Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah

2) Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah

Setelah dikemukakan panjang lebar pada sub judul pertama tentang al-Sinâm keistimewaan/ (puncak/zahrâ’/terang benderang) surah al-Baqarah, perintah puasa berikut ini juga terdapat pada surah al-Baqarah [2:183-186], perintah/ajakan/panggilan mesra ini Kepada setiap orang yang memiliki iman walau

seberat apapun. 380

378 lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 478- 80. Bandingkan al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah,

Beirut Libanon), hal. 254-5. 379 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474.

380 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 bandingkan dengan lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-

1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376.

Kemudian Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) menjelaskan kewajiban puasa ia merupakan Ibadah (al-râmiyah) untuk melatih dan menyucikan diri. Redaksi perintah Diwajibkan atas kamu ini agaknya tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Ini untuk mengisyaratkan apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat pagi setiap orang/individu bahkan kelompok, yang seandainya bukan Allah yang mewajibkannya niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya, demikian

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh. 381 Para pakar mendefinisikan puasa sebagai menahan diri, sebagaimana maklum

penetapan waktunya, ayat pertama menjelaskan secara global kemudian penjelasan rinci pada redaksi ayat berikutnya sampai [2:87]. Menahan diri dibutuhkan semua orang, kaya miskin, muda tua, lelaki perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau primitif masa lalu, bahkan perorangan maupun kelompok, selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana diwajibkan pula atas umat terdahulu sebelum kamu. Puasa orang-orang muslim berbeda dengan puasa orang Yahudi dan Nasrani, Budha dalam batasan dan prakteknya tidak sama. Mereka berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi.

Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi-telah mengenal puasa. Dari mereke preaktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga

381 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.

1. hal. 375-376. lihat juga Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142-146, ditulis bahwa tujuan-tujuan puasa perspektif Ibn ‘Âsyûr ada dua; pertama adalah Nafsânî [ruhani] dapat mewujudkan manfaat dalam berperilaku (al-takhalluq) menahan keinginan-keinginan yang disukai, bersabar atas kelezatan [makanan] untuk perut dan al-farj, mengingatkan pada keadaan fakir, memantapkan spiritualitas ruhani diri, menguatkan instink untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah, kedua; Jismânî guna membiasakan dalam penyesuaian manajemen hidup (anzimat al-Ma’âsy), mengistirahatkan pola makan (irâhah Jihâz al-Hadlmî/metabolisme tubuh)guna membangun kesehatan secara optimal.

dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi, dan kristen demikian juga. 382

Ibn Nadhim dalam karyanya “al-Fahrasat” menyebutkan bahwa agama penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, kepada bintang Mars yang mereka percayai sebagai bintang nasib, dan demikian juga kepada matahari. Agama Budha dikenal puasa sejak terbit sampai terbenamnya matahari, dan puasa empat hari dalam sebulan, mereka menamainya

“uposatha” (hari pertama, sembilan, ke lima belas, dan kedua puluh. Bagi Ibn ‘Âsyûr penafsiran “min qablikum” sebagaiman umat sebelum kalian (Islam datang) seperti Yahudi Puasa orang Yahudi 40 hari, dan dikenal beberapa macam puasa sebagai bentuk penghormatan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka, seperti mereka menamai puasa peleburan dosa dengan kabbûr, pada hari kesepuluh bulan

ketujuh mereka sebut dengan tisrî dll. Demikian juga dengan agama kristen. 383

Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) melihat perbedaannya bukan hanya pada praktek, terdapat beberapa tujuan-tujuan (aghrâdlan) dari perbedaan ini: pertama; memperhatikan perintah ibadah ini dengan niat sungguh-sungguh (dalam pelaksanannya/ al-tanwîhi bihâ), yang telah diwajiban Allah sebelum umat muslim tidak lain karena kemanfaatan dan kemaslahatan, serta ganjaran yang besar, karena (ganjaran dan kebaikan didalamnya) sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat untuk bertemu/melaksanakan ibadah puasa ini, agar mereka tidak membeda bedakan dengan umat sebelumnya -karena berbeda jauh-.

Tujuan kedua; kemiripan/kesamaan perintah puasa dengan umat terdahulu sebagai bentuk peringanan terhadap (tahwînan ‘alâ) kaum muslimin (al mukallifin)

382 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz.

1. hal. 375-376. 383 Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera

Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. bandingkan dengan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 2, hal. 157.

pada pelaksanaan perintah ibadah puasa ini. Tujuan yang ketiga; pengaruh yang kuat atas (kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu) untuk menunaikan perintah puasa ini dengan optimistis ( dengan do’a harapan) (biquwwah tafawwuq),

sebagaimana dilakukan umat terdahulu. 384 Penjelasan tentang hikmah dari puasa ini sebagaimana redaksi yang terakhir

pada ayat [2:183], keterangan mafûl liajlih pada kalimat ﺐﺘآ, dan kalimat ّﻞﻌﻟ merupakan bentuk istiârah untuk makna “ ﻲآ” ataupun bentuk tamtsîliyyah untuk menggambarkan hikmah dari kehendak Allah atas perintah puasa yaitu menjadi

golongan orang-orang yang bertakwa. Taqwa berarti meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, terdapat dua kategori kemaksiatan yang harus dijauhi dalam perspektif Ibn ‘Asyur pertama menjauhi hal-hal yang sudah maklum yang menjadikan ketenangan/jernih dalam berfikir (yanja’ fi tarkihi al-tafakkur) seperti; minum khamr, judi, mencuri, ghasb dll. Maka akan bermuara pada hasil yang telah dijanjikan Allah yaitu ‘menjadi orang yang beruntung’-penulis-, dan ancaman bagi mereka yang melakukan perbuatan tersebut. yang kedua; hal ini tumbuh dalam tabiat/karakter manusia yaitu tumnbuhnya syahwat nafsu yang menjadikannya marah, syahwat makan dan yang lain, yang menumbuhkan kekuatan hawa nafsu untuk berbuat ‘maksiat’. Karenanya seorang muslim mu’min hendaknya menjaga dan melindungi dirinya dari kekuatan kadar-kadar hewani ini muncul dengan melakukan puasa

384 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 156-157, bandingkan dengan penafsiran al- Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon) juz

2, hal. 183-184. dengan mengutip hadits Qudsi diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah:

ِﻚْﺴِﻤْﻟا Kemudian ia menjelaskan dikhususkannya ibadah puasa ini karena ia milik Allah walaupun semua Ibadah dinisbahkan kepada-Nya, terdapat penekanan pada ibadah puasa ini, dari sekian ibadah yang lainnya. Rahasia tersebut diantaranya; pertama; puasa dapat mencegah dan menahan kelezatan pada diri beserta syahwatnya, hal ini tidak terdapat pada ibadah yang lain. Kedua; adanya rahasia antara (hamba dan Tuhannya) dibalik penunaian ibadah ini yang tidak ditampakkan kecuali bagi-Nya. Karenanya puasa dikhususkan dari sekian ibadah, yang boleh jadi dikerjakannya karena riya’ dan dibuat-buat, sekali lagi terdapat pengkhususan ibadah puasa dari yang lain.

sebagaimana mestinya, lebih-lebih seperti puasanya Nabi Dawud ‘alaihi al-shalah wa al-salam. 385

Kemudian Ibn ‘Âsyûr menekankan dengan mengutip hadits Nabi “al-Sawmu Junnah” bahwa target yang hendak idcapai adalah ketakwaan, menurut para pakar terdahulu dari golongan (al mâliyyîn dan al-Hukamâ’u al- Isyrâqiyyîn) hikmah puasa menurut mereka yakni meminimalisir dengan upaya penyucian dan menghindarkan dari sifat-sifat Hewani dalam diri semaksimal mungkin (biqadri al-imkân), atas dasar/dikarenakan dalam diri manusia mempunyai dua kekuatan; pertama ia bersifat

rohani yang melekat (rûhâniyyah munbatstsah) yaitu perasaan yang meliputi indra manusia, kedua; Hewani yang juga melekat (hayawâniyyah munbatstsah) pada setiap

jasmani/anggota tubuh manusia. Karenanya akibat-akibat yang ditimbulkan bersumber dari keduanya karena ketidak seimbangan antara ruhani dan jasmani, untuk mencapai tujuan puasa yang dimaksud hendaknya menyeimbangkan makanan (al-ghidâ’u). Kalaupun kekuatan ruhani yang dipupuk dengan menyedikitkan makanan yang masuk, maka sifat-sifat kemalaikatan dalam diri manusia akan muncul bahkan mencapai pengetahuan ma’rifat (mengetahui hal-hal yang tidak mampu

dicapai oleh nalar). 386

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 157. bandingkan dengan Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 377. ditulis bahwa kewajiban puasatersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan diduga ia diwajibkan kepadamu sepanjang tahun. Tidak! Malainkan hanya beberapa hari tertentu, dan itupunmasih meliha kondisi kesehatan dan keadaan kalian, karenanya barang siapa diantara kamu yang sakit yang memberatkan baginya puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa atau benar-benar dalam perjalanan bukan perjalanan yang biasa yang mudah, sehingga ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari yang lain, baik berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan itu.

386 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 159