Metodologi penafsiran
c. Metodologi penafsiran
Metodologi tafsir al-Qur`ân secara umum terbagi kepada tiga macam, pertama Tafsir bi al-Ma’tsûr kedua tafsir bi al-ra’yi dan ketiga tafsir bi al-Isyâri (berdasarkan
isyarat/indikasi). 126 Metode tafsir ini dipahami sebagai seperangkat pedoman dan aturan yang dipilih oleh seorang penafsir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-
ayat al-Qur`ân demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya. 127 Dalam beberapa literatur, metode-metode tafsir yang kerap dibicarakan adalah
metode ijmâlî (global), metode tahlîlî (analitis), metode muqârin (komparatif), atau metode mawdû‘î (tematik). 128 Bila ditinjau secara menyeluruh, empat metode tafsir
diatas sejatinya lebih berurusan dengan bagaimana memilih ayat-ayat al-Qur`ânserta bagaimana mengolah dan menuliskan tafsir atasnya. Metode tafsir yang didefinisikan
125 Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 6-7 Dar-el Tunîsiyah linnasar. T. th. 126 Al-‘akk, ia mengadaptasi dari karya al-Shabûny, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, lihat lebih
lanjut dalam karya al-‘akk Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, Dâr al-Nafâis, Beirut-Libanon, hal. 35. 127 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hal. 2. 128 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, hal. 4. Al-Khâlidi menyebut empat
kategori tersebut dengan “bentuk-bentuk tafsir” (anwâ‘ al-tafsîr)—sesuatu yang didefinisikannya sebagai “rancangan-rancangan (khuthath), rincian-rincian (tafshîlat), serta gaya-gaya penulisan (asâlîb) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka mengaplikasikan pendekatan (manhaj) mereka masing-masing.” Lihat Salâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî, Al-Tafsîr al-Mawdû‘î bayna al-Nazhariyyah wa al-Tatbîq, hal. 27-28.
sebagai “seperangkat pedoman dan aturan untuk menafsirkan al-Qur`ân” tentu saja memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari empat kategori di atas.
Dalam hal ini Norman Calder menulis, 129 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia
hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing mufassir. 130
Pertama; Metode tafsir bi al-Ma’tsur (riwâyat); Tafsir yang menggunakan metode ini merujuk pada penafsiran Al-Qur’ân dengan Al-Qur`ân atau penafsiran Al- Qur’ân dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini merupakan dua tasir tertinggi diantara penafsiran yang ada karena mereka (Sahabat) menyaksikan
turunnya al-Qur`ân. 131 Kedua; Metode tafsir bi al-ra’yi (dirâyat); Jenis tafsir ini juga disebut dengan
dirâyah (berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tâbi’în. Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, dan
129 Tulisan Norman Calder diadaptasi oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya, kemudian dianalisa kembali oleh Yusuf Rahman melalui teori metode yang digunakan Nasr Hamid,
ditulis bahwa “Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.” Lihat Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 106.
130 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), hal. 105-106. 131 Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar
sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112, lihat juga Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 347. lihat ruang lingkup tafsir bi al-Ma’tsur dalam Jalâluddîn ‘Abdur Rahmân bin Abî bakar As-Suyûthi, al-itqân fî ulûm al-qur’ân, jld. 4, hal. 192. diadaptasi dari tafsir Ibn Katsir juz 1, hlm 3. Definisi tentang sahabat dapat dilihat di a’lâm muawwiqîn, jld 4 hal. 116-157. Al-Burhân fî ulûm al-qur’ân, jld.2 hal.172., al-itqân, jld.4 hal. 174- 181, al-Muwâfaqât, jld.3 hal.369.lihat juga muqaddimah Ibn Shalâh wa mahâsin istilâh hal. 486., Muhammad Husain al Dzahabi, al-Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.38-40.
pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains (pengetahuan) yang diperlukan oleh mereka (mufassir). 132
Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan menggunakan akal) yang berdasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akalsehat dengan persyaratan yang ketat. Tidak terikat pada pemikiran dan keinginan (hawa) nafsu dan kecenderungan-kecenderungan lain. Seperti dinyatakan oleh al-qurtubi bahwa barang siapa yang menucapkan sesuatu berdasarkan pikiran atau kesannya tentang Al-Qur’ân atau memberikan isyarat dengan sengaja tentang prinsip-prinsip dasar maka ia patut
dicap sebagai penyimpangan dan melakukan kesalahan serta yang bersangkutan adalah pembohong besar. 133
Nabi Muhammad diutus oleh Allah bukan sekedar menyampaikan pesan- pesan Al-Qur’ân, sekaligus ditugaskan untuk menjelaskannya kepada Umat manusia sebagaimana ditegaskan dalam ayat [44 dan 64 surah 16:Nahl]:
ωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$tΒuρ ∩⊆⊆∪ šχρã©3xtGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ ∩∉⊆∪ šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ïj9 ZπuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ ϵŠÏù (#θàn=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞΟçλm; tÎit7çFÏ9
Jadi berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami penjelasan yang diberikan oleh Nabi sepanjang melalui periwayatan yang shahih harus diterima karena semua yang disampaikan berasal dari wahyu dan bukan dorongan hawa nafsu [surah al- Najm 53:3-4], dan sebaliknya penafsiran selain dari Nabi Muhammad saw. bukan merupakan wahyu ia merupakan sebuah ijtihad yang boleh jadi benar dan tak mustahil salah. Disinilah letak urgensitas penafsiran, dimana mufassir dituntut menguasai ilmu-ilmu pengetahuan diniyyah terutama yang menyangkut komponen/perangkat tafsir sebelum menafsirkan, tidak hanya itu, ia harus mempunyai prinsip-prinsip tujuan penafsirannya sehingga apa yang dimaksud dengan
132 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus 1401 H, hal. 153-155.
133 Muhammad Zafzaf, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah alFalâkh, Kuwait 1984, hal178-180. hadits diriwayatkan oleh Turmûdzi dan Nasâ’i. Dengan redaksi makna ‘barang siapa
yang menafsirkan al-Qur’ân berdasarkan fikirannya maka ia akan menempati neraka’.
tujuan ideal (Maqâshid al-Qur’ân) akan dapat tercapai secara maksimal, tentunya hal tersebut sebatas kemampuan manusia, demikian Ibn ‘Âsyûr dalam pengantar
tafsirnya. 134 Dalam kitab Thabaqât al-kubrâ Ibn Sa’ad (w. 230 H) diceritakan bahwa
sejarawan Mûsa bin ‘Uqbah dititipi oleh Kuraiyb bin Muslim (w.97 H) ’sepikulan’ onta karangan (tulisan) gurunya Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman al-Qur’ân-. kemudian disebutkan bahwa ‘Ali bin Abdullâh bin Abbâs (w. 118 H) berkirim surat berkali-kali kepada Mûsa bin ‘Uqbah guna mendapatkan kumpulan karya ayahnya
guna ditulis ulang. 135 Buah pikiran Ibn Abbâs dalam tafsir banyak yang sampai
kepada kita melalui riwayat yang shahîh, terutama melalui jalur ‘Ali bin Abî Thalhah. Dalam tafsir ath-Thabary misalnya terekam sekitar 1000 riwayat melalui jalur ini walaupun, sebagian pakar melemahkannya karena ‘Ali bin abî Thalhah tidak meriwayatkannya secara langsung dari Ibn ‘Abbâs, namun belakangan diketahui “perantara” keduanya melalui murid Ibn Abbas yang tsiqah yaitu Mujâhid (w. 104 H)
dan Ikrîmah (w. 105 H) sehingga tuduhan tersebut tidak relevan. 136 Secara umum tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika berkembang pada
murid-murid Ibn Abbâs seperti Sa’id bin Jubair (w. 95 H), Mujâhid. Ikrîmah, al- Dhahhâk (w. 105 H) dan Atha’ bin Rabah (w. 114 H). Belakangan pada akhir abad kedua Hijriah mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dan penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu)
mulai diperkenalkan dalam bentuknya yang sederhana. 137 Seperti al-Asybah wa al-
134 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41-42. lihat juga penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Biltâjî dalam, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-Thaba’a
wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39. 135 Ibn Sa’ad Thabaqât al-Kubrâ, t.t. jld.5, hal. 216.
136 Ath-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hal. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Târikh Turats ‘Arabiy, Jld I hal. 180.
137 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tâhlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 16. lihat
juga Khâlid ibn ‘Utsmân al-Sabt, Qâwa‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dâr Ibn ‘Affân, 1421 H.), hal. 42; dan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, (Beirut: Dar al-Nafâis, cet. 2, 1986), hal. 32-33. pendekatan nahwu dilakukan oleh Abû aswad As-Du’aliy (w. 69 H), Nashr bin ‘Âshim (w’ 89 H), yahya bin Yamar (w. 129 H), Abu ‘Amr bin al-‘Ila (w. 145), dan Isa
Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil ibn Sulayman (w.150 H); Ma‘ânî al- Qur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah
Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.). 138 Tetapi orang yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân
adalah al-Syafi‘i (w. 204 H.) melalui karyanya, al-Risâlah. 139 Penafsiran terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada
dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah dan dimana tempat ia diturunkan, yang terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang
peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan, dan seterusnya, maka dalam hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang. Pertanyaannya adalah; apakah Nabi Muhammad saw. menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’ân ?
Aktifitas penafsiran al-Qur’ân yang dilakukan oleh para intelektual Muslim, dari generasi salaf hingga kontemporer, bahkan masa yang akan datang selalu berada dalam satu bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin, yakni to explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well
as to make the text understandable. 140 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni bagaimana seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qur’ân, sehingga pesan-pesan
bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku Ulama’ yang muncul belakangan.
138 Al-Jabirî, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqaâil ibn Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân.
Ulama’-ulama’ belakangan, seperti al-Zarkâsyî dan al-Suyûti, mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqâtil ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al- ‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77.
139 Khâlid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsmân al-Sabt menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syâfi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi
al-Qur`ân. Lihat Khâlid ‘Ustsmân al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut al- Syafi‘i dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsîr al-khitâb al-bayâni dan perintis terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî, hal. 17.
140 Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995), hal. 85.
Ilahi yang terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar. Dalam perkembangannya hingga saat ini, setidaknya ada tiga perbedaan pendapat di
kalangan Muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân. 141 Pertama, Pandangan Quasi - Obyektivis Tradisionalis. Menurut pandangan ini
ajaran-ajaran al-Qur’ân harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana al- Qur’ân diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada generasi
muslim awal. 142 Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwân al Muslimîn di Mesir dan kaum Salafi.
Pada beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qur’ân dengan bantuan berbagai perangkat metodologis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbâb al-nûzûl, ilmu munâsabât al - âyât, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih dan lain-lain dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective meaning/ original meaning) ayat tertentu. Seluruh yang tertera secara literal dalam al- Qur’ân, menurut mereka, harus diaplikasikan juga di masa kini dan masa yang akan
datang. Bagi mereka pesan utamanya adalah tetap ungkapan literalnya. 143 Kedua, Pandangan Quasi - Obyektivis Modernis. Pandangan golongan ini
hampir sama dengan pandangan golongan pertama, dalam hal, bahwa mufassir di
141 Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan penafsiran: 1) perbedaan bacaan (qira’at), 2) adanya perbedaan macam-macam I’rab meskipun ada kesepakatan bacaan, 3) perbedaan ahli bahasa
dalam memaknai sebuah kata, 4) adanya satu kata yang mempunyai makna ganda atau lebih, 5) adanya ambiguitas lafadz; antara mutlaq atau muqayyad, 6) adanya ambiguitas lafadz; antara umum dan khusus, 7) adanya ambiguitas lafadz; antara haqiqat dan majâz, 8) adanya kemungkinan penambahan kata, 9) adanya kemungkinan sebuah hukum itu mansûkh atau tidak, 10) adanya perbedaan riwayat dalam penafsiran yang datang dari Nabi SAW dan generasi salaf al-shalih. Lihat Khâlid Abd al Rahman, Ushûl al-Tafsir Wa Qawâ’iduhû, cet I, (Beirut: Dar al Nafais: 1986), hal 86.
142 Pada masa generasi muslim awal (sahabat) sumber yang digunakan dalam menafsirkan al- Qur’ân adalah al-Qur’ân, Hadist Nabi, Ijtihâd dan Quwat al Istinbât, dan ahli kitab; Yahudi dan
Nasrani. Hanya saja, banyak terjadi manipulasi riwayat yang disandarkan kepada Nabi oleh para tukang cerita. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab bin Umar: 2004), hal. 31-38.
143 Golongan ini berpegang kepada pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’ân kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau telah
menjelaskan kepada mereka seluruh lafal-lafalnya. Lihat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al- Tafsîr, tahqiq Adnan Z., cet I, (Kuwait: Dar al-Qur’ân: 1971), hal 35.
masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan, di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori- teori ilmu bahasa, sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran yang dianut oleh Fazlurrahmân dengan konsepnya double movement, Muhammad al-Syâtibî dengan konsepnya al-Tafsîr al-Maqâsidî dan Nasr Hâmid Abû Zaid dengan konsepnya al-Tafsîr al-Târîkhi al-Siyâqi, memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’ân di masa kini; makna asal
literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’ân. Bagi mereka, sajana- sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Syâtibî dengan al- Maqâshidî (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Nasr Hâmid Abû Zaid dengan maghzâ (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
Ketiga, Pandangan Subyektivis. Golongan ini menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar inilah, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat
al-Qur’ân ditafsirkan. 144
144 Lihat Sahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’ân pada Masa Kontemporer,
Makalah dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI pada tangal 26-30 November 2006 di Bandung. Masalah obyektifitas penafsiran, baik dari ketiganya tidak ada yang mampu mencapai pada makna teks Al-Qur’ân secara obyektif, mengingat keterbatasan potensi dan berbagai kekurangan yang dimiliki manusia, maka jauh dari memadai untuk mengetahui maksud Tuhan Yang Maha Sempurna dan Obsolut. Lihat Nasr Hâmid Abû Zaid, Al- Qur’ân, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, cet I, (RQiS; Bandung; 2003), hal 36. Oleh karena itu wajar ketika dikatakan bahwa hasil penafsiran seseorang hanyalah berupa prasangka- prasangka. Untuk selanjutnya pandangan ini menjadi peluang bagi para ahli takwil untuk bergerak lebih bebas dalam menyingkap dan megeksplorasi pesan makna al-Qur’ân. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam [Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 43-84
Golongan yang terakhir ini meyakini bahwa teks al-Qur’ân adalah rekaman kalâm Allah subhânahu wa Ta’âla yang abadi dan universal, sehingga tak ada
keharusan untuk mempelajari asbâb al-nûzûl (konteks turunnya ayat) 145 dan sejarah Rasulullah SAW. Bagi mereka cukuplah teks al-Qur’ân berbicara sendiri pada
pembacanya, jika sekiranya pembacaan 146 harus selalu dikembalikan ke masa lalu; situasi Arab ketika ia diturunkan, maka makna universalitasnya akan berkurang. 147
Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Syahrûr, yang mana dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Syahrûr menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat al-
Qur’ân ditafsirkan. 148 Ibn Taimiyyah mewakili kelompok pertama berpandangan bahwa Rasulullah
telah menafsirkan setiap lafadz dan makna-makna Al-Qur’ân kepada para sahabatnya yang mana hal ini wajib untuk diketahui, sebagaimana firman Allah ;”litubayyina
linnâsi mâ nuzzila ilaihim” 149
145 Dalam hal ini Syahrûr bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl tidak penting dalam penggalian makna asal al-Qur’ân. Pendapat semacam ini sudah ada sejak lama.
Setidaknya hal ini terindikasi dari sanggahan para ulama ulûmul qur’ân yang tersaji dalam bab asbâb al-nûzûl, yang kemudian menyajikan pendapat mereka tentang pentingnya mengetahui asbâb al-nûzûl dalam pembacaan al-Qur’ân. Lihat kitab-kitab ulûmul qur’ân bab asbâb al-nûzûl.
146 Muhammad Syahrûr menggunakan istilah “qira’ah atau pembacaan” mengacu pada wahyu yang pertama kali turun. Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil (istidlâl), merenungi
(ta’âmmul), menemukan (idrâk), memaparkan (isti’radl), dan menganalisa (tahlil), yang mana seorang pembaca, setelah melakukan aktifitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang ia baca. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus; Al Ahali: 2000), cet I, hal. 117. Al Ahali adalah media yang biasa digunakan Syahrûr dalam mempropagandakan pemikirannya di samping TV dan internet.
147 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 164. 148 Sahiron Syamsuddin hal 10. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam
[Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 41-84
149 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi ushûl tafsîr, hal 9.
Pandangan kelompok kedua menyatakan Rasulullah hanya menjelaskan sebagian kecil dari makna Al-Qur’ân kepada sahabat. As-Suyûthi (w.911 H) menguatkan pendapat Al-Khûbi (w. 637 H), bahwa riwayat yang shahih dari Nabi berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’ân sangatlah sedikit, bahkan riwayat yang datang
dari Nabi tentang persoalan itu pun sangat sedikit. 150 Pada periode kedua inilah sudah mulai banyak berkembang dan bermunculan hadits-hadits palsu ditengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan-perubahan sosial semakin menonjol maka timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah,
Sahabat dan Tabi’în. 151
Sebuah penafsiran dianggap bernuansa rigid bermula pada studi kajiannya yang mencakup segala sesuatu yang tak terlukiskan dalam wilayah kajian teolog yang ruang lingkup pengetahuannya tidak bersifat mesti (dharûriy), dan tak didapat
(muktasab). 152
B. Maqâshid Perspektif Ulama’ Salaf dan Khalaf Terdapat dua pandangan dasar yang kemungkinan besar hal ini dijadikan
sandaran pemikiran al-Maqâshidî oleh para pakar ushul yaitu makna dibalik teks dan dasar-dasar kemaslahatan (Ma’ânî manshûshah wa ushûl Mashlahiyyah). Kedua komponen disamping yang nampaknya terlihat dalam konsepsi yang ditawarkan
Imam al-Juwaini dan al-Ghazali. 153
Al-Burhân fî ulûm al-Qur’ân, jilid I, hal. 16. lihat biografi al-Khûbi dalam Syadzarât adz- Dzahâb,, jilid V, hal. 183. lihat juga al-Itqân fî ulûm al-Qur’ân, jld II, hal. 228.
151 Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’ân, Bandung Mizan. Cet. 19, hlm 72-73. 152 Tentang perdebatan ini lihat lebih lanjut dalam Abu Ishâk Ibrahîm bin ’Ali al-Shirâzi syarh
Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr al-Gharb al-Islami, 1988 vol.I hal.148-152. Abu al-Wâlid bin khalaf al-Bâji, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986 vol.I hal.170-171. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, al-Mankhûl min ta’lîqât al- Ushûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980 hal. 42-46; lihat juga al-Mustasyfâ min ‘ilm al-Ushûl, vol 2 (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I, hal. 10. Wael B. Hallaq, a history of Islamic Legal Theories Cambrigde University Press, cet. 1, 1997, hlm 37-38
153 Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al- ‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 41. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99.
Disiplin ilmu Maqâshid telah dibahas oleh pakar ilmu ushûl seperti Abû ’Abdullâh Muhammad ibn ’Ali (at-Tirmîdzî al-Hakîm) pada Abad ke-3 hijriah, yang disinyalir oleh al-Raisyûni (la’allahû aqdamu man wadha’a) sebagai pengkodifikasi pertama peneliti pertama khusus pada kajian Maqâshid al-Syarî'ah, juga pengguna pertama kalimat ”Maqâshid”, hal tersebut tercermin dalam kitabnya ”as-Shalâh wa
maqâsidihâ” yang sampai sekarang masih dapat diakses. 154
Pakar ilmu Ushul dan Fuqahâ’ dalam memakai istilah Maqâshid al-Syarî’ah ini mereka tidak membatasi makna secara (partikular), namun dengan menggunakan
makna general (kulliyat/al-‘Âmmah) yang inheren didalamnya makna partikular (juz’iyyat) atau adalah tujuan yang akan dicapai dan rahasia-rahasia (hikmah tasyrî’)
yang ditetapkan Allah untuk hambanya dalam setiap cabang hukum dari segala hukum-hukum-Nya (sunnatullah). 155
Maqâshid al-Syarî’ah perspektif al-Imam Haramain/al-Juwayni (w.478 H) dibagi menjadi dua, pertama; tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al-syar’îyyah) yang tidak tersurat (al-mustaqra’ah ghair al-manshûshah) yakni yang meliputi dasar-dasar kemaslahatan dalam syari’at, kedua; al-Maqâshid al-Syar’iyyah al-Mushtafâdah yakni yang tersirat dan integrated dalam teks syar’iyyah (al-nushûs al-syar’iyyah)
yaitu al-Qur’ân. 156 Demikian juga dengan al-Ghazâli dalam al-Mushtashfâ fî ’ilm al- Ushûl, bahwa pandangannya tentang Maqâshid al-syari’ah tidak lepas dari dua unsur:
pertama; Maqâshid al-syarî’ah sebagai dasar-dasar kemaslahatan (ka ushûl al- mashlahiyyah) dan yang kedua; Maqâshid al-syari’ah sebagaimana penjelasan-
154 At-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni Nasrun Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965. lihat ulasan Raisûny dalam Nadhâriyyat al Maqâshid 'ind
al Imâm al-Syâtibi (The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA. 1995) hal. 40. 155 Lihat Abdul ‘Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, cet. 1 1423 H/2002 M, hal. 19-20. lihat juga al-Ustâdz Allâl al-Fâsî, Maqâshid syarî’ah Islâmiyyah wa makârimuhâ, Maktabah Wihdah al- ‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963, hal. 3.
156 al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb, (Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2, juz 1, hlm 295. Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid
‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 41-45.
penjelasan/tujuan yang dimaksud. Nampaknya al-Ghazâli memperkuat pandangan gurunya. 157
Maqâshid perspektif al-Râzi (606 H) bertumpu pada dua landasan: pertama; bertolak dari pemilahan illat hukum hukum syari’at, kedua; fokus perhatiannya pada hubungan dan keterpautan pada peralihan dalil-dalil naql (teks) dari dugaan (al
dzann) kepada yana pasti (al qath’i). 158 Al-Âmidiy (w. 631 H) sebagaimana pendahulunya, al-Juwaynî dan al-Ghazâli. Hal yang baru dalam Maqâshidnya dengan
menekankan dasar-dasar kemaslahatan syari’at dalam men-tarjih (menguatkan) diantara analogi-analogi kemudian menjelaskan dan membatasinya pada (hifdz al-
nafs, al-’aql, al-din, al mâl, dan al nasl). 159 al Maqâshid al- syarî’ah perspektif al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm (w.660 H)
adalah penegakan maslahah dan menjauhkannya dari kerusakan (al mafsadah), sebagaimana dikatakan;
“Ketahuilah bahwa Allah tidak akan pernah memberlakukan hukum-hukum syari’atnya kecuali untuk kemaslahatan umat manusia yang diperuntukkan sekarang maupun yang akan datang, sebagai bentuk keutamaan bagi
makhluknya (tafadldlulan minhu ’ala ’ibâdihi) .” 160
157 Al-Ghazâli al-Mustasyfâ min ‘ilm al-Ushûl, (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I hal. 286-290. lihat juga Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl (Baghdad
Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M) tahqîq Ahmad al-Kubaysî, hal.159. lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 45-47. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 60-61.
Fakhruddin al-Râzî, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqiq Tahâ Jabiri Fayâdh Alwâni (Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al Islâmiyyah) cet-1 juz , hal. 388. lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar- Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 61-62.
159 Syaifuddîn al-Âmidiy, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah 1983) jld 4. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49-50. baca
juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 62-63. 160 Redaksinya sebagai berikut:
Lihat juga pernyataan al-Qarâfi yang menyatakan diletakkannya syari’at atas dasar kemaslahatan umum, dalam Syarh tanqîh al-fushûl, hal. 427
Poin-poin gagasan dan pandangan Tasyrî’î ‘Izz Ibn Abd al-Salâm sebagai berikut, pertama; fitrah manusia yang mampu mewujudkan dan menekankan kemaslahatan, dan sebaliknya, kedua; batas-batas kemaslahatan dan kerusakan (mafsadah) didunia yaitu segala problematika dalam kategori hukum mendesak/penting untuk segera diwujudkan (dlarûriyyât, Hâjiyyat, al Tatimmât wa al-Takammulât), ketiga; klasifikasi/susunan kemaslahatan didunia (sebagaimana poin
kedua) dan akhirat juga demikian (amal wajib, sunah muakkadah, mandûbât). 161
Demikian halnya dengan al-Qarâfî (w. 685 H) yang juga murid dari al-‘Izz Ibn abd al-Salam menekankan pada penegakan perbedaan dalam interaksi sosial masyarakat yang egelitarian (al-tasharrufât al-nabawiyyah), ia mendasarkan pandangan Maqâshid al-syarî’ah-nya pada penjagaan (al-murâ’ât) maksud dan tujuan (al-nushûs) yang tidak sejalan dengan cara dan aplikasinya, implementasi dalam penyampaiannya diupayakan menjelaskan perihal yang dikehendaki dan
(maqâmât al-Qadâ’ wa al-Imâmah). 162 al-Thûfî (w. 716 H) melihat bahwa menjaga kelestarian maslahah lebih kuat dasarnya dari Ijma’, dengan demikian ia menempati
posisi teratas (prioritas) dari ketentuan hukum syara’ (‘adillah al-syar’i), karena [dasar] sesuatu yang lebih kuat dari yang kuat menghasilkan yang kuat (lianna al-
aqwâmin al-aqwâ Aqwâ). 163
161 Al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr al- Jîl 1980) cet-2. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 50-
53. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al- Syâri’ 63-64.
Lihat al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 hal. 397. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al- Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 54-57.
163 Lihat lebih lanjut al-mashlahah fî al-tasyrî’ al-Islâmi wa Najm al Dîn alThûfî, hal. 71. 74, 120. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-
Syâri’ 65-66. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 60-62. baca lebih lanjut
Ibn Taimiyah (w. 728 H) dalam karyanya Majmû’ Fatâwâ ia menekankan bahwa mendasarkan ilmu dengan Maqâshid al-Syarî’ah merupakan pengkhususan fiqh terhadap agama. Kemudian menekankan Maqâshid al khamsah pada peribadatan untuk kelangsungan dan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi. Selanjutnya Syaikh al-Islam memfokuskan pada urgensitas permasalahan pada sadd al-Dzarî’ah, solusi dari illat hukum-hukum (ta’lîl al-hukm) kemudian menjelaskannya secara gamblang, selanjutnya memfokuskan pada nilai-nilai maslahah dalam kajiannya (secara makro), dengan memperhatikan pertimbangan, kaidah-kaidah serta alasan
penguatannya (wayubayyin mâ yatarajjah wa sabab al-Tarjîh), selanjutnya ia tidak lupa menyebutkan tujuan-tujuan ideal dan hikmah darinya (Maqâshid al-Syarî’ah wa
Hikamihi). 164 Demikian halnya dengan murid Ibn Taimiyyah, yaitu Ibn Qayyim al-
Jawziyyah (w.751 H) yang mendasarkan Maqâshid al-Syarî’ah pada empat prinsip pokok: pertama; memfokuskan pada penetapan tujuan-tujuan syariat [secara umum], penentuan sebab (illat) hukum dan cara penetapannya, kemudian menjelaskannya. Kedua; memprioritaskan problematika yang berkaitan erat dengan Maqâshid al- Syarî’ah, seperti permasalahan sebab hukum (ta’lîl), dan solusi [hukum] Hiyal, Sadd al-Dzarî’ah, yang dijelaskan secara luas dan mendetail. Ketiga; memperhatikan kajiannya pada tujuan-tujuan mukallifîn dan niat pelaksanaannya karena ia memiliki korelasi hubungan yang kuat dengan tujuan-tujuan peletak syari’at (maqâshid al- Syâri’). Keempat; ia memusatkan juga perhatian kajiannya terhadap problematika
hukum-hukum dan tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai. 165
al-Fatâwa Ibn Taimiyyah, ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs fî al Tasyrî’al- Islâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980, hal. 55.
164 Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al- Syâri’ 64. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 58-60.
165 Lihat Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa al- Idârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323 H cet. 1. hal. 2/2. lihat juga Ibn Taimiyyah, I’lâm al-
Muwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah al-Sa’âdah), tahqîq Muhammad Muhyiddin ‘abd al-Hamîd. Jld 3/14. Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 66-678. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 62-65.
Setelah dikemukakan berbagai perspektif Maqâshid al-Syarî’ah diatas, pada bab yang akan datang penulis melanjutkan dengan perbedaan pandangan al-Imam al- Syâtibi dengan Muhamamd Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam Maqâshid al-Syarî’ah, kemudian akan dejelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.