Maqâshid al-Qur’ân/Asliyyah dan Urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân

C. Maqâshid al-Qur’ân/Asliyyah dan Urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân

Maqâshid al-Qur’ân sebagaimana yang dikemukakan Râsyid Ridhâ dalam karyanya al-Wahyu al-Muhammady, ditulis bahwa ia menguraikan Maqâshid al- Qur’ân kedalam penafsiran (tafsir al-Manâr dan tafsir al-Qur’ân al-Hakîm), dalam bentuk kaidah-kaidah (qawâ’id), dan prinsip-prinsip dasar [Ushûl], bagi setiap surah dan di akhir penasiran masing-masing surah, setelah lebih dahulu menguraikan

kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip pada setiap ayat-ayat yang terdapat pada surah. 321 Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Khalil al-Daghâmin tentang

wajibnya berupaya mewujudkan Maqâshid al-Qur’ân ketika mufassir hendak menafsirkan al-Qur’ân. Disini terlihat bahwa Ziyâd Khâlil al-Daghâmin menilai Rasyîd Ridhâ yang sejalan dengan kedua gurunya al-‘Afghâni dan Muhammad ‘Abduh, mereka mewajibkan penerapan Maqâshid al-Qur’ân dan penafsiran al- Qur’ân. 322

Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud ilmu al-Qur’ân diistilahkan dengan ulûm al-Qur’ân bima’na idhâfi, yakni ilmu al-Qur’ân yang menunjukkan sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’ân ilmu-ilmu al-Qur’ân tersebut antara

321 Râsyid Ridhâ berbicara panjang lebar mengenai Maqâshid al ’asasiyyah (tujuan pokok) sebab yang menjadi sasaran semua kekacauan dan kerusakan, yang mana dikeluhkan oleh intelektual

saat ini. Adapun mebahasnya secara lengkap maka tentu tidak tercapai kecuali dalam buku besar atau beberapa buku yang menghimpun kesemua Maqâshid al-Qur’ân yang dilengkapi dengan uraian tentang urgensinya bagi (kajian ilmiah) dan umat manusia, baik didunia maupu akhirat kelak. Hal ini saya uraikan dalam tafsir al-Manâr dengan menampilkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar setiap surah secara global-general, diakhir penafsirnannya masing-masing setelah terlebih dahulu menguraikannya ketika menjelaskan ayat-ayatnya). Lihat lebih lanjut Muhammad Rasyid Ridhâ, alwahyu al Muhammady (Maktabah al-Islami), hal.29 dan 3.

322 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

Perbincangan dari kajian Maqâshid al-Qur’ân perspektif Ibn ‘Âsyûr (1296- 1393 H- 1879-1973 M), 324 dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan kemurnian penafsiran, dan menghindari mereka mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhâi man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu al-

Qur’ân), yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsip- prinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ) untuk menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penafsirannya. Selanjutnya dapat kita diketahui dan dijangkau korelasi suatu penafsiran (al mufassir) dengan tujuan (al-ghâyah) yang hendak dicapai. Dengan cara mengukurnya melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâ min al-Maqshad wa mâ tajâwazahu). Dari sinilah pembaca dapat membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan

323 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

324 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26.bandingkan dengan Izzat Darwaza dengan gagasannya bahwa al-Qur’ân dibagi dengan al-Ushûl wa al-Wasâil, Al- Qur’ân al-Majîd, hal. 5-275 merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26.bandingkan dengan Izzat Darwaza dengan gagasannya bahwa al-Qur’ân dibagi dengan al-Ushûl wa al-Wasâil, Al- Qur’ân al-Majîd, hal. 5-275

Al-Qur’ân yang diturunkan sebagai kitab petunjuk umat Manusia, demi tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Nâs kâfatan) dan sebagai kesejahteraan bagi mereka (rahmatan lahumlitablîghihim murâdullâh minhum).

Sebagaiman firman Allah dalam (surah an-Nahl [16:89]). 326 Dalam karya tafsirnya at-Tahrîr wa at-Tanwîr Ibn ‘Âsyûr mencoba

mengaitkan dan mengelaborasi pokok-pokok prinsip teori Maqâshid-nya dengan penelitian lain yang mempunyai esensi dan muara tujuan yang sama, yakni penelitian tentang ”Peletakan Dasar Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (the rule of Islamic Civilization/ushûl al-Nizhâm ijtimâ’i al-Islâmiy). Menurutnya, Hal ini disebabkan karena kajian-kajian teori Maqâshid yang diaplikasikan dalam penafsiran akan mencerminkan dan menghasilkan tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al syari’ah al Islâmiyah) yang dimaksud/hendak dicapai. Demikian halnya dengan kajian yang mendasarkan norma/aturan pada tatanan kehidupan sosial

kemasyarakatan yang sesuai dengan neraca syari’at Islam. 327 Dengan demikian, tujuan seorang mufassir hendaknya; menjelaskan apa yang

mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh

325 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut

merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26

326 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 38. redaksi ayatnya sebagai berikut: |=≈tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uΖø9¨“tΡuρ 4 ÏIωàσ¯≈yδ 4’n?tã #´‰‹Íκy− šÎ/ $uΖø⁄Å_uρ ( öΝÍκŦàΡr& ôÏiΒ ΟÎγøŠn=tæ #´‰‹Îγx© 7π¨Βé& Èe≅ä. ’Îû ß]yèö7tΡ tΠöθtƒuρ ∩∇∪ tÏϑÎ=ó¡ßϑù=Ï9 3“uô³ç0uρ Zπyϑômu‘uρ “Y‰èδuρ &óx« Èe≅ä3Ïj9 $YΖ≈u‹ö;Ï?

327 Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al-Islâmiyah, hal. 90-91.

maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafadznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan

menjabarkan Maqâshid tersebut….” 328

Bagi Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) metode-metode penafsiran yang digunakan pakar tafsir diklasifikasikan menjadi tiga bagian; pertama; penafsirannya hanya memperhatikan sisi yang tampak (al- iqtishâr ‘ala dhahir), dari keaslian makna segi

susunannya (min al-ma’nâ al-ashliy littarkîb), dengan penjelasan dan keterangan, hal ini disebutnya sebagai al-ashliy. 329 Kedua; perhatian/fokus penafsirannya dengan cara

menyingkap makna dibalik teks (istinbâth maknâ min warâ’i al-dhâhir) berdasarkan lafadz-lafadz/susunannya sesuai dengan diksi (dalâlah al lafdz awi al-Maqâm), dan tidak menafikan penggunaan susunan kalimatnya beserta tujuan al-Qur’ân (wa lâ yujâfîhâ al-ist’mâl wa lâ al-Maqshad al-Qur’ân). Hal ini seperti susunan-susunan dan termasuk dari khashâish al-lughah al-‘arabiyyah yang termasuk didalamnya kajian mengenai ilmu balaghah seperti ta’kîd (penekanan) suatu lafadz yang menjelaskan tentang pengingkaran (lawan dialog) (inkâr al-mukhaththab) atau keragu-raguannya. Ketiga; dimana penafsirannya berupaya menyingkap masalah-masalah (problematika) (an yajlib al-masâil) kemudian menarik dan mengaitkannya antara al- masâ’il dan makna (limunâsabati baynahâ wa bayna al-ma’nâ), atau bertambahnya pemahaman mengenai makna lafadz yang mendukung, atau sebagai pendukung antara makna al-qurâniy dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya, sebagai bagian tujuan dari tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-tasyrî’) sebagai tambahan bentuk peringatan darinya, dan juga sebagai bantahan bagi mereka yang mengabaikan (aw liraddi mathâin) dan tidak mengakui keberadaan peringatan tersebut (man yaz’amu annahu yunâfîhi) sebagai esensi hukum syari’at dan sebagaian

328 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41- 42. 329 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42.

kehendak Allah dari keterangan ayat tersebut, namun hanya sebagai tujuan memperluas sebagaimana dikemukakan pada mukaddimah ke -2 pada prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr. 330

Pada metode/cara yang kedua telah banyak diklasifikasikan oleh ‘Ulama’ dalam kajian-kajian hukum, demikian juga dalam ilmu akhlak, al Âdab (etika), sebagian besar telah dilakukan penelitiaannya oleh Hujjah al-Islâm al-Ghazali (w.505 H), mufasir belum dapat dikatakan ilmunya mendalam walaupun ia mengklasifikasikan pelbagai keilmuan namun tidak mengintegrasikannya tujuannya

dengan Maqâshid al-Qur’âniyyah, karena didalamnya terdapat keterpautan yang erat dengan pelbagai problematika (al-umûr Islâmiyyah) seperti penafsiran firman Allah

“Wa kallamallâhû Mûsâ taklîmâ” disebutkan pakar/ahli ilmu kalam dalam penetapan “Kalâm al Nafsi”dengan berbagai keterangan dan alasannya, dan pandangan dari beberapa kalangan madzhab dalam kasus tersebut. Demikian halnya dengan menafsirkan hikayat dalam al-Qur’ân mengenai Nabi Musa dengan Nabi Khidr yang syarat dengan segenap etika antara Mu’allim dan Muta’allim sebagaimana tindakan al-Ghazali. Sejalan dengan ini Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ibn al-‘Arabi yang mengatakan; “ia mendiktekan (amlâ ‘alaihâ) pada hikayah tersebut lebih dari 800 problematika (mas’alah). 331

Dalam cara yang ketiga berusaha menyingkap persoalan ilmiah dari pelbagai disiplin keilmuan yang bertautan dengan keterangan ayat. Baik dari sebagiannya yang menumbuhkan makna ayat dengan bitalwîhimmâ (apa yang dimaksud ayat).

330 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. bandingkan dengan formulasi penafsiran komprehensif yang dikemukakan Izzat Darwaza dalam al-Tafsîr al-Hadits [Dâr al-Gharb

al-Islâmiy] hal. 5, ia juga meneliti suatu istilah yang disebutnya dengan ‘metodologi percontohan’ [exemplary methods] dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya sebagai evaluasi atas kontribusinya terhadap hermeneutika al-Qur’ân. Lihat juga Abdullah Saeed mengenai pendekatan penafsiran secara kontemporer dalam Interpreting the al-Qur’ân; towards acontemporary approach,[Routledge; taylor and Francis group] london and Newyork] cet-1 2006, hal.8.

331 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. lihat juga prinsip-prinsip yang mendasari Izzat Darwaza dalam penafsiran al-Qur’ân komprehensif dan bernuansa modern, Al-Qur’ân al-Majîd,

hal. 5-275

Sebagaimana penafsiran “Wa man yu’ti al hikmata faqad ûtiya khairan katsîrâ”disebutkan bahwa klasifikasi ulûm al-hikmah dan kemanfaatannya termasuk pada keterangan ayat yang menyatakan “khairan katsîran”. Hikmah disini bukanlah merupakan makna ashli walaupun ia merupakan disiplin ilmu yang mandiri (istilâhiyyan), makna aslinya tidak terjangkau (la yafûtu), adapun klasifikasi/tingkatan ilmu hikmah inilah sebagai akselerasi untuk memahami hikmah tersebut. sebagaimana dalam ayat yang berbunyi “kaylâ yakûna dûlatan bayna al- aghniyâi minkum” cabag-cabang/klasifikasi ilmu perekonomian (‘ilm iqtishâdi al-

siyâsiy) dan pembagian harta secara umum, seperti syari’at zakat, harta peninggalan (al-mawârîts), dan mu’amalah al murakkabah/ interaksi sosial yang melibatkan harta dan pekerjaan (min ra’si mâlin wa ‘amalin) keterangan disamping menunjukkan

keterangan ayat yang bersifat ‘menumbuhkan’ (tûmi’u ilahi al-Âyah îmâ’). 332

Urgensi Maqâshid al-Qur’ân akan nampak apabila penafsiran seorang mufassir dibarengi dengan mendasarkan prinsip-prinsip general [keumuman dakwah], selanjutnya prinsip-prinsip tersebut terefleksikan pada aplikasi penafsirannya secara konsekwen. Disinilah keunikan gagasan Ibn ‘Âsyûr terjawab, disisi lain keunikan penelitian ini dalam mengintegrasikan gagasan Maqâshid dan prinsip tafsirnya akan menjadi sebuah kajian tersendiri. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tenatng aplikasi maqâshid dalam penafsiran yang dibatasi penulis padaayat-ayat hukum shalat, puasa dan zakat.

332 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 43.