Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer

C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer

Sebagaimana tulisan Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm mengelompokkan Ibn ‘Âsyur dalam Abnâ’ Madrasah Abduh, namun setelah penulis menelaah dengan seksama dari metode, corak, dan aplikasi Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsirannya memiliki perbedaan sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, namun

penulis juga menguatkan pandangan Abdul Ghaffâr disisi lain, penulis mensinyalir bahwa Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ selain pernah menjadi guru Ibn ‘Asyûr mereka [berdua] juga pioner dalam mengenalkan pendekatan metode penafsiran yang bercorak sosial kemasyarakatan (adab al-Ijtimâ’iy), yang nampaknya dalam tafsir Ibn

‘Âsyûr juga demikian. 399 Demikian juga dengan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa

al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumentalnya ‘Ali al-Shâbûnî. 400

398 Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41. bandingkan dengan prinsip-prinsip Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam tafsir al-Manâr juz.11. hlm 104.

lihat juga tilisan Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm, (Kairo:al-Majlis al-A’lâ li Riâyah al-Funûn wa al-adab aw al-Ulûm al-Ijtimâiyyah, 1963), hal.45; lihat juga Quraish Shihab, Studi Kritis, hal. 74.

399 Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût, Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul

Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al- Mishriyyah, 1986), hal. 93-94.

400 Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad Shalih al-Alûsi) dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M-

1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa rijâluhu, (Kairo; Dâr

Pembahasan terpenting untuk diperhatikan mengenai rigiditas/ortodoksi adalah bahwa ortodoksi/rigiditas kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik, dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau asumsi yang pada suatu masa tidak menjadi bagian dari ortodoksi bisa menjadi bagian darinya pada masa yang berbeda; begitu pula sebaliknya. Pada masa mihnah

(218-234 H./833-848 M.), 401 misalnya, pendapat bahwa al-Qur`ân merupakan sesuatu yang diciptakan (makhlûq) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi. 402 Sementara

pada masa-masa berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks. Demikian pula dengan metode tafsir mawdhû‘î. Pada tahun 1967, ketika Muhammad Mahmûd Hijâzî menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul al- Wihdah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Qur`ân al-Karîm, metode tafsir Mawdhû‘î masih

ditolak oleh banyak petinggi Universitas al-Azhar. 403 Belakangan, metode ini menjadi legitimasi ortodoks tafsir Sunni.

Karya Muhammad Husayn al-Dzahabî al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsir al- Qur`ân al-Karim: Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ, Analisis terhadap karya ini untuk menarik garis pembatas antara ortodoksi/rigiditas dengan deviasi dalam tafsir.

al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang meninggal sebelum Ibn ‘Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970.

401 Mihnah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan (makhluq) atau tidak. Prosedur ini diberlakukan

oleh khalifah al-Ma`mûn serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mu‘tashim dan al-Wâtsiq). Untuk detail yang lebih rinci, lihat M. Hinds, “Mihna”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mihnah oleh al- Mutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll, “Sunna”, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu, lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syi‘ah. Dan tidak berapa lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah kelompok mayoritas di luar Syi‘ah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 141.

J. R. T. M. Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu‘tazilî Qâdhî l-Qudhât Abû l-Hasan ‘Abd al-Jabbâr bn Ahmad al-Hamadânî (Leiden: E. J. Brill, 1976), hal. 1-3.

403 Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and

Sunnah: Methodologies of Interpretation, hal. 126-127.

Melalui penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpangan- penyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya.

Al-Dzahabî membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`y. Penyimpangan dalam tafsir bi al-ma`tsur terjadi akibat kesalahan pada sanadnya. Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafsîr bi al-ra`y terjadi dalam dua hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk

mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`ân dengan hanya memperhatikan

lafaznya dan mengabaikan konteksnya. 404 Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahabî mengembalikan sebagian besar

penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi prinsip orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`ân. Maka ketika al-Sulamî (w. 412 H.) menyatakan bahwa perintah “uqtulû anfusakum” dalam surah al-Nisâ` [4]:

66 bermakna “memerangi hawa nafsu”, 405 al-Dzahabî menganggapnya sebagai makna yang “tidak dikehendaki” (gayr murâdah) oleh teks al-Qur`ân. 406

Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu tidak sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata “mubsirah” dalam surah al-Isrâ` [17]: 59 dengan makna “[unta yang] bisa melihat”, meski sah secara literal, dianggap salah oleh al-Dzahabî lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat (siyâq al- kalâm)—konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar bagian teks itu sendiri. Kata “mubsirah” dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai “bukti yang jelas

tentang kebenaran kenabian”. 407

404 Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19. 405 Al-Sulami, Haqâ`iq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hal. 154. 406 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. 407 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 22. Bandingkan dengan al-Qurthubi, Al-Jâmi‘

li Ahkâm al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hal. 27.

Selanjutnya, al-Dzahabî menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah (al- akhbâriyûn wa al-qushsuas), para ahli nahw yang berafiliasi kepada mazhab nahw tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, kelompok Muktazilah dan Syi‘ah, kelompok Khawârij dan para sufi, para pendukung tafsir saintifik (al-tafsir al-‘ilmî), serta para penyokong gerakan pembaharuan dalam tafsir.

Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhbâriyyûn wa al-qushas sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga. Maka ketika al-Khâzin (w. 741 H.) mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan Nabi Ayyûb dalam tafsirnya atas

surah al-Anbiyâ` [21]: 73-74, 408 al-Dzahabî menyangkal kandungan kisah tersebut dengan menulis, “Al-Qur`ân dan hadits (al-naql) telah menyatakan dengan tegas

bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa melekatkan wibawa pada diri mereka….” 409

Para penganut mazhab nahw yang fanatik, menurut al-Dzahabî, seringkali mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini (bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyarî (w. 538 H.) dan Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-An‘âm [6]:

137, 410 menolak sebuah qirâ’`ah yang mutawâtir dengan anggapan bahwa qirâ`ah

408 Al-Khâzin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma‘âni al-Tanzîl (ttp.: Dâr al-Fikr, tt.), vol. 3, hal. 268-273. 409 Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahabî mengutip surah al-Baqarah [2]: 247,

“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thâlut menjadi raja kalian.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin Thâlut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?’ [Nabi] menjawab, ‘Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.’ Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas, Maha Mengetahui”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 35-36.

410 Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut. öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% šÅ2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š¨y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ 410 Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut. öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% šÅ2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š¨y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ

Zamakhsyarî maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nahw yang dia anut sebagai penilai kitâbullâh. [Sebaliknya], kitâbullâh adalah sumber yang harus dirujuk dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang terjadi di antara

para ahli nahw.” 412 Diskursus penelitian tafsir yang mengkaji Maqâshid sebagai metodenya

dengan tujuan dan maksud menyingkap kehendak al-Syâri’ dibalik makna teks perspektif Ibn ‘Âsyûr (w.1393 H), sejajar dengan pengkajian pendasaran norma- norma hukum-hukum syari’ah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, dalam pandangan Ibn Âsyûr dibagi menjadi dua tingkatan; pertama; Tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai dalam interaksi sosial kemasyarakatan (Maqâshid), dengan senantiasa melestarikan dan menjaganya serta mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan sekarang dan akan datang. Kedua sebagai aspek perantara (wasîlah) yang

selalu mengiringi dan mengikuti keadaan dari aspek pertama (Maqâshid) diatas. 413

Penafsiran dan prinsip-prinsip yang dibangun Ibn ‘Âsyûr berupaya mewujudkan esensi dari problematika kehidupan sosial dengan tujuan-tujuan idealnya (Maqâshid) dengan (wasîlah) sebagai perantara pada kajian selanjutnya. Kajian mua’malah (tujuan dan segala aspeknya) diatas belum ada yang membahasnya secara mendalam dan rinci, kecuali yang telah diadopsi, seperti kajian yang pernah dilakukan oleh Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm dengan kaidah-kaidah-nya, dan mengelaborasinya dengan kajian al-Qarâfî. Kemudian Ibn Âsyûr menyederhanakan kajiannya, nampaknya disejajarkan dengan kajian Sadd Dzarî’ah (menutup celah yang memungkinkan terbukanya pintu kedurhakaan), karena terdapat

411 Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, vol. 2, hal. 66-67 dan Ibn ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsir al-Kitab al-‘Azîz (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hal. 349-350.

412 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 43. 413 Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-

Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 413.

kemiripan/kesamaan, dan disebut demikian karena pencegahan bahaya sebagai perantara dan titik awal bertumpunya untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang

dimaksud. 414 Bagaimanapun juga Ibn’Âsyûr memiliki kekurangan sebagai mufassir disalah

satu sisi, dan tegas dalam artian tidak menolerir misalnya pada mereka yang mengklasifikasikan ketidakrunutan tata letak surah sebagaimana dituangkannya pada mukaddimah, salah satu sisi ini ia dapat dikategorikan pada sebuah pandangan yang rigid, karena Ibn ‘Âsyûr tidak mengemukakan alasan-alasannya kenapa hal itu tidak

layak diperbincangkan, disisi lain merupakan kontribusi pada kajian kequr’anan dalam wilayah tidak perlu diperdebatkan (tawqifi). 415

Pada akhirnya elaborasi metode kontemporer/kontekstual dalam memahami al-Qur’an terus berkembang sejalan dengan berkembangya informatika dan globalisasi, mulai dengan mengklasifikasi tema-tema secara objektif, kemudian menata, melacak, (waktu maupun tempat) dengan memotret urgensitas asbâb al-nuzûl dalam melikat konteks turunnya ayat, (baik keumuman lafadznya maupun kekhususan sebabnya), penelusuran kemurnian/keaslian arti linguistik, yang kemudian dikonfirmasikan dengan karya-karya tafsir sebelumnya, sementara faham

sektarian, dan riwayat berbau isrâiliyyât harus dihindarkan. 416

414 Lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarîah al- Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 413.

Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1, hal. 8. lihat juga uraian Ayâd Khâlid Thabbâ’, , ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7

416 Lihat ‘Âisyah ‘Abd Al-Rahmân Bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo, Dâr al-Ma’ârif , 1968), cet-2, Jld. 1, hal.10. lihat juga Issa J. Boulatta dalam Modern Exegesis:

A Study of Bint Shâthi’s Methods”, The Moslem World, vol. 64 (1974), hal. 107. baca juga disertasi Ahmad Syukri Shaleh dalam, Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahmân (GP Press dengan Sultan Thaha Press 2007) cet-1, hal. 1-7.