Perbedaan Maqâshid al-Syâtibî dengan Ibnu ‘Asyûr

1) Perbedaan Maqâshid al-Syâtibî dengan Ibnu ‘Asyûr

Pandangan umum tentang Maqâshid al-syarî‘ah, seperti diklaim sendiri oleh

Al-Syâtibi, 167 telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis. Al- Syâtibi (peletak kembali dasar ilmu ushûl) dalam konsep Maqâshid-nya

(induktif/istiqra’) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidak saja menandai pergeseran epistemologis di bidang usûl fiqh, melainkan juga di

bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân. 168

166 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan, ‘Abid al-Jabiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-

Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Âbid al- Jâbirî, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sîl al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Sebelum Ibn Âsyûr mengelaborasi kembali konsep al-Syâtibi, Maqâshid al-syarî’ah telah digunakan al-Tirmidzî al-Hâkim (w. 318 H.), Abû Mansûr al-Mâturîdî (w. 333 H.), Abû Bakr al-Syasyî (w. 365 H.), al-Bâqillânî (w. 403 H.), al-Juwaynî (w. 478 H.), al-Gazâli (w. 505 H.), ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H.), al-Tûfî (w. 716 H.), dan lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep Maqâshid al-syarî’ah. Hammâdî al-‘Ubaydi menyebut nama Ibrâhim al-Nakha‘î (w. 96 H.), seorang tâbi‘î, sekaligus guru dari Hammad ibn Sulayman yang kemudian menjadi guru Abû Hanifah. Lihat Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibi wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 134. Sementara ‘Abd al-Rahmân al- Kaylânî menganggap al-Juwaynî (w. 478 H.) sebagai orang pertama yang mengenalkan konsep tersebut. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi ‘Ardlan wa Dirâsatan wa Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14, bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Ahmad Al-Raisûny dalam nadhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy cet IV th 1995 hal 39-71.

167 ‘Abd al-Rahmân al-Kaylânî menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Syâtibi di bidang Maqâshid al-syarî’ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika

dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Muwâfaqât. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al- Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M hal. 14. Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âli al-Sa‘îdi bahkan membandingkan jasa al-Syâtibî dalam perumusan Maqâshid al-syarî’ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan usul fiqh. Lihat Hammâdi al-‘Ubaydî, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 132.

168 David Johnston mensinyalir bahwa al-Syâtibi membuka kran penafsiran dengan menggunakan metode hermenetik. Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology and

Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Al-Syâtibi memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`ân. Wael B. Hallaq, misalnya, menyatakan bahwa metode induksi yang dirumuskan al-Syâtibi, “yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan

Ibn ‘Âsyûr (w.1394 H) mengelaborasi konsep Maqâshid yang telah dibangun Al-Syâtibi, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular (tajâwaz al- manha al-tajzî’iy...) untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari kompleksitas pelbagai problematika sosial yang berkembang dimasyarakat, dengan mendasarkan

(mendahulukan) kepentingan umum atau mayoritas atas individu. 169 Konsep ini disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Târîkhiy seperti yang pernah dilakukan

oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmân. 170 Maqâshid syarî’ah yang dibangun al-Syâtibi disebut ‘Âbid al-Jâbiri sebagai

“I’âdah ta’sîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul) yang kemudian diikuti oleh muridnya Abdul Majîd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasar

metodologi dalam beristinbath hukum. 171

semangat hukum—tanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentu…telah membuat teori tersebut menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat mengekang dari teks-teks yang diwahyukan.” Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Abid al-Jâbirî bahkan menyatakan bahwa al-Syâtibi melakukan modifikasi atas asumsi- asumsi dasar epistemologi bayânî—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubîn. Lihat Muhammad ‘Âbid al- Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzûm al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dâr al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`an harus mempertimbangkan aspek Maqâshid al-syarî‘ah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdullâh Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât, karya al-Syâtibi. Lihat Fahmi Huwaydî, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. 5, 2002), hal. 53-56.

169 Muhammad Thâhir al-Maysâwi, Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah, Dâr al-nafâis-Urdun,, 1421 H/2001, hlm 96-100.

170 Seperti ditulis oleh Thâhir al-Maysâwi, bahwa tulisan ini disadur dari Muhammad Syaikh Mahdi Syamsuddîn dalam, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr al-Ijtihâd Beirut)1411/1990 hal.

49-50. lihat lebih lanjut Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah cet.1 1419 H/1999 ) hal. 73-74. lihat juga karya Baqr Shadr al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât. Lihat kemiripan ungkapan Fazlur Rahmân the Major Themes of The Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. dan buku Rahmân sebelumnya Islam and Modernity, Chicago:The University of Chicago Press, 1984). Bandingkan dengan Hammâdî Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.

171 Lihat Abdul Majid Turki Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal 512. lihat juga, ‘Abid

al-Jâbiri, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-

Terkait dengan pendasaran kembali ilmu (ushûl) inilah terlihat urgensi gagasan Ibnu ‘Âsyûr ketika hendak mengelaborasi pandangan pendahulunya yang disebutnya dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang integral, karena lanjut Ibn ’Âsyûr kajian ilmu Maqâshid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian dari kajian ushûl tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyrî’. Namun sebaliknya, ia

hanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum dari cabang-cabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari Al-Qur’ân, sebagai kajian untuk menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai

kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqîh dalam berijtihad). 172 Pandangan dan gagasan Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) tentang ilmu Maqâshid al-

Syarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic Civilization), dalam pandangan Ibn ‘Âsyûr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah- kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah pakar ushul fiqh yang ada selama ini. Karena menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan akan lebih elastis

‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. baca Tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 86-95

172 Lihat Abdul Majîd Turkî Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat

Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syari’ah dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang egeliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushul) baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. Lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 98-102 dan 113-114.

dan tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk menyelesaikan problematika hukum dimasyarakat, dengan mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyas yang disinyalir memiliki persamaan muatan teori,

namun dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik itu tidak menjadi utopis. 173

Tolok ukur yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan

secara berkesinambungan? 174 Saîd Ramadhân Al-Bûty menambahkan perbedaan pandangan manfaat terjadi pada para filsuf dan psikolog, keduanya mempunyai tolok

ukur yang berbeda dengan pakar ushul. Ketika berbicara tentang filsuf dan psikolog (Ulamâ’ al-falsafah wa al-akhlâq), adalah mereka yang memforsir dan menguras pikiran dan pencarian mereka pada materi oriented, dan hanya sebagian kecil dari

mereka mengkorelasikannya dengan semangat beragama (sosial kemasyarakatan). 175