Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan

C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan

Salah satu hal yang mendorong penulis untuk memilih judul diatas adalah, bahwa kajian Maqâshid selama ini masih berputar pada kaidah-kaidah ushul fiqh dan Syari’ah. Pemetaaan yang dilakukan Ibn Asyur yaitu mendasarkan‘Ilm Maqâshid al- syarî’ah. Adapun prinsip-prinsip penafsirannya diintegrasikan secara integral dengan gagasan Maqashid-nya.

Abdullah Muhammad Syahâtah, Ziyâd Khâlil Muhammad al Dhaghâmin, Muhammad Husain Al-Dzahabi, Muhammad ‘Ali Iyâzi, ‘Abdul Hayyi al-Farmâwi, Iffat Syarqâwi dan ‘Abdur Ghaffâr Abdur Rahîm, mereka menyimpulkan apa yang dilakukan Ibn Âsyûr mempunyai kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh

Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyîd Ridhâ dalam al-Manâr, walaupun secara eksplisit sebagian dari mereka tidak mencantumkan hal tersebut dan sebagian yang

lain mencantumkannya. 55 Karya (Thesis) Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al-Maqâshid ‘ind al-Imâm

Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (the International Institute of Islamic Thought) Herndo-Virginia U.S.A), dapat mewakili sumber primer karena dia membahas panjang lebar tentang formulasi dan pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah. Pada percetakan yang sama Ahmad Raysûni dalam disertasinya (1995) Nazhâriyyah al

Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibî (the International Institute of Islamic Thought) yang kemudian dalam telaahnya dan penelitiannya ia menyematkan gelar kepada al-Syâtibî (w. 790 H) Mu’allim awwal dan Muallim Tsâni (Ibn ‘Âsyûr). Perbedaan pandangan antara mereka antara lain; formulasi Maqâshid al-syarî’ah al-Syâtibî dibangun di atas

hubungan dialektis antara prinsip-prinsip general (kulliyyât), 56 dan unsur-unsur partikularnya (juz`iyyât). Keduanya harus sama-sama dipertimbangkan karena “siapa

pun yang mengambil unsur-unsur partikular tanpa menghiraukan prinsip general yang menyatukannya, atau siapa pun yang mengambil prinsip general tanpa mempertimbangkan unsur-unsur partikularnya, maka ia telah berbuat kesalahan al-

55 Meski mereka Muhammad Husain al-Dzahabi, Muhammad Ali Iyazi, dan ‘Abdul Hayy al- Farmawi tidak mencantumkan secara eksplisit itilah Maqâshid al-Qur’ân di dalam karyanya, namun

mereka menyebutkan salah satu unsur penting dalam corak penafsiran madrasah Muhammad ‘Abduh secara umum dan penafsiran yang dilakukan Sayyid Râsyid Ridhâ secara khusus yakni unsur Maqâshid al-âyah,lihat Husain al-Dzahabi, al-tafsir, vol.2, hal. 401; lihat juga, ‘Abdul Hayyi al- Farmâwi dalam al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’i (t.th 1977) cet. Ke-2 hal. 41; lihat juga Muhammad ‘Ali Ayâzi, al- Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâhijuhum (Thehran; Mu’assasah al- Thaba’ah), hal. 49.

56 Kalimat “kullîy” pada umumnya diterjemahkan menjadi “general” atau “universal”. Penulis mencoba menilik artikel Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”.

Pada sebuah kasus, Hallaq menerjemahkan “kulliyyat” menjadi “general foundations”. Sementara di tempat lain, Hallaq menerjemahkan “Ushûl kulliyyah” menjadi “universal principles”. Bahkan dia juga tercatat menggunakan kedua kata itu secara bersama-sama seperti tampak dalam pernyataannya, “…lay down the most general and universal legal principles….” Lihat Hallaq, “The Primacy of the Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”, hal. 75-76. Dalam penelitian ini, padanan kata yang dipilih adalah “general”, bukan “universal”, karena padanan pertama itu lebih tepat untuk dilawankan dengan “partikular” sebagai padanan kata “juz`i”. Lihat Cambridge Advanced Learner’s Dictionary on CD- ROM, versi 1.0 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), entri “general”.

Syâtibî sebagaimana disebut ‘Abid al-Jâbiri sebagai penyempurna kembali dasar- dasar ilmu ushûl (‘Iâdah Ta’shîl al-Ushûl).” 57

Perbedaan dan urgensi pandangan Ibn ‘Âsyûr dari pendahulunya terkait dengan problematika (Isykâl al-qitha’u wa al-dzann fî ‘ilm al-ushûl) esensi dari konsep dan kajian yang ditawarkan Ibn Âsyûr ini sejajar/mirip dengan penelitian mencari konsep “Tatanan masyarakat Islam yang ideal” (ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi).

Dijelaskan bahwa konsep tersebut bertolak lintas batas pemahaman hukum- hukum syara’ yang partikular (Tajâwaz al-manhiy tajzî’iy) menuju kepada pandangan atau prinsip-prinsip general (ru’yah kulliyyah tanzilu al hulûl syar’iyyah) bertumpu pada kondisi yang amat penting dan dibutuhkan bagi mayoritas umat dan kemaslahatan manusia (‘Alâ al-waqâ’ii wa al-nawâzil min haits hâlah jamâiyyah tuhimmu al-ummah) bukan bertumpu pada sebaliknya. Hal ini sejalan dengan gerakan

ijtihad fikih Târikhiyyan. 58 Literatur diatas tidak memusatkan dan mengintegrasikan perhatiannya kepada

penafsiran Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat luas. Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân mengandung pembahasan tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam melakukan penafsiran al- Qur`ân. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya yang mencoba mengkaji kaidah- kaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa yang ditulis oleh ‘Abd al-Rahmân ibn

59 60 Nâsir al-Sa‘di, 61 Khalid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt,

57 al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 5. 58 Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 98-114. Lihat juga lebih

lanjut uraian ‘Abd Majid Shaghir, dia murid dari ‘Âbid al-Jâbiri, dalam”al-fikr ushûliy wa isykâliyyah al-sulthah ilmiyyah fi al-Islam, Beirut Dar al-Muntakhab ‘Arabiy 1994M / 1415H hal. 614. bandingkan dengan ulasan guru dari ‘Abd Majîd Shaghîr yaitu Muhammad ‘Âbid Jâbiri pandangan al- Syâtibî mengenai “Ta’sil al-ushûl al-Syarî’ah”, dalam “Bunyah al-‘aql al-‘arabiy” Beirut markaz dirâsat wahdah al-‘arabiyyah1994 cet. 4 hal. 548.

59 ‘Abd al-Rahman ibn Nasir al-Sa‘di, al-Qawâ‘id al-Hisan li Tafsir al-Qur`ân (Riyad: Maktabah al-Ma‘arif, 1980).

60 Karya Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu (Beirut: Dar al- Nafa`is, cet. 2, 1986).

dan ‘Abd al-Hâdi al-Fadli. 62 Berbeda dengan literatur-literatur di atas yang mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa mengaitkannya dengan tokoh tertentu,

prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek kajiannya, yaitu pemikiran dan karya-karya Ibn ‘Âsyûr. Selain itu, penelitian ini juga mencoba membawa konsep tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalan- persoalan yang lebih mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta aplikasi

Maqâshid dalam penafsirannya. 63 Abdullah Mahmud Syahatah, dalam bukunya ditulis bahwa Rasyîd Ridhâ

(murid ‘Abduh dan juga guru dari Ibn ‘Âsyûr) menggunakan Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-Afghâni dan Muhammad ‘Abduh [1905 M], Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963) hal. 33. dan karyanya yang berjudul Ahdâf kulli sûrah wa Maqâshiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al- Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-Qur’ân antara lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya.

Karya Muhammad al-Dhagâmin dalam tulisannya yang berjudul Manhaj al- Ta’âmul ma’a al-Qur’ân fî fikri al-Syaikh Muhammad Rasyîd Ridhâ, dalam majalah yang diterbitkan oleh Universitas Kuwait. Ia menekankan bahwa Rasyîd Ridhâ memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Maqâshid al-Qur’ân, bahkan ia menilai bahwa Rasyîd Ridhâ mewajibkan penggunannya dalam menafsirkan al- Qur’ân. Karya diatas terkait dengan kajian Maqâshid al-Qur’ân yang dibangun oleh Rasyid Ridha. Mengingat Ibnu Âsyur adalah murid dari Abduh dan Rasyid Ridhâ

61 Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.).

62 ‘Abd al-Hadi al-Fadli, Al-Wasîth fi Qawâ‘id Fahm al-Nushûsh al-Syar‘iyyah (Beirut: Mu`assasah al-Intisyar al-‘Arabi, 2001).

63 Lihat lebih lanjut pripsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr, Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 39-43.

sehingga keterkaitan kajian diantara keduanya mengenai tafsir dan prinsip-prinsip penafsiran sangatlah erat.

Karya Luay Shofiy, Kinerja akal (I’mâl al-‘Aql) “min al- nazhrah tajzi'iyyah ilâ al- Ru'yah al-Takâmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), dimana dia mempunyai pandangan yang mengapresiasi gagasan Ibn ‘Âsyûr tentang Maqâshid al- syarî’ah. Dengan menggunakan metode qiyâshiyyah yang menurutnya sebagai upaya untuk memahami nushûs syarî’ah secara integral, dengan menemukan makna yang tepat kemudian memberikan kesimpulan formulasi hukum-hukum secara

komprehensif. Karya Thameem Ushama, “ Methodologies of The Qur’anic Exegesis” telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Tafsir al-Qur’ân, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta: Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhab- madzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam penafsiran al Qur’ân serta syarat-syarat menafsirkan al Qur’ân.

Karya M.Quraisy Shihâb; Tafsir al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2000), Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006), dan “Rasionalitas Al Qur’ân, Studi Kritis atas Tafsir al Manâr” (Jakarta: Lentera Hati 1428 H/ 2007 M). Tafsir yang bernuansa sosial kemasyarakatan ini benyak memuat pesan dan keserasian dari pelbagai keterangan ayat beserta pandangan Ulama’ dan Mufassir baik Klasik maupun kontemporer seperti Imâm al-Ghazali, Fakhruddin al-Râzî, Abû Hayyân, Ibn Âsyûr, al-Biqâî, dan masih banyak lagi. Dan kedua buku setelahnya selain mengekplorasi pembumian al- Qur’ân dengan pelbagai pandangan Ulama yang dirujuk, memaparkan keistimewaan tafsir al Manâr, serta mengungkap kekurangan-kekurangannya. Khususnya buku yang kedua. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraish Shihab adalah bahwa Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas Karya M.Quraisy Shihâb; Tafsir al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2000), Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006), dan “Rasionalitas Al Qur’ân, Studi Kritis atas Tafsir al Manâr” (Jakarta: Lentera Hati 1428 H/ 2007 M). Tafsir yang bernuansa sosial kemasyarakatan ini benyak memuat pesan dan keserasian dari pelbagai keterangan ayat beserta pandangan Ulama’ dan Mufassir baik Klasik maupun kontemporer seperti Imâm al-Ghazali, Fakhruddin al-Râzî, Abû Hayyân, Ibn Âsyûr, al-Biqâî, dan masih banyak lagi. Dan kedua buku setelahnya selain mengekplorasi pembumian al- Qur’ân dengan pelbagai pandangan Ulama yang dirujuk, memaparkan keistimewaan tafsir al Manâr, serta mengungkap kekurangan-kekurangannya. Khususnya buku yang kedua. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraish Shihab adalah bahwa Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas

Pada variabel kedua penulis menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk tesis; pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ghozi Mubarak tentang prinsip-prinsip tafsir al-Imam al-Syâtibî dan ortodoksi tafsir Sunni, Penelitian ini berangkat dari perdebatan mengenai posisi al-Syâtibî , dari sebuah pertanyaan: apakah, secara sederhana, gagasan-gagasannya bisa digunakan untuk menentang

pandangan serta teori yang telah mapan dalam disiplin tafsir? Pertanyaan tersebut bersifat kontemporer, dalam arti bahwa ia diajukan untuk merespons penilaian orang lain di masa modern ini terhadap al-Syâtibî . Uraian tentang prinsip-prinsip tafsir yang dikemukakan al-Syâtibî serta evaluasi terhadapnya berdasarkan kriteria-kriteria ortodoksi memperlihatkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tafsirnya tidak bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.

Kedua, Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syâtibî : Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. dimana dia mengemukakan formulasi penetapan hokum modern dengan metode yang dikembangkan Syatibi secara integral dan Komprehensif.

Ketiga, Muh. Nurung “Maqâshid al-Qur’ân menurut Rasyîd Ridha” dalam Karyanya Al-Wahyu al-Muhammady, seri Disertasi UIN Jakarta 2008, boleh jadi Ibn ‘Âsyûr terinspirasi dari gagasan Rasyîd Ridhâ ini, namun perbedaan diantara keduanya nampak sekali.