Pandangan Sarjana Barat tentang Ortodoksi/Rigiditas

1) Pandangan Sarjana Barat tentang Ortodoksi/Rigiditas

Sering dikatakan bahwa ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas penafsiran) adalah sesuatu yang asing dalam konteks Islam Rahmatan lil’âlamîn, karena tidak ada dalam Islam sebuah institusi, seperti lembaga gereja misalnya, yang memiliki

otoritas untuk menentukan kriteria ortodoksi. 187 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep ortodoksi dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut.

Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi

dan heresiografi. 188 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kagtegorisasi

diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al- Qur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam tafsir (tafsir yang rigid).

Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai pemapanan ilmu yang dimaksud. 189 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,

187 Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan

mayoritas” (the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268.

188 Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘arî, al-Gazâlî, al-Syahrastânî dan lain-lain

pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompok- kelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 77-78.

189 Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther,

“Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.

kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta terminologi-terminologi tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama. Standar kemapanan inilah kemudian menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Adapun setiap pemikiran yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai ’deviasi/takhrîf’ dari pemahaman yang sudah mapan tersebut.

Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa dikategorikan ortodoks/rigid dan bukan heterodoks/elastis? apakah fuqahâ belum menggunakan konsep Maqâshid dalam penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya?

Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar ortodoksi/penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic

Orthodoxy”. 190 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama, bersifat

general yang elastis; “general”, dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip- prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas Mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara

190 Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.

yang sama, kriteria ’elatis’ tersebut berfungsi menjadi dasar untuk menganalisa mengapa Ibnu ‘Âsyûr dalam hal ini penting dan diapresiasi dengan cara yang proporsional dari sebuah tafsir yang rigid, sementara di sisi lain, pendapat-pendapat Ibn ’Âsyûr juga digunakan untuk mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga, demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsip- prinsip Maqâshid dalam tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-prinsip Maqâsid dalam tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran

yang rigid. Norman Calder, 191 penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya

di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari ortodoksi/rigiditas itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara ortodoksi/penafsiran yang rigid dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur

tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân, 192 berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang.

Sebuah penafsiran yang rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret munculnya ortodoksi,

Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71. 192 Literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang

“heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-mufassirûn hayâtuhum wa manhajuhum, al- Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa Dawâbituhû, Madzâhib al-Mufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawâ‘id al-Hisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain).

dengan menelusuri tafsir Sufi klasik, dan perdebatan para teolog kelompok-kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawarij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usul al- Fiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas

(Sunni) di luar Syi‘ah. 193 Selain itu, terma ortodoksi/rigiditas tafsir” menyiratkan bahwa terdapat juga

sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain seperti terlihat pada tafsir Sufi klasik. 194

Pada seminar XV diselenggarakan di Al Jazair pada september 1981, kongres tersebut mengerahkan kajiannya pada Al-Qur’ân, kajian tersebut diharapkan dapat membantu untuk merumuskan strategi pengkajian dan berbagai arahan dari yang

terpikir yang dipaksakan wacana Islam secara makro. 195 Dalam hal ini Arkoen mencatat bahwa metode filologis yang dipraktekkan di barat sejak abad XVI

sekalipun, dengan kekayaan (metode) yang luas dipertahankan dalam yang terpikir dan yang tak dipikirkan begitu berkaitan dengan berbagai sumber-sumber (ushûl) wacana islami umum, terutama barkaitan dengan al-Qur’ân dan hadits. Berbagai penolakan itu tidak pernah menggunakan argumen filologis dan historisis dalam pengertian modern. Tetapi senantiasa menonjolkan wewenang naskah-naskah yang sebernarnya menjadi obyek pembahasan ; al-Qur’ân dab Hadits, skema historiografis yang telah dibekukan sejak abad IV/X dibawah tekanan teologi ortodoks.

Demikianlah kita melihat cara kerja semua nalar keagamaan. 196

193 Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. vii. 194 Lihat Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi, (Sufisme

Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, hal. 88 sampai akhir. 195 Lihat Arkoun Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân (Penerbit

Pustaka Bandung 1998) hal.20-21. 196 Diadaptasi dari Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân

(Penerbit Pustaka Bandung 1998) hal.20-21., lihat juga berbagai kontroversi yang dilancarkan tanpa henti terhadap karya-karya Joseph Shact An Introduction to Islamic Law,(oxford:clarendon, 1964) dan Ignaz Galdziher. Lihat lebih lanjut ulasannya dalam Faisar Ananda Arfa, sejarah pembentukan Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang