Tekstualisme dan Problematika Linguistik

2) Tekstualisme dan Problematika Linguistik

Adalah menarik bahwa lukisan pengalaman-pengalaman mistik kerasulan dalam periode Makkah dan Madinah seperti disinggung dalam Al-Qur’ân (QS. 17:1 ;

53: 1-12 dan 13-18; 81 : 19-25) terlihat adanya ungkapan yang progresif dari cita religio-moral dan pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas muslim yang baru terbentuk, namun kita hampir tak menemukan alusi-alusi apapun dalam Al-Qur’ân tentang pengalaman-pengalaman batin. Hal ini sejalan degan orientasi kesadaran Kenabian dimana pengalaman spritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dengan

kata lain dinikmati sendiri, tetapi yang utama untuk memberi makna pada tindakan dalam sejarah. 197 Dalam spiritualitas Islam dan Syarî’ah-lah bermula dari munculnya gerakan pembaharuan Sufi (ortodoks) bertujuan mengintegrasikan kesadaran mistik dengan syarî’ah Nabi, hal tersebut bermula dari pertengahan kedua abad ke-3 H/9 M dengan kegiatan tokohnya, seperti al-Kharrâz mengemukakan subsistensi/survival (kelanggengan/baqâ) untuk memperluas dan memperbaiki doktrin al-Bustamî tentang ’annihilasi’ (fana’). Apa yang nampaknya ingin diartikulasian dari pencipta doktrin adalah bahwa subsistensi adalah suatu perkembangan spiritual dimana Yuhan

mengenugrah manusia dengan penemuan kembali dirinya. 198 Dalam Islam setidaknya terdapat Empat fase Spiritualitas Islam; pertama; Fase pra Sufistik yang meliputi Al-

Qur’ân, elemen-elemen ritual yang utama dalam Islam, dan peristiwa Mi’raj Nabi. Kedua; Fase Sufisme periode pertama seperti Hasan Al-Bashrî (w.110 H/728 M), Dzunnûn al-Mishrî (w. 246 H/861 M), Rabi’ah ’Adawiah (w. 185 H/801 M), Abû Yazîd al-Bisthâmi, al-Muhâsibi (w. 243 H/875 M), dan al-Junayd al-Baghdâdi.

mendukung keberadaan hokum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson. SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama, 34-53

197 Fazlur Rahmân, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 183-184.

Lihat Kasyf al-Mahjûb, oleh Abu ‘Ali al-Hujwirî, karya yang berharga tentang doktrin- doktrin Sufi, terj. Inggris R.A Nicholson (Gibb Memorial Studies), hal. 242 dst. Lebih lanjut lihat uraian Rahman dalam Islam, 198-199.

Warisan mereka sampai kepada kita melalui sekumpulan ucapan yang terdapat pada karya tulis ulama’ sesudahnya. Tahapan ini berawal dari Hasan Al-Bashrî hingga masa al-Niffâri (w. 354 H/965 M). Ketiga; Fase pembentukan kepustakaan Sufistik yang menunjukkan Sufisme sebagai satu modus kesadaran diri spiritualitas yang meliputi semua aspek kehidupan dan masyarakat. Fase ini bermula dari al-Sarrâj (w. 465 H/ 988 M); hingga masa al-Qusyairi(w. 465 H/ 1074 M). Keempat; Karya-karya gabungan dari para Sufi abad tujuh Hijriah seperti Attar, Rûmî (w. 672/1273 M) dan

Ibn ‘Arabi (w. 638/1240 M). 199 Kemudian pada abad 4 H/10 M, al-Kalabadzî (w. 385 H/ 995 M) dengan

mengutip seorang otorita Sufi (Hallâj) mengatakan; subsistensi (baqa’) adalah maqamât (station) Nabi-nabi yang dianugrahi Tuhan kedamaian dan itegritas (sakinah),karena apapun yang mereka peroleh tidaklah menghalangi mereka untuk

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan Tuhan’. 200

Klaim-klaim kaum Sufi diatas yang dijadikan Junaid al-Baghdâdi sebagai sasaran kritik baik dalam batas esoterik maupun praktek lahiriah mereka. Ia tidak menolerir dan menolak konsep Sufi tentang ‘tahapan-tahapan’ dalam kesadaran manusia, dan mengatakan mereka telah mati dalam keadaan menjadi tawanan dari buah khayalan mereka. Sebagai konsekwensinya Ia menjawab dengan mengemukakan prinsip bahwa pengetahuan (ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis

(ma’rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan. 201 Hasil dari proses doktrin Sufi mengasilkan kategorisasi yang berpasangan antara lain; (1)

199 Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-25.

Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-26 diadopsi dari kitab Ta’arruf oleh Kalabâdzî Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199..

201 Diadopsi dari kitab Ta’arruf oleh Kalabâdzî, Rahman menguraikannya kembali dalam, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Massignon harus dilakukan dengan hati-hati, sebab lanjut Rahman terkadang subyektifitasnya masih terasa kental. Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.

ketidaksadaran dan ‘sadar’ (2) ‘unitas’ dan perbedaan (3) ‘absensi’ dan presensi’(dari diri, dihadapan Tuhan, dan pengalaman mistik). Walaupun para Sufi belum dan tidak mampumerumuskan secara ekslplisit hubungan organis antara kategori-kategori dialektis mereka, namun doktrin mereka secara material memberikan sumbangan kepada penyelamatan hubungan mereka dengan ortodoksi (kompromi adoks) seperti

yang dilakukan oleh Ibnu Khâfif (w. 371 H/981 M). 202

Tafsir Sufi disinyalir sudah muncul pada akhir abad ke-2, dengan gaya tutur yang tidak linear dan bentuk bahasanya pada awal-awal munculnya diawali dengan

kata kunci dari Al-Qur’ân, sebut saja sekumpulan ujaran yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al-Shâdiq (w. 148 H/765 M), tafsir ini memunculkan kontroversial

seputar hubungan sufsime dengan syi’ah yang bermula dari ‘Ali (sebagai pemimpin). 203

Simbolisme huruf dalam Tafsir Ja’far diawali dengan frase: Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang,”frase ini dianggap bagian integral dari surah tersebut. Seperti ‘bismi’ (dengan nama). Kemudian huruf pertama pada potongan frase tersebut; ba’, sîn, mîm, dan setiap huruf akan dikaitkan dengan satu

kata kunci dengan kata dasar dari ketiga huruf itu. 204 Kemudian generasi selanjutnya seorang Sufi yang berdisiplin tinggi; Shal ibn

Abdullâh al-Tustari (w.283 H/986 M). 205 Karyanya merupakan ucapan-ucapannya yang dikumpulkan oleh muridnya yaitu Muhammad ibn Sâlîm (w. 297 H/ 909 M),

pengaruh Sahl terhadap karya-karya Sufi pada masa berikutnya sangatlah dominan

202 L.Masignon dalam recoil de texts inedits, hal. 80. dalam Rahman dalam, Islam terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.

203 Diadaptasi dari naskah Paul Nwyia dalam Le tasîr Mysticue Attribute a Ja’far Shâdiq Edition critique, “Melanges de Unicersite Saint Joseph 43 (Beirut, 1968) hal. 181- 23. Nwyia mengumpulkan

beberapa karya tafsir yang disandarkan pada Ja’far al-Shâdiq (w. 148/765 M) dari Haqâiq at-Tafsîr karya al-Sulami (w. 412 H/ 1021 M) yang diteliti oleh Nwyia bahwa Ja’far hidup di Madinah selama masa peralihan dari kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus kepada Bani ‘Abbâsiyyaah di Baghdad.

B untuk bahasa arab ba’: S untuk bahasa arab Sîn, M untuk bahasa arab Mîm . 205 Muhammad Shal ibn Abdullah al_Tustari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm (Cairo: Dâr al-Kutub

al-Gharbiyyah al-Kubrâ, 1329 H/ 1911). Lebih lanjut lihat Gerhard Bowering, The Mystical Vision of existence in Classical Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi al-Tustari (w. 283 H/ 896 M) (Berlin:Walterde Gruyter, 1980) al-Gharbiyyah al-Kubrâ, 1329 H/ 1911). Lebih lanjut lihat Gerhard Bowering, The Mystical Vision of existence in Classical Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi al-Tustari (w. 283 H/ 896 M) (Berlin:Walterde Gruyter, 1980)

Salim (w. 297 H/ 909 M). 206

Penerimaan kepada mukjizat dan kewalian pun disinyalir tumbuh sangat luas pada abad 4 H/10 M, dan bahkan filosof rasional sekaliber Ibnu Sina memberikan ruang dan tempat kepadanya dalam sistem anti-atomisnya, walaupun ia menerangkan mukjizat tersebut sebagai efek ‘alamiah’ dari kelebihan kekuatan pikiran (mind) atas benda (matter). Gerakan pembaharuan Sufisme bermula dari mulai beredarnya hadits-hadits baru pada abad ini 3 dan 4 H/ 10 M ini yang bermuara ganda untuk menggalakan Sufisme dan menariknya pada wilayah ortodoks. Hal ini terlihat semenjak munculnya karya-karya Sufi pada perempat akhir abad 4 H/10 M seperti al- Luma’ oleh al-Sarrâj (w. 377 H/987 M) dan pengantar menuju jalan Sufi oleh Kalabâdzî untuk menggalakan Sufisme moderat dengan struktur ide-ide yang konsisten yang menunjang langgengnya ortodoksi/pemahaman rigid atas teks. Kegiatan ini kemudian diikuti pada tahun 438 H/1047 M oleh al-Qusyairî (w.465

206 Lingkungan tempat al-Tustarî hidup dan mengajar telah dijelaskan oleh Bowering (Mystical Vision, hal. XX); adalah al-Tustari seorang penduduk Persia, Privinsi Khurasan, meninggal di Bashrah,

kota metropolitan arab yang terletak didataran rendah Irak. Tustari hidup dalam satu wilayah yang selama beberapa abad peradaban Iran dan dinasti Susian tela membatasi dan membuat garis tradisi cultural sepanjang Mesopotamia Utara. Hidupnya sendiri dihabiskan didua wilayah terebut ketika kekhalifahan Abasiyah (abad ke-3 sampai 9 H) menguasai dan menyerap tradisi Iran dan Hellenis kedalam pengaruhnya, kemudian mencampurkannya dengan kebudayaan arab dari peradaban Islam yang baru berkembang.

H/1073 M) dengan bukunya ‘Utusan (Risalah) Qusairiyyah’ yang masyhur, sebagai manifesto sintesa antara Sufisme dan theologi ortodoks. 207

Kemudian gerakan ini mencapai puncaknya pada masa al-Ghazâli (w. 505 H)- Hujjatul Islâm- penulis, Ia tidak hanya membangun kembali (reorientasi) Islam ortodoks, namun juga pembaharu Sufisme, dengan membersihkannya dari unsur- unsur tak Islami serta mengabadikannya kepada paham Islam yang ortodoks. Melalui

pengaruhnya Sufisme memperoleh restu dai Ijma’(konsensus masyarakat). 208

Apabila ilmu ushul fiqh dianggap sebagai metode yang bertanggung jawab atas (dasar) dalam berijtihad untuk memahami Nash al-Qur’ân dan istinbath hukum, maka sedikit sekali celah kesalahan dari ilmu ini yang akan menyebabkan mandegnya Ulama’ dalam berijtihad karena ia merupakan Induk dari ilmu Maqâshid Syarî’ah yang mempunyai tatanan kokoh, sebagai dasar asli dan tumpuan awal penyangga dari sesuatu yang berada diatasnya. Dengan kata lain pengejawantahan integral/general atas konsep-konsep yang partikular dari kaidah-kaidah fiqhiyyah secara khusus. Dengan demikian celah-celah kesalahan diatas berawal/bersumber dari keinginan untuk memperluas cakupan ilmu ushul dengan memasukkan hal-hal yang tidak

diperlukan oleh Mujtahid dalam beristinbat hukum. 209 Kalupun al-Syâtibî (1388 M) dipandang sebagai pendobrak gagasan kembali

Ilmu Ushul menjadi kokoh dengan Maqâshid al-Syarî’ah, seperti yang disinyalir beberapa pakar dan peneliti diatas. Lain halnya dengan Ibn ‘Âsyûr dia meletakkan Maqâshid al-Syarî’ah sebagai ilmu tersendiri tidak lagi menginduk pada ilmu Ushul Fiqh, karena ilmu Maqâshid al-Syarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan

207 Fazlur Rahman, Islam terj. Ahsin Muhammad (Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 200-203. 208 Fazlur Rahman, Islam hal. 202-205. dari sinilah kemudian lahir organisasi Sufi, sampai pada

perkembangan sekte dan gerakan pembaharuan modern dan perkembangan modern serta neo modernisme seperti yang diklaim Fazlur Rahmân bahwasanya ia masuk dalam kategori ini.

209 Lihat Ibn Mandzûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim (w. 117 H) dalam Lisan al-arab “Dâr Lisân al-Arab” Beirut, jld. 3 hal. 128., lihat juga Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-

Thabarî (w. 310 H), tafsir ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy al-Qur’ân, tahqiq Ahmad Mahmûd Muhammad asyakir Dâr al-Ma’arif, Mesir, jld. 3 hal.57. dan Ibn ‘Atiyyah, Muharrar al- Wajîz fî tafsîr al-kitâb al-‘azîz tahqiq Abdullah al-Anshari dan Sayyid abdul ‘ali Ibrahîm, cet. 1, jld 1 Qatar 1409 H/1988, hal. 487.

penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan sama yakni penelitian tentang” Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic Civilization), yang menurut kaca mata Ibn ‘Âsyûr, pemerhati penelitian tentang tema besar ini dan (Maqâshid Syarî’ah) membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas (tidak terikat dengan konversi persepadanan dengan qiyas), rinci dan detail dari kaidah- kaidah ushul fiqh.

BAB III