Thûfî”, dalam

C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. 231 Al-Qaradhâwî menyebutnya sebagai Ta‘tîl al-nash bi ism al-mashâlih wa al-maqâshid. Lihat

al-Qaradhâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 85. 232 Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîrhal. 18-27.

peranan dalam menyingkap kandungan-kandungan makna didalamnya seiring dengan berkembangnya metode-metode penafsiran al-Qur’ân. 233

Dalam hal ini Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr memaparkan ungkapan Imam al-Ghazâli dan Al-Qurthûbi yang menyatakan ketidaktepatan dengan mengatakan dari setiap apa yang diutarakan Sahabat dalam tafsir kesemuanya bersumber dari pendengaran langsung atas ungkapan Nabi Muhammad saw. dengan dua alasan; pertama; Nabi Muhammad saw. belum pernah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’ân kecuali hanya sedikit seperti yang disinyalir dari hadits ‘Aisyah yang menyatakan;

ﱠﻦهﺎﱠیإ ﻞْیِﺮْﺒِﺝ ُﻪﻤّﻠﻋ تاَدْوُﺪﻌﻡ تﺎَیﺁ ﺎّﻟإ ﷲا بﺎﺘآ ْﻦِﻡ ﺮﱢﺴﻔی ﷲا لﻮُﺱر َنﺎآﺎَﻡ;Yang dimaksud oleh

Ibnu ‘Âsyûr dengan gagasan yang tercela yaitu ketika bersifat betikan ide (khâtir) tanpa dilandasi oleh argumen gramatikal dan linguistik arab yang valid, atau hanya bersifat kecenderungan madzhab saja. Kedua; mereka berbeda pandangan dan pendapat dalam tafsir dalam pelbagai/banyak hal, yang tidak mungkin untuk disatupadukan antar (keduanya). Ibnu ‘Âsyûr mempertegas bahwa tafsir tidak hanya beroperasi pada nukilan (ma’tsûr), hal tersebut akan mempersempit makna dan sumber penafsiran Al-Qur`ân. Sebab nukilan dari sahabat juga tidak banyak

melainkan hanya (sedikit). 234 Lain halnya dengan pandangan al-Dzahabi Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk mendukung

keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir menginterpretasi al-Qur`ân hanya memperhatikan lafaznya tanpa memperhatikan

konteks [kronologis] untuk menyingkap makna leksikal. 235 Selanjutnya, Ibn ‘Âsyûr mengadopsi pandangan Syarifuddîn ath-Thiby dalam

syarh al-Kasyâf kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai makna tafsir berdasarkan nalar (bi al-ra’yi). Dikatakan bahwa pra syarat penafsiran yang shahîh diantaranya; bahwa penafsiran hendaknya sesuai redaksi lafadz dengan tidak

233 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 28 234 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 29-37 235 Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19.

membebani lafadz / bebas dari pembebanan (makna lafadz), serta hendaknya penafsiran tidak berkecenderungan condong terhadap salah satu pandangan/madzhab (partikular) namun harus bersifat general, dan bagi Fakhrudin al-Râzi (shâhib al- Kasysyâf) mereka yang tidak sependapat dengan pandangan diatas termasuk dalam

golongan yang menyimpang /bida’at-tafâsîr. 236 Setidaknya terdapat lima jawaban, mengenai syubhat tentang kekhawatiran

atas penafsiran berlandaskan nalar perspektif Ibn ‘Âsyûr diantaranya; pertama; yang dimaksud dengan nalar tersebut hanya sebuah ide yang terbersit (khâtir) tanpa

landasan dari ketentuan hukum-hukum syari’at dan tujuannya (maqâshid al- Syari’ah), kedua; nalar/ide tersebut tidak melihat kesinambungan makna antar ayt yang satu dengan yang lain, ketiga ide/nalar tersebut berkecenderungan pada satu kelompok/madzhab yang mengakibatkan ta’wil dengan nalar yang tidak terkait dengan makna ayat tersurat. keempat; yaitu penafsiran ayat dengan nalar yang berlandaskan redaksi lafadz kemudian mengklaimnya bahwa hasil penafsirannya tersebut tepat tanpa menghiraukan (penafsiran/makna) yang lain dan hal ini sama saja dengan mereduksi ruang dari penta’wil al-Qur’ân itu sendiri, kelima; tujuan dari penalaran tafsirnya (bi al-ra’yi) menafikan kekhawatiran dan kehati-hatian dalam menelaah dan mena’wilkan terkesan dipaksakan (tergesa-gesa), disnilah kelengahan

subyektifitas Ulama’ terkait dengan hal ini. 237 Pada pengantar Keempat Ibn Âsyûr menjelaskan bahwa penafsir harus

mengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan (baik level individu maupun sosial). 238 Diantaranya: pertama, reformasi keyakinan; kedua reformasi etika; ketiga,

reformasi legislasi hukum; dan keempat, reformasi politik penyelenggaraan umat. Kemudian dia memaparkan bahwa diantara mufasir ada yang membatasi diri pada hal yang lahiriah saja dari teks, sebagian yang lain mencari kesimpulan dari apa yang berada dibalik teks yang lahiriah itu. Hal inilah yang memungkinkan para pendahulu

236 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 30. 237 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 31-37, lihat selengkapnya pada bab 2. lihat juga

Abdul Qâdir Muhammad Shâlih, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘ashr al-Hadîts, hal. 110-119.

238 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 38.

kita untuk membuat detil-detil hukum. Ibnu ‘Âsyûr juga menerangkan tentang hubungan antara Al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan. Pada pengantar keempat secara khusus ditulisnya untuk mengkaji tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan al-

Qur`ân (fîmâ yahiqqu an yakûna garadh al-mufassir). 239 Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa ada hikmah-hikmah tertentu di balik pilihan

Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Namun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti, tulisnya; Bahwa hukum-hukum syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau bahwa ia

ditetapkan demi kepentingan-kepentingan mereka belaka. Kenyataan bahwa syariat bersifat umum dan abadi, serta bahwa al-Qur`ân adalah mukjizat yang berlaku terus-

menerus sepanjang masa, menolak [kebenaran anggapan] itu.” 240 Ibn ‘Âsyûr kemudian merumuskan delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-

ashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`ân, yaitu pertama; memperbaiki dan mengajarkan akidah; kedua; mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam; pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman; ketujuh; al-targhîb wa al-tarhîb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah

Nabi Muhammad saw. 241 Dengan demikian maka tujuan seorang mufassir adalah; dengan menjelaskan

apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang

239 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39. 240 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39 241 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 40-41 239 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39. 240 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39 241 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 40-41

Tentang tafsir saintifik atau tafsir yang menghimpun persoalan-persoalan keilmuan dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan tujuan-tujuan al-Qur`ân, menurut Ibn ‘Âsyûr, adalah salah satu dari tiga cara dalam melakukan tafsir atas al-

Qur`ân. 243 Ibn ‘Âsyûr mengakui bahwa al-Syâtibî termasuk salah satu penentang paling

keras dari tafsir semacam ini, dan bahwa seluruh argumen al-Syâtibî berpusat pada satu prinsip: status al-Qur`ân sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada bangsa yang ummî sehingga pemaknaan apa pun terhadapnya tidak boleh keluar dari batas-

batas ke-ummi-an itu. 244 Pandangan diatas oleh Ibn ‘Âsyûr dikritisi dengan mengatakan bahwa;

“prinsip ini lemah karena enam alasan. Pertama, ia didasarkan pada anggapan bahwa al-Qur`ân tidak bermaksud melakukan transformasi bangsa Arab dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Anggapan ini batal berdasarkan apa yang telah kami kemukakan pada bagian sebelumnya. Allah sendiri berfirman, “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau

mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini….” (Hûd [11]: 49). 245 Kedua, Maqâshid al-Qur`ân merujuk kepada [prinsip] keumuman dakwah

serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti

242 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 40-43 243 Dua cara lainnya adalah, pertama, penafsiran yang membatasi diri pada makna-makna dasar

(al-Dzâhir min al-ma‘nâ al-ashlî) dan, kedua, penafsiran yang menguraikan persoalan-persoalan hukum, akhlak, teologi, dan sebagainya. Lihat Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42.

244 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44. 245 Redaksi ayatnya;

sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ È≅ö6s% ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï!$t7/Ρr& ôÏΒ šù=Ï? ∩⊆∪ šÉ)−Fßϑù=Ï9 sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ È≅ö6s% ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï!$t7/Ρr& ôÏΒ šù=Ï? ∩⊆∪ šÉ)−Fßϑù=Ï9

Ketiga, ketika generasi terdahulu (salaf) menyatakan bahwa keajaiban- keajaiban al-Qur`ân tidak ada habis-habisnya (al-Qur`ân lâ tanqadî ‘ajâ`ibuhû), maka yang mereka maksud adalah makna-maknanya. Jika pendapat al-Syâtibî benar, maka keajaiban al-Qur`ân akan berakhir karena jenis-jenis maknanya juga terbatas. Keempat, salah satu mukjizat al-Qur`ân adalah bahwa ia, dengan lafadznya yang singkat (ma‘a îjâz lafdzihî), mampu memuat makna-makna yang tidak mampu

dicakup oleh sangat banyak buku. Kelima, kadar pemahaman orang-orang [Arab] yang menjadi objek pertama dari khitâb al-Qur`ân memang hanya terbatas pada makna-makna dasarnya. [Tetapi] di luar makna-makna dasar tersebut, terdapat makna-makna lain yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu dan tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang lain. Keenam, tentang anggapan bahwa generasi salaf sama sekali tidak membicarakan hal-hal [di luar batas-batas ke-ummî-an] itu; jika [yang dimaksud dengan hal tersebut adalah] apa pun yang tidak merujuk kepada Maqâshid al-Qur`ân, maka kami sepakat dengan al-Syâtibî. Tetapi, menyangkut hal- hal yang merujuk kepada Maqâshid al-Qur`ân, kami tidak sepakat bahwa generasi salaf itu hanya berhenti pada makna-makna zhâhir ayat al-Qur`ân. 247

Mereka justru memberikan penjelasan, perincian, dan penjabaran tentang ilmu-ilmu yang mereka geluti. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikuti jejak mereka dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang bertujuan untuk mengabdi pada Maqâshid al-Qur`ân atau untuk menunjukkan luasnya ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulûm al-Islâmiyyah). Apa yang berada di luar tujuan tersebut, jika digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`ân, maka ia pun termasuk tafsir (tâbi‘ li al-tafsîr) dengan alasan bahwa ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah) mengkaji hal-ihwal sesuatu sebagaimana adanya (‘alâ mâ hiya ‘alayhi). Sedangkan sesuatu yang melebihi hal itu

246 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.

247 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.

[yakni yang tidak digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`ân] tidak dapat dianggap sebagai tafsir, namun ia [bisa menjadi] pelengkap bagi pembahasan- pembahasan akademis serta menjadi pembelokan (istithrâd) ilmu pengetahuan demi kepentingan-kepentingan tafsir dengan tujuan agar sumber-sumber pengambilan (muta‘âtâ) tafsir menjadi lebih luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan.” 248

Kemudian dalam pengantar Kelima, Ibn ‘Âsyûr mengkhususkan berbicara soal konteks turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ulama’ ushul yang mengatakan; " ﺏ ﺒﺴﻟ ﺍ ﺹ ﻭﺼﺨﺒﻻ ﻅﻔ ﻠ ﻟ ﺍ ﻡ ﻭﻤﻌﺒ ﺓﺭﺒﻌﻟ ﺍ " dinsinyalir bahwa tidak semua ayat-ayat Al

Qur’ân memiliki kronologi sebab-sebab turunnya ayat, hal ini perlu ditekankan karena seringkali membuat ragu serta praduga-praduga bahwa Al Qur’ân diturunkan dengan sebab-sebab tertentu, walaupun dimaklumi sebagiannya diketahui melalui proses kronologi sebab-sebab turunnya ayat (tsabatat binnaql), yang kemudian dapat membantu penafsiran dalam memahami pesan-pesan moral Al Qur’ân melalui pintu masuk kronologi tersebut, dari sinilah Ibn ‘Âsyûr mulai mengkritik para Mufassir sebelumnya yang gandrung (berlebihan) dengan konteks turunnya ayat. Dia mengibaratkan bagai mengulur tali kepada orang orang yang tak dikenal, maka akan berakibat fatal. Hal ini disebabkan mereka (mufassir) tidak memilah mana diantara riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran kronologis turunnya ayat lemah atau kuat, kategori Perawinya dapat dipercaya atau tidak, sampai pada taraf inilah Ibn Âsyûr

menjadikan pertimbangan untuk menfokuskan perhatiannya pada asbâb nuzûl ini. 249

248 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. coba bandingkan pandangan ini dengan gagasan yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridhâ yang mengatakan bahwa tidak masuk akal

seorang Nabi yang Ummi yang kita kenal sejarah hidupnya, mampu dengan akalnya atau bisikan hatinya untuk membuat prinsip-prinsip ilmiah itu, yang mana melampaui seua jenis kitab, baik kitab- kitab samawi sebelumnya maupun buku-buku karya ilmiah dizaman yang paling maju/global (teknologi), filsafat dan perundang undangan, sekalipun. Yang masuk akal adalah hal tersebut merupakan wahyu dari Allah yang dilimpahkan kepada Nabi terakhir, sehingga tidak dibutuhkan lagi wahyu sesudahnya. Lihat Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.

249 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 46-.47

Al-Syâtibî (W.1388 M) 250 mengatakan dalam kitabnya al-Muwâfaqât bahwa mengetahui asbâb al-nûzûl (historical context) adalah wajib bagi orang yang ingin

mengetahui makna Al-Qur’ân. 251 Artinya mengetahui sebab berarti mengetahui muqtadâ al-hâl. 252 Sedangkan mengabaikan asbâb al-nûzûl, akan berimplikasi pada

pemaknaan subyektif dan keluar dari apa yang menjadi pesan dan maksud ayat-ayat al-Qur’ân. 253 Oleh karena itu, adalah sangat penting harus bagi orang yang ingin

menyelami ilmu al-Qur’ân untuk mengetahui adat kebiasaan -secara makro- masyarakat Arab; baik itu kebiasaan dalam gaya bicara maupun aktifitas, dan

mengetahui situasi-kondisi sosial kemasyarakatan saat wahyu diturunkan, walaupun di sana tidak ada sebab khusus yang mengiringi turunnya wahyu tersebut. Jika hal ini

diabaikan, tentu hal yang sulit dihindari adalah hasil penafsiran yang rancu. 254

Dalam hal ini Syahrûr mengcounter pandangan al-Syâtibi, dalam buku pertamanya; al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âshirah ia sampai pada sebuah

kesimpulan bahwa asbâb al-nûzûl tidak berlaku bagi al-Qur’ân, 255 namun, ia hanya berlaku pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dan tafsîl al-kitâb (ayat-ayat

muhkamât dan mutasyâbihât). 256

250 Ia adalah Abû Ishâq Ibrahîm b. Mûsa b. Muhammad al-Lakhmi al-Garnati Al-Syâtibî. Lihat lebih lanjut Khayr al-Din al-Zirikli, Al-A‘lâm: Qâmûs Târâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-

‘Arâb wa al-Musta‘ribîn wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Târâjim Musânnifi al- Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118.

251 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fî ushûl al-Syarî’ah, juz III, jil, II, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah: tth), hal. 258. Ulama-ulama lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan terhadap Asbâb

al-nûzûl dalam penafsiran al-Qur’ân - dengan gaya bahasa yang mirip dan bahkan sama- bisa ditemukan dalam buku-buku ulûm al-Qur’ân, yang mana tidak terlepas dari pendapat al Wâhidi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Daqîq al ‘Aid.

252 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258. 253 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 261. 254 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258.. 255 Istilah “Al-Qur’ân” dalam pandangan Syahrûr tidak sama dengan yang umumnya dipahami

kebanyakan orang. Menurutnya al-Qur’ân adalah kalam Allah yang diturunkan satu kali waktu dengan bentuk bahasa Arab pada bulan Ramadlan, sesuai dengan ayat al-Qur’ân al Baqarah: 185 dan al Qadr:

1. Lihat Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât al-Matbû’at: 2000) hal. 93. Sementara itu ayat-ayat yang turun secara gradual selama 22 tahun lebih, oleh Syahrûr disebut sebagai Tanzîl al-hakîm.

256 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât al-Matbû’at: 2000) hal. 93.

Nashr Hamid Abû Zaid menilai bahwa bagi Syahrur; al-Qur’ân adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah seorang penerima, dia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan. Perannya hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama, atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al-Qur’ân lainnya. Teks ilahi yang independen secara mutlak semacam ini menentukan aturan

penafsirannya hanya didasarkan pada struktur linguistik. 257 Dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam bukunya yang keempat; Nahw

Usul Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, Syahrûr, sebagaimana juga gurunya, mengajak kepada umat Islam untuk menjauhkan asbâb al-nûzûl dari ilmu-ilmu al-Qur’ân. 258

Dia juga menganggap bahwa konsep asbâb al-nûzûl dan naskh merupakan cacat terbesar dalam ulûm al-qur’ân, sebagaimana ilmu tajwîd dan ilmu qirâ'at. 259

Ia berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl, yang jadi pegangan itu, sebenarnya hanyalah menjelaskan sejarah bentuk penafsiran atau pemahaman pada abad ketujuh dan proses interaksi manusia dengan ayat-ayat al-Qur’ân pada saat itu. Sedangkan saat ini, pemahaman atau penafsiran itu sudah tidak diperlukan lagi, karena makna al- Qur’ân itu eksis pada dirinya sendiri (kainûnah), sehingga ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah (sairûrah). Sementara asbâb al-nûzûl, sebagaimana telah diketahui, terkait erat dengan ruang, waktu dan personal saat itu (terkait proses perjalanan sejarah). Jika berpegang teguh kepada asbâb al-nûzûl dalam memahami Tanzîl al-Hakîm (al-Qur’ân), maka akan menghasilkan suatu pandangan adanya hubungan antara ayat dan sebabnya, sebagai hubungan antara peristiwa sebagai akibat (al-ma’lûl) dan penyebabnya (al-‘illah). Maka, ketika alasan dan sebab ini hilang, maka ayat dan hukum yang ada di dalamnya berubah menjadi ayat yang harus

257 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz al- Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994).

258 Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal.93-94. 259 Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230.

dipahami secara histories-temporal belaka, sehingga al-Qur’ân tidak lagi Shâlih likulli zamân wa makân. 260

Disamping mengabaikan Asbâb al-Nuzûl dalam pembacaan al-Qur’ân, Syahrur juga mengritik asbâb al-nûzûl yang biasa dijadikan pegangan oleh umumnya sarjana muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân. Keseriusannya itu, ia wujudkan dalam sub bab khusus yang berisi tentang bukti-bukti kelemahan dan ketidaklayakan asbâb al-nûzûl dimasukkan sebagai bagian dari ulûmul qur’ân. Bukti-bukti itu antara lain; a) adanya doktrin keadilan sahabat yang ditanamkan dalam jiwa umat Islam, dan 2)

adanya fanatisme madzhab dan golongan dalam transmisi periwayatan. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang disajikan dalam kitab asbâb al-nûzûl karya al- Wâhidi dan al-Suyûti. Lebih-lebih karya al-Suyûti merupakan pelengkap kitab karya

al-Wâhidi. 261 Pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang asbâb al-nuzûl ini ia mengadopsi pandangan

Ulama’Ushûl yang menyatakan " ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ ﻻ ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ةﺮﺒﻌﻟا " , begitu juga ia mengadopsi pandangan al-Wâhidî yang menyatakan bahwa tidak diperkenankan perkataan (penjelasan) mengenai asbâb nuzûl Al-Qur’ân kecuali dengan riwayat (shahih) dan pendengaran langsung dari mereka yang meyaksikan langsung turunnya

(ayat-ayat) Al-Qur’ân.” 262 Ibn ‘Âsyûr memetakan keshahihan sanad riwâyat yang dapat dipakai dalam

menggunakan Asbâb nuzûl menjadi lima bagian: Pertama: bahwasannya maksud dari sebuah ayat bergantung pada pemahaman tujuan/sasaran yang hendak dicapai dan mengetahuinya sesuai pengetahuan ilmu asbâb nuzûl adalah wajib bagi setiap

260 Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230. Bandingkan dengan pandangan ‘Âbid al-Jâbiri dalam Takwîn ‘Aql al-Arabi, ia menegaskan bahwa jika al-Qur’an

dikaji dengan kacamata metodologi ilmiah modern, maka harus meposisikannya sebagaimana teks-teks lainnya. Namun lanjutnya, ia lebih menekankan pada pembacaan atas asbâb al-Nuzûl dan mencari makna ideal sebuah teks “Maqâshid al-Syarî’ah”, karena kedua istilah disamping menekankan pada pembacaan sekitar teks dan motif-motif dari sebuah teks, bukan makna literal teks, tetapi apa yang menjadi tujuan dari teks yang sebenarnya. Kedua istilah ini terkait erat dengan konsep asl dan far’ dalam bahasa yang kemudian metodologinya diaplikasikan al-Jâbiri dalam menafsirkan al-Qur’ân. Lihat Takwîn ‘Aql al-‘Arabi ( Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), hal. 123.

261 Al-Suyûthi, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nûzûl, (Beirut: Dar Ihya’ al ‘Ulum; tth), hal. 13. 262 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 46-48.

mufassir. Seperti penafsiran ayat-ayat yang mubhamât (samar-samar kejelasannya) dibawah ini;

" ﺎﻥﺮﻈﻥا اﻮﻟﻮﻗو ﺎﻨﻋار اﻮﻟﻮﻘﺗﻻ اﻮﻨﻡﺁ ﻦیﺬﻟا ﺎﻬیﺄی "" ﺎﻬﺝوز ﻲﻓ ﻚﻟدﺎﺠﺗ ﻲﺘﻟا لﻮﻗ ﷲا ﻊﻤﺱ ﺪﻗ " dengan redaksi ayat yang didalamnya terdapat “ سﺎﻨﻟا ﻦﻡو “. Kedua, kejadian-kejadian yang menyebabkan diberlakukannya hukum-hukum syari’ah dan bentuk-bentuk kejadian tersebut tidak menunjukkan globalitas pesan ayat yang kontradiktif dengan keterangan ayat baik dalam kekhususanayat, keumuman dan keterikatan (muqayyad) sebuah ayat, sinkronisasi keterangan sebuah

ayat dengan prosesi sebab-sebab turunnya ayat. Ketiga, kejadian-kejadian yang banyak dicontohkan dalam Al-Qur’ân akan tetapi dikhususkan/diperuntukkan pada individu/personal yang dikemudian diterangkan dasar-dasar hukumnya dan balasan bagi mereka yang melanggarnya. Keempat, kejadian-kejadian yang diperbincangkan dalam Al-Qur’ân yang bertautan dengan ayat sebelum dan sesudahnya menggambarkan apa yang telah terjadi pada zaman dahulu para salaf yang maksud ayat tidak lain adalah kejadian-kejadian para salaf tersebut. Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr merujuk pada al-Itqân karya Jalâluddîn al-Suyûthi keterangan didalamnya terdapat banyak contoh tentang hal diatas. Kelima, penjelasan tentang perihal yang global,

dengan menerangkan yang mutasyâbihat. 263 W. Montgomery Watt berpandangan bahwa kitab al-Wâhidi memiliki banyak

cacat, tidak lengkap dan tidak konsisten 264 . Bahkan hanya memuat riwayat-riwayat yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang tanggal kejadiannya tidak diketahui.

Agaknya Watt dalam hal ini mengadopsi pandangan al-Suyûti. 265 Demikian juga dengan Kenner dalam penelitiannya ia menulis tentang tafsir;

bahwa Tuhan menurunkan wahyu dalam konteks yang tidak hampa dari sejarah

263 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. hal. 47-50. 264 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana

(Jakarta: INIS, 1998), hal. 95. 265 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, hal. 95.

manusia, dan interpretasi. Interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan unsur kesejarahan yang berlaku di saat itu. 266

Belakangan Izzat Darwaza mengelaborasi pandangan pendahulunya dengan menyatakan Al-Qur’ân dan seluruh bagiannya (surat, ayat, dan juz) merupakan satu rangkaian yang sistematis, stilistik,dan kronologis. Makna yang benar, baik temporal maupun siruasional, hukum khusus dan umum menurutnya tidak akan dapat dicapai secara baik/sempurna tanpa mempertimbangkan konteks al-Qur’ân. Dengan melepaskan konteks ayat akan mendistorsi yang bukan hanya makna bahkan tujuan

(maqâshid) al-Qur’ân. Disisi lain ia menjelaskan bahwa terkadang rasionalisasi terhadap pewahyuan ayat-ayat tertentu tidak seirama dengan konteksnya. Kepada pembaca ia memperingatkan untuk tidak menerima riwayat secara sembrono. Karena jika asbâb nuzûl itu benar, boleh jadi ada rujukan pada peristiwa yang terjadi sebelum ayat turun. Dan itu tidak berarti bahwa peristiwa tertentu merupakan satu-satunya

sebab turunnya ayat. 267 Oleh karena itu wahyu tidak saja memiliki transendental yang bersifat abadi

dan melampaui peristiwa-peristiwa, tetapi juga mengandung nilai-nilai transhistoris, artinya wahyu diturunkan oleh Tuhan dalam sejarah, karena itu wahyu Tuhan adalah

respon yang konkrit terhadap sejarah, terhadap kurun waktu tertentu. 268 Pengantar Keenam, Ibnu ‘Âsyûr berbicara panjang soal aneka ragam bacaan

(al-qirâ’at), diterangkan bahwa soal perbedaan ini mengandung dua implikasi. Pertama, bacaan yang tidak terkait dengan pemaknaan Al-Qur`ân. Kedua, yang terkait dengan pemaknaan dari beberapa sisi. Pada perbedaan pertama seperti perbedaan dalam pembacaan huruf, harakat, kadar mad, pelembutan (takhlif),

266 Kenner Cragg, The Event of The Qur’an; Islam and Its Scipture, (London: George Allen and Unwin; 1971), hal 17.

267 Setelah menyebutkan asbab nuzul Q.S. al-Mâidah [9]:79 dan Fushilat [41]:22. pada bab empat sambil menunjukkan kelemahan Mufassir awal, dengan bersungguh-sungguh Darwaza

menyatakan bahwa banyak riwayat yang sesuai dengan asbâb al-Nuzûl yang diwarnai oleh konflik konvensional dalam masyarakat Muslim, dan karenanya, tidak dapat diterapkan, Lihat ‘Izzat Darwaza, al-Qur’ân al-Majîd (Dâr Gharb al-Islâmi, cet- 2000/1421 H). 217-224. lihat lebih lanjut tulisan Ismail K. Ponawala dalam, Jurnal PSQ (Pusat Studi al-Qur’ân) Vol.1.No.1, Januari 2006 hal. 125-148.

268 Kuntowijoyo, Iman dan Realitas, (Yogyakarta: Shalahuddin Press; 1985), hal 21.

penekanan (jahr), dan lainnya. Kesemuanya itu tidak terkait dengan tafsir, inilah yang menjadi anutan pendahulu, diantaranya Abu Ali al-Farisi, penulis “al-Hujjah fi al-

qirâ’at”. 269 Adapun perbedan yang kedua mencakup perbedaan dalam soal membaca

huruf dalam satu kalimat, seperti kalimat “maaliki yaumi ad-din” (dengan bacaan panjang di huruf mim), dan “maliki yaumi ad-din”(pendek diawal) disini Ibnu ‘Âsyûr tidak menegaskan secara gamblang perbedaan tersebut, hanya menekankan bahwa semua itu merupakan keinginan Allah agar tercipta kekayaan makna. Mungkin

juga hal tersebut menambah kelenturan struktur kalimat dalam Al-Qur`ân. Seperti halnya cerita Hisyam Ibn Hakim ibn Huzâm dan Sayyidina Umar dalam Shahîh Bukhâri mendengarkan bacaan Hisyam surat al furqân, selesai shalat keduanya mengadu kepada Rasulullah maka setelah keduanya membacakan ayatnya Rasulullah tidak menyalahkan keduanya kemudian Beliau bersabda;

" ُ ﻪﹾﻨ ِﻤ ﺭّﺴَ ﻴ ﺘﺎﻤ ﺍﻭُ ﺃَ ﺭﹾﻗ ﺎﹶﻓ ٍﻑُ ﺭْﺤَ ﺃ ِﺔﻌْﺒَ ﺴ ﻰﻠ ﻋ لِﺯﹾﻨ ﺃ ﻥﺁﺭﹸﻘ ُ ﻟ ﺍ ﺍﺫﻫ ّﻥِﺇ ،ﹾﺕﹶﻟ ِﺯﹾﻨ ُ ﺃ ﻙﻟ ﺍﺫﻜ ..... “Sesungguhnya Al-Qur`ân itu diturunkan dalam tujuh dialek (sab’at ahruf) dan

bacalah dengan apa yang termudah menurut (lidah) kalian!.” 270

Kemudian pada pengantar Ketujuh, Ibnu ‘Âsyûr memaparkan tentang kisah- kisah dalam Al-Qur`ân. Menurutnya (Maqâshid Qasas Al-Qur’ân) itu semua berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa

269 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 55. 270 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 56. diterangkan juga bahwa redaksi hadits

diatas hanya penulis cantumkan sebagian saja, terdapat dua pendapat tentang hadits ini sebagian memandang hadits ini mansukhan dan sebagian Ulama’ melihatnya muhakkaman mereka yang memandang mansukh dari mayoritas Ulama’ antara lain; Abû Bakar Bâqillâni, Ibn ‘Abd al Barr, Abû Bakar Ibn ‘Araby, al Thabarî dan al Thahâwiy, kemudian Ibn Uyainah dan Ibn Wahab keduanya berpandangan bahwa hal tersebut (qirâ’at) merupakan rukhsah dari Allah untuk bangsa arab pada masa keemasan Islam (shadr Islam), dan dihapusnya dialektika mereka dengan dialek Quraisy, ini jiga didukung pendapat Ibn ‘Arabi pengarang kitab Ahkâm al Qur’ân. Lihat lebih lanjut hal. 57-59.

kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan dan keilmuan Allah diatas segala- galanya. 271

Secara etimologi qisas jamak dari kalimat qissah, menurut pakar bahasa al- ‘azhar al-Qashash (kisah) adalah masdar (kata benda) dari ﺺﻘی - ﺺﻗ yang berati mengisahkan/ sebagai cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya.

Menurut al-Laits al-Qashash berarti mengikuti jejak. 272 Musthafâ Sulaiman memberi pengertian tentang kisah ini dari aspek bahasa

berdasarkan redaksi al-Qur’ân (surah Yusuf 12;3) pada redaksi ayat ‘naqushshu’ disana diartikan dengan kami jelaskan kepadamu dengan sebaik-baik penjelasan, sedang pendefinisiannya adalah suatu kepercayaan atas kebenaran sebuah sejarah

yang jauh dari kebohongan atau khayalan. 273 Demikian juga Sayyid Quthb dalam karyanya Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân,

diterangkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’ân bukanlah karya seni yang terpisah dalam hal subyek, metode penyajian, dan pengaturan-pengaturan kejadiannya, sebagaimana yang terdapat pada kisah seni bebas yang bertujuan menunaikan penyajianseninya tanpa ikatan tujuan. Kisah adalah satu sarana al-Qur’ân diantara sekian banyak sarananya mempunyai berbagai tujuan kekagamaan. Al-Qur’ân adalah kitab dakwah sebelum segala sesuatunya. Dengan demikian kisah merupakan salah satu sarana al-Qur’ân untuk menyampaikan dakwah ini dan mengokohkannya. Kedudukan kisah dalam hal ini sama dengan gambaran-gambaranyang disajikan tentang hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Sama dengan bukti-bukti yang diketengahkannya tentang hari berbangkit, untuk menunjukkan kekuasaan Allah. Juga sama halnya dengan syari’at-syari’at yang dirincinya serta tamtsil-tamsil yang dibuatnya, dengan tema-tema lain yang disebutkan dalam al-Qur’ân. Kisah dalam al- Qur’ân baik temanya, metode penyajiannya, hingga pengaturan-pengaturan

271 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69. 272 Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, hal.345. 273 Musthafâ Muhammad Sulaiman, al-Qishash fî al-Qur’ân al- Karîm, (Qâhirah; Mathba;ah al-

Âmanah, 1994), cet. Ke-1, hal.16 dan 18. bandingkan dengan Muhamed Ahmad Khalafullah alfann al- qashashisy fî al-Qur’ al karîm (Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 147.

kejadiannya tunduk kepada tuntutantujan-tujuan agama, pengaruh dari ketundukan ini terlihat menonjol melalui ciri-ciri tertentu. Meski begitu, ketundukan total kepada tujuan agama ini tidak akan menghalangi keberadaan karateristik seni dalam penyajiannya, terutama keistimewaan al-Qur’an yang terbesar dalam

menyampaikanungkapan, yaitu tashwîr atau gambaran. 274 Dalam karya Mohamed Ahmad Khalafullah yaitu Stories in the holly Qur’ân 275

ditegaskan bahwa; esensi tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah pengarahan dan penjelasan (taujîhât al-dîniyyah) dari risalah kenabian (mâ jâ’a bihî al-Islâm) dari

dasar-dasar aqîdah dan membersihkan dari segala bentuk pengingkaran terhadap pandangan, perkiraan-perkiraan serta pemikiran dan akidah yang melenceng

(bâthilah). 276 Kisah-kisah dalam perspektif Ibn ‘Asyur adalah suatu informasi mengenai

kisah-kisah dalam al-Qur`ân masa lampau (ghâibah) yang terjadi. Kisah-kisah tersebut dijelaskan, bahwasannya ia berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan

dan keilmuan Allah diatas segala-galanya. 277 Tujuan utama (ghardh al-asliy) dari kisah-kisah dalam al-Qur’ân perspektif Ibn

‘Âsyûr antara lain:

274 Sayyid Quthb, Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân terj. keindahan al-Qur’ân yang menakjubkan, (Jakarta, Rabbâni Press), 2004), cet. Ke-1, hal. 275-276.

Lihat karya Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy fî al-Qur’an al-karîm, (Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 149.

276 Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy hal.225 277 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69.

Redaksi ayat-ayat yang menunjukan tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’ân;

al-‘ilm), (surah Hûd; 49) 278 keterangan tentang inilah yang diklaim Ibn ‘Âsyur bahwa mufassir sebelumnya belum menyebut dan menerangkan manfaat dari

kisah-kisah dalam al-Qur’ân.

b. Kemanfaatan yang kedua yaitu etika syari’ah (adab al-syari’ah) adalah pengetahuan tentang sejarah masa lalu (syari’at pada masa Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad) bahwa disebutkannya kisah-kisah mereka sebagai urgensi syariat islam dengan disebutkannya para pelaku syari’at (bidzikri târikh al-

musyarri’în), (surah Ali Imrân 3;146) 279

c. Diantara urgensi dari kisah-kisah al-Qur’ân, adalah kemanmanfaatan atas pengetahuan mengenai hirarki sejarah secara berurutan (tarattub al-musabbabât) sesuai dengan sebab-musabab diturunkannya al-Qur’ân (asbâbihâ), mengenai baik buruk (suatu urusan), penghancuran dan perubahan (pembangunan) melalui proses, sebagai peringatan dan contoh ( untuk ditiru (litaqtadliya al-ummah wa

tahazhzhuri), kemudian ia kutip (surah an-Naml;52) 280

d. Diantara manfaat kisah adalah sebagai nasehat diperuntukkan orang-orang musyrikin (ketika itu), bagi mereka yang hidup dan bertemu dengan kaum/golongan yang membangkang terhadap utusan Allah (rasul-rasul) kepada

278 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 65. Redaksi ayatnya adalah;

279 Redaksi ayatnya;

280 Redaksi ayatnya sebagai berikut: [ 52 - 50 : لﻤﻨ ﻟ ﺍ ] ﺔﻴ ﻵﺍ { ﺍﻭُ ﻤﹶﻠ ﹶﻅ ﺎَ ﻤِﺒ ﹰﺔَ ﻴ ِﻭﺎﹶﺨ ْﻡ ُ ﻬﹸﺘﻭُ ﻴ ﺒَ ُ ﻙﹾﻠ ِﺘﹶﻓ 280 Redaksi ayatnya sebagai berikut: [ 52 - 50 : لﻤﻨ ﻟ ﺍ ] ﺔﻴ ﻵﺍ { ﺍﻭُ ﻤﹶﻠ ﹶﻅ ﺎَ ﻤِﺒ ﹰﺔَ ﻴ ِﻭﺎﹶﺨ ْﻡ ُ ﻬﹸﺘﻭُ ﻴ ﺒَ ُ ﻙﹾﻠ ِﺘﹶﻓ

risalah kenabian), ashâbul aikah dan ahl al-rassi. 281

e. Dalam hikayah kisah-kisah terdapat sulûk uslûb al-taushîf dan perbincangan (uslûb) masih asing bagi penduduk arab ketika itu, hal baru bagi ilmu balaghah yang banyak mempengaruhi penyair-penyair arab, yang merupakan I’jâz al- Qur’ân, juga sebagai inspirator ilmu badi’, mereka tidak akan mampu mendatangkan semisalnya (uslub badi’) kecuali dengan (kebiasaan menelaahnya secara mendalam), hal ini terdapat pada kisah-kisah (yang diceritakan al-Qur’ân) seperti keadaan manusia penghuni surga dan neraka kelak, dan mereka yang berada di antara pagar surga (ashâbul a’râf), hal ini terdapat pada surah al-A’râf , sebagaimana telah diterangkan pada mukaddimah sebelumnya mengenai peringatan atas kelemahan mereka (bangsa arab), dari pertentangan-

pertentangan. 282

f. Manfaat dari kisah-kisah selanjutnya bahwasannya keadaan bangsa arab yang ummiy dan kebodohan, hal tersebut yang menyebabkan petunjuk al-Qur’ân belum mampu mereka tangkap secara logika (rasio)/ mencerahkan mereka, kecuali dengan hal-hal yang kongkrit/ terdeteksi oleh indra manusia (bimâ yaqa’ tahta al- hiss).termasuk dari manfaat disebutkannya kisah-kisah ini untuk memperluas pengetahuan (tawsî’ li ‘ilm muslimin) mereka orang-orang muslim karena keberadaan mayoritas umat dan keadaan (mereka sebagai i’tibar-penulis),

281 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66. 282 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66.

sebagaimana firman Allah menunjukkan kelalaian mereka sebelum Islam (surah Ibrâhîm :14;45).

g. Kemanfaatan ketujuh dari kisah al-Qur’ân yaitu menekankan kepada umat muslimin atas pengetahuan atas keluasan (pengetahuan alam), keberagaman (kelebihan) mereka (umat-umat terdahulu) dampai terhindar dari teka-teki tipu daya mereka. Sebagaimana Allah dalam al-Qur’ân menasehati kaum ‘Ad, dalam (surah fushshilat 41:18).

h. Faedah dari kisah ini diharapkan agar tumbuh dalam benak kaum muslimin keinginan kuat (himmah) untuk menguasai alam, sebagaimana umat sebelumnya, dengan tujuan mereformasi dekadensi moralitas orang-orang arab dimana mereka mengorbankan satu sama lain dalam pencapaian suatu kemulyaan(idz radlû minal ‘izzah biightiyâli al-‘arab, liyakhrujû minal khumûli alladzî kâna ‘alaihi al-

‘arab). 283

i. Manfaat yang kesembilan dari kisah-kisah al-Qur’ân, sebagai penekanan pengetahuan bahwa kekuatan mutlak hanya milik Allah, dan pertolonganAllah bagi mereka yang menolong (agama) Allah, dan jiak mereka berpegang teguh pada persiapan yang matang dan bersandar hanya kepada Allah (untuk menerima petunjuk Allah), maka mereka (makhluk) akan terhindar dari penguasaan/eksploitasi orang lain. Sebagaimana al-Qur’an (surah al-anbiyâ’

21:88). 284 j. Dengan megelaborasi qasas al-Qur’ân ini, akan bermanfaat pada signifikansi

sejarah peradaban dan syari’ah, yang kesemuanya itu dapat menjadikan pengetahuan tersendiri bagi umat muslim dari kebutuhan primer (yuftaqq adzhân

283 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66-67. bandingkan dengan gagasan Muhammad Izzat Darwaza tentang formulasi al-Qasas dalam [al-Qur’ân al-Majîd] fî Muqaddimah al-

Tafsîr al-Hadits,[Kairo; Isa al-Babiy al-Halabiy wa syuraka’uh, 1964/Dar al-Gharb al-Islamiy, 2000 M] cet.2. jilid 1. juz.1 hal. 162-178.

284 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67.

muslimîn liilmâm bifawâid al-madaniyyah) maupun sekunder.-penulis-, kemudian Ibn ‘Âsyûr mengutip al-Qur’ân (surah yûsuf 12:76) 285

Kemudian pengantar Kedelapan, Ibnu ‘Âsyûr berbicara tentang nama, jumlah ayat, susunan, dan nama-nama lain Al-Qur’ân, diterangkannya secara rinci. Dia juga menjelaskan bahwa ayat terpanjang dalam al-Qur’ân adalah ayat surah al-Fath;[48 25] dan surah al-Baqarah; [2:102]. agaknya penulis kitab ini memfokuskan di pengantar kedelapan ini soal susunan atau runtutan ayat. Ibn ‘Âsyûr mengatakan; bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya

wahyu. Sebagaimana maklum Al-Qur’ân diturunkan secara bertahap (munajjaman) dalam kurun waktu 23 tahun. 286

Dalam perspektif Ibn ‘Âsyûr pengertian al-Âyat berarti suatu maksud/ukuran dari redaksi al-Qur’ân yang tersusun (Miqdârun min al-Qur’-ân murakkabun), misalnya “ ﺮﺠﻔﻟاو” yang maksud darinya adalah bersumpah dengan dengan waktu

fajar (uqsimu bi al-fajri). Atau disebutnya sebagai sambungan/pertautan (ilhâqan) seperti huruf-huruf muqaththa’ah dalam setiap pembukaan surah (fawâtih al-suwar) .

ﺲﻃ ،ﺮﻤﻟا ،ﺮﻟا hal disamping bersifat tawqîfî juga merupakan sunnah yang diikuti kebenarannya dengan tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Bagian ini dinamakan dengan Âyât karena ia temasuk bagian dari al-Qur’ân (min mubtakirâti al- Qur’ân) dalam al-Qur’ân ayat 7 dari surah Ali Imran [3] redaksinya adalah:

ﹲﺕﺎَ ﻤﹶﻜْﺤُ ﻤ ﹲﺕﺎَ ﻴ ﺁُ ﻪﹾﻨ ِﻤ َ ﺏ ﺎﹶﺘِﻜﹾﻟ ﺍَ ﻙْﻴ ﹶﻠ َ ﻋَ لﺯﻨ َ ﺃ ﻱِﺫﱠﻟ ﺍَ ﻭُ ﻫ dan pada ayat 1 dari surah Hûd [11] yang redaksinya adalah: ٍﺭﻴ ِﺒﹶﺨ ٍﻡ ﻴ ِﻜَ ﺤ ْﻥُ ﺩﹶﻟ ْﻥِﻤ ﹾﺕﹶﻠ ﱢﺼﹸﻓ ﱠﻡ ﹸﺜ ُ ﻪﹸﺘﺎَ ﻴ ﺁ ﹾﺕَ ﻤِﻜْﺤُ ﺃ ٌﺏ ﺎﹶﺘِﻜ ﺭﻟ ﺃ disebutkan dalam kedua surat disamping (Ali Imran [3:7] dan Hud [11:1]) redaksi yang

menerangkan tentang Âyât, dinamakan ayat sebagai bukti bahwa redaksi tersebut merupakan wahyu dari sisi Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam, karena ia juga mencakup dari batasan paling tinggi dalam kajian balaghah Nazhm al-kalâm. Sebagai bukti bahwa al-Qur’ân bukan buatan

285 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67. 286 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 70-92.

manusia, sebagaimana ketidakmampuan pakar balaghah dan pakar sastra arab ketika ditantang oleh Nabi untuk mendatangkan surah semisal seperti redaksi al-Qur’ân mereka tidak mampu mendatangkannya, maka dilemahkannya mereka (fa’ajazû ‘an

ta’lîfi mitsla sûrah min sûrah). 287 Sedangkan al-Sayûthi berpandangan bahwa diantara kesesuaian antara ayat-

ayat dan surat-suratnya serta hubungan yang kuat, keterkaitan dan keterikatan yang kokoh antara ayat-ayatnya dan surat-suratnya merupakan bagian dari tiga puluh lima bentuk ke i’jâz-an al-Qur’ân, kekunikan susunan dan keharmonisan kalimatnya juga

termasuk bagian dari I’jâz al-Qur’ân. 288

Selanjutnya atas dasar inilah Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) menekankan bahwa keterangan tentang ayat redaksinya tidak ditemukan dalam al-Taurah, al-Injîl, ini merupakan kekhususan yang tidak terdapat pada bahasa Ibrâniyyah dan Ârâmiyyah. Berkata Abû Bakar Ibn ‘al-‘Arabi pembatasan-pembatasan ayat termasuk dari mu’dhalâti al-Qur’ân, ada yang panjang dan pendek, terdapat juga yang disela/diputus sebelum akhir, dan ada pula habis sampai konteks pembicaraan selesai (wa minhu mâ yanqathi’u wa minhu mâ yantahî ilâ tamâmi al-Kalâm), demikian juga

al-Zamakhsyari ayat-ayat dalam al-Qur’ân merupakan masalah tawqîfî. 289 Kemudian Ibn ‘Âsyûr menambahkan agaknya tidak terlampau jauh (lâ

yab’adu) penetapan ukuran ayat (an yakûna ta’yîn miqdâru al-Âyah) mengikuti pada kronologis turunnya (taba’an liintihâ i nuzûliha) dan permasalahan yang berkaitan

dengannya (wa ammâratihi wuqû’i al-fâshilah). 290

287 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74. 288 Lihat al-Sayûthi, Mu’tarak al-aqrân fî I’Jâz al-Qur’ân (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, tt), juz I-III.

Ibn al-Hashar dan Ibn al-Anbari juga demikian. keduanya meyakini bahwa susunan letak surat-surat dan ayat-ayatnya (urutan surat sama dengan hubungan ayat dan huruf saling melekat) dan sepenuhnya merupakan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw. Berdasarkan wahyu.

289 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 75. 290 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74. keterangan tentang al-fawâshil ia

merupakan kalimat-kalimat yang redaksinya menyerupai atau mendekati/mirip dengan jatuhnya huruf yang terakhir ( tatamâtsalu fî awâkhiri hurûfiha aw tataqâraba), dengan dibarengi kemiripan shighat al-nutq, yang kemudian redaksinya diulangi dengan penekanan pengulangan yang merupakan bentuk nadham dalam pelbagai redaksi ayat-ayat yang banyak, yang kebanyakan qarîb min al-asjâ’ fî kalâmi al-Masjû’. Thâhir Ibn ‘Âsyûr menyimpulkan bahwa sesungguhnya al-fawâshil itu kesemuanya sampai

Dalam (mukaddimah kedelapan); ditulis bahwa al-Sûrah merupakan suatu bagian dari al-Qur’ân (qit’atun min al-Qur’ân) yang ditandai dengan permulaan dan pengakhiran (mu’ayyanatun bimabdain wa nihâyatin) yang keduanya tidak akan pernah berubah, al-sûrah tersebut dinamai dengan nama-nama yang khusus (musammâtun biismin makhsûsin) yang terdiri dari 3 ayat atau lebih yang memiliki tujuan global dengan membawa pesan-pesan makna ayat-ayat dalam surah tersebut. al-sûrah tersebut berkaitan ereat dengan kronologi turunnya ayat (Nâsyiun ‘an asbâb al-Nuzûl), dan juga mengandung keserasian makna-makna antar surah di balik teks

(muqtadlayât mâ tasytamilu ‘alaihi min al-ma’ânî al- mutanâsibati). Kemudian penulis juga mengemukakan pandangan mufassir tentang tema tersebut sebagai perbandingan, karena hal tersebut dapat menyingkap urgensi gagasan maqashid dan

prinsip tafsirnya, khususnya pada surah al-Baqarah. 291 Dalam pengantar Kesembilan, Ibn ‘Âsyûr berbicara tentang makna-makna

yang dikandung oleh kalimat-kalimat Al-Qur’ân,. Dia menegaskan, bahwa itu semua

pada akhir ayat, walaupun perbincangan (al-kalâm) yang terjadi (al-ladzî taqa’u fîhi) belum sempurna dari maksud dan tujuan (al-ghard) dari konteks pembicaraan tersebut (al-masûq ilahi). Dan jika telah sampai pada tujuan yang dimaksud dari konteks ayat yang diperbincangkan (al-kalâm), dan belum terjadi (sampai tujuannya) ketika habisnya al-fâshilah (rima) maka, pada konteks perbincangan ayat tersebut belum selesai (falâ yakûna muntahâ al kalâm) dan belum menjadi akhir konteks ayat tersebut

(nihâyata âyah). Seperti dalam sûrah (Shâd [38:1]): ﺮآﺬﻟا يِذ نﺁ ﺮُﻘﻟاو ص Keterangan jumlah (‘Adu) ayat disamping menunjukan ukuran ayat yang belum selesai (konteks pembicaraannya) karena penyebab berhentinya adalah al-fâshilah, hal ini sangat jarang ditemukan dalam al-Qur’an. 290 Dalam kasus disamping al fawâshil ayatnya terjadi pada pembukaan/ permulaan surah, yang terbangun atas satu huruf terbuka (uqîmat ‘alâ harfin maftûhin) yang disusul dengan alif sebagai bentuk mad kemudian datang setelahnya huruf (ba’dahû alif maddin ba’dahâ harfun), seperti bentuk misal berikut: ،قﺎﻘﺷ بﺎﺠﻋ ،باَﺬآ ،صﺎﻨﻡ , dan masih banyak bentuk fawâshil misalnya yang terbangun (buniyat) dari huruf yang madhmû musyabba’ bi al-wâwi,ataupun dari huruf berkasrah musyabba’ bi al-Yâ’i al-sâkinah, yang datang setelahnya satu huruf contohnya; ﻦﻴﻃ ﻦﻡ ،ﻦﻴﺒﻡ ﺮیﺬﻥ ،نﻮﻌﻤﺘﺴی ذإ ،نﻮﺿ ﺮﻌﻡ ﻪﻨﻋ ﻢﺘﻥأ , dan apabila tujuan yang dimaksud (al-ghardh) sampai pada konteks ayat yang terakhir sedangkan al-fâshilah datang setelahnya maka ayat tersebut belum dapat dikatakan selesai (takûna al-Âyah ghaira muntahiyah) meskipun ayat tersebut masih terlalu panjang, seperti contoh berikut:

بﺎﻥأو ﺎﻌآارّﺮﺥو " ﻪﻟﻮﻘىﻟإ " ﺖﺠﻌﻥ لاﺆﺴﺑ ﻚﻤﻠﻇ ﺪﻘﻟ لﺎﻗ , dari rangkaian ayat disamping menunjukkan jumlah satu ayat.

291 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 84. terdapat redaksi hadits yang menguatkan pandangan ini diriwayatkan Abû Dawûd dari Zubair:

Bangsa arab diciptakan dengan diberi kemampuan sastra yang tinggi dan pemahaman [otak] cerdas. Sehingga pujangga-pujangga mereka banyak menggunakan istilah-istilah (majâz) dalam berkomunikasi. Seperti Majaz, Isti’ârah, Tamtsîl, Kinâyah, al- ta’rîdl, wa al-Amtsâl, Isytirâk wa al-Tasâmuh fî al-isti’mâl, al-

istifhâm fî al-Taqrîr aw al-Inkâr dll. 293 Pengantarnya Kesepuluh, dalam karya tafsirnya mengulas panjang lebar

tentang kemu’jizatan Al-Qur`ân. Kemu’jizatan merupakan dasar universal bahwa Al-Qur`ân merupakan mu’jizat Islam dengan menantang para penentangnya, dan memepersilahkannya untuk menandinginya apabila mampu untuk membuat surat semisal Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân pun menjelaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu walaupun diantara mereka terdapat para ahli syair, pakar-pakar bahasa waktu diturunkannya Al-Qur`ân sampai detik ini dan sampai hari dibangkitkannya manusi kelak, tidak akan yang ada yang menandinginya. Inilah konsep yang agaknya banyak dilupakan oleh para ahli tafsir menurut Ibn 'Âsyûr. Yang mana mereka dibuat sibuk oleh detil-detil mu’jizat sembari melupakan pangkal dan akarnya. Ini pula yang menyebabkan mereka berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemu’jizatan Al- Qur`ân.

Sumbangan terpenting dari Ibnu ‘Âsyûr diantara para mufasir ialah ulasannya yang sekilas merangkum tentang bagaimana Al-Qur`ân menjadi pelopor dalam keistimewaan struktur kalimatnya (Îjâz). Dia tidak terikat pada satu bahasa, tapi berbeda-beda dalam satu surah. Bahkan dalam tiap-tiap surah terdapat dialek tersendiri. Sebagian bersifat sinambung dan bagian yang lain tidak sinambung, begitu

juga pada variasi awal surahnya. 294

292 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100. 293 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100. 294 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 101-121.

Dalam pandangan Ali Iyâzi dalam karyanya pengantar tentang penafsiran Al- Qur`ân dan ulûmul Qur’an dalam karya monumental Ibnu ‘Âsyûr ini setara dengan pengantar Ibnu Khaldun (bapak sosiologi) tentang sejarah dalam karyanya Al-

Muqaddimah. 295