Kebebasan, Kemaslahatan dan batasan-batasannya

C. Kebebasan, Kemaslahatan dan batasan-batasannya

Hurriyah/ kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn ’Âsyûr dalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimâ’i al-Islâmi ia berarti lawan dari

173 Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al- Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal.20-21. lihat juga

tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-91.

174 Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah Risâlah, 1987) hal. 27-28,"Maslahah tidak lain adalah kemanfaatan yang dimaksudkan Allah yang

Maha Bijak (Al Hâkim) untuk umat manusia, yang senantiasa dipelihara agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya, -ditetapkan secara hirarkis-, dan kemanfaatan itu adalah ketentraman (keberkahan-penulis-) yang abadi atau menuju -kebahagiaan- yang abadi", lihat juga uraian Al-Imâm Izzuddin 'Abd Al-Salâm seperti ditulis oleh Abdullâh Yahya al-Kamâli dalam "Maqâshid al syarî’ah fî dhau'I fiqh al Muwâzânâh (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon), hlm 10. mempunyai pandangan "bahwa maslahah dan mudharat baik dunia maupun akhirat; dalam tingkatan â'lâ , âdnâ,- mutâwâssit dan ketiganya terbagi dalam yang muttâfaq (disepakati) dan mukhtâlaf fîh (diperdebatkan). Dan “al-ahkâm fî maslahah al anâm” tahqîq 'Abdul Ghâniy al Dhuqr (damaskus dar athToba', 1992) hlm 27. bandingkan dengan pandangan Syaltût dalam Islam 'Aqîdah wa Syarî’ah , dar- el Syurûq 1975 ,hlm 496, lihat juga 'Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177- 181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al nushus al juzyiyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.

Saîd Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah Risalah, 1987) hal. 29-30.

diperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secara umum [lishâlihi al-basyar ajma’în], Ustadz ’Allâl juga mengklasifikasikan beberapa bentuk kebebasan yakni; Hurriyyatu al-Îmân, Hurriyyatu al-Wathaniyyah, Hurriyyatu al-Fardliyyah, Hurriyyatu al-Siyâsah, Hurriyyah al-Bahts al-’Ilmiy, dan

Hurriyyatu al-’amal. 176 Sejatinya makna Hurriyyah telah dipakai dari tahun III Hijriah dengan

pemahaman segala pekerjaan yang mampu dikerjakan manusia/yang bersangkutan dengan catatan [pekerjaan] tersebut tidak menghalangi urusan orang lain (amrun ghairihi). Selanjutnya Ibn ’Âsyûr mengalihkan pembicaraan mengenai kebebasan yang beredar dizaman kekinian, yaitu segala perbuatan/pekerjaan yang diinginkan setiap individu [manusia] tanpa ada [kemungkinan] yang menghalangi kenginginannya tersebut sesuai dengan ukuran keberadaannya (Bimiqdâri

imkânihi). 177

176 Lihat Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-2. lihat juga Thâhir

Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nidhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. lihat juga ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Baidhâ’)1963/1383, hal. 244- 256. dari sekian klasifikasi bentuk kebebasan diatas hendaknya berdasarkan keyakinan kepada wahyu [al-Qur’ân], karena kesemuanya mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban masing-masing kelak, demikian ‘Allâl al-Fâsî. Baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.

177 Lihat juga Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. Lihat Maqâshid al-

Syarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al

Dalam perjalanannya, problematika kajian hukum Islam (syarî’ah) yang telah disinggung diatas dituntut mampu menyesuaikan konteks, sehingga dalam konteks inilah ia mempunyai muara/tujuan ideal yang hendak dicapai dari Maqâshid al- syarî'ah (maksud-maksud/tujuan hukum) yaitu kemaslahatan manusia secara makro di dunia dan akhirat, dalam entitas tujuannya Ibn ‘Âsyur juga menyebutnya sebagai membangun tujuan-tujuan ideal/utama dalam frame norma-norma hukum ( Maqâshid

‘ala washafi al-Syarî’ah al-A’dham ), ia merupakan fitrah. 178 Kemudian Ibn ‘Âsyur mendefinisikannya fitrah itu sendiri sebagai aturan-aturan/norma yang dibuat oleh

Allah diperuntukkan untuk setiap makhluk hidup. Definisi ini bersumber dari (surah ar-Rûm [30:30]) yang kemudian ditafsirkan. 179

Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-1. bandingkan dengan ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr al- Baidhâ’)1963/1383, hal. 244-256., demikian ‘Allâl al-Fâsî. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar- Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.

178 Lihat keterangan ini dalam Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (tahqîq Muhammad Thâhir al-Maisawi, Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) hal. 259-261.

179 Lihat penafsiran al-Râzî yang dikutip Ibn’ Asyur dalam Tafsîr al-Kabîr/ Mafâtîh al-Ghayb, (Beirut, (Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1990) Jld 13, Juz 25, hlm 105. ia menafsirka ‘fitrah Allah’ yaitu

ketauhidan-Nya, karena Allah –Jualah yang menjadikan adanya fitrah manusia, dan ciptaan Allah tidak akan pernah tergantikan (Lâ tabdîla likhalqillâh), keesaan yang melekat pada sifat wajib bagi Allah. Bandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr al- Ta’wîl, ia menafsirkannya dengan penciptaannya, dan kemampuan makhluk penciptannya untuk menangkap kebenaran akan agama Islam, dan tidak mampu seseorangpun untuk merubah ciptaan-Nya ini...lihat (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) jld-2, hal. 220. Ibn ‘Atiyah dalam Muharrar al-Wajîz fî tasîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm ‘Abd al-Syâfî Muhammad dinyatakan banyak perbedaan pandangan dengan kalimat fitrah ini, yang menurutnya ia dinisbatkan kepada (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) juz 4, hal 336

Senada dengan Al-Ghazâli dan al-Syâtibi, 180 Ibnu 'Âsyûr berpandangan bahwa tujuan utama syariat adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori

hukum, yang disebutnya sebagai Al-Dharûriyyat (primer), Al-Hâjiyyat (sekunder) dan Al-Tahsîniyyat-(terrier), namun baginya belum cukup untuk membuka kran/jalan berijtihad dan menempatkannya/memposisikan dalam kajian yang tepat (wa tuqîmuhâ ‘alâ asâs makîn) atau hematnya (khâssah) penelitian yang memfokuskan tegaknya norma-norma agama untuk memprioritaskan kemaslahatan umat secara general dengan pelbagai problematikanya secara global yang berkaitan dengannya, ini

ditekankan kalaupun tujuan umum diletakkannya Syarî’ah untuk memelihara norma- norma kemasyarakatan (hifdzu nidhâm al-ummah). 181

Maksud/tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing kategori tersebut adalah untuk memastikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat. Karena dasar dan asas syari’at tersebut sudah barang tentu/semestinya mengandung

keadilan dan hikmah yang terbaik bagi umat manusia 182 .

180 Imam Al-Syâtibi pemilik nama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lâkhumi al- Ghûrnâti, Abû Ishâq, dia membagi dua model Ijtihad yaitu istinbâti dan tatbîqi, dalam memahami al-

Qur’ân pandangan as-Syâtibi hendaknya maksud/tujuan Syarî’ah dari bahasa arab, uslub-uslubnya, 'am dan khâs, munâsabah ayat dan sûrah, I'jâz, dengan mengetahui dialektika arab maka akan dapat memahami Al-Qur'ân, karena dialektika arab merupakan terjemahan dari Maqâshid as-Syari' itu sendiri (lihat lebih lanjut al-Muwâfaqât 2:65-66 dan 4:324) tahqîq Abdullâh ad-Darrâz dar-el Ma'rifah Beirut.

Karena kepiawaiannya dalam berbagai bidang keilmuan ia banyak memperoleh gelar kebesaran seperti al-Hâfidz, al- Jalîl al-Mujtahid. Penulis al-Muwâfaqât dikenal dengan sebutan Bapak Maqâshid Syarî’ah, kepiawaianya dalam materi fiqh, sampai ada suatu ungkapan peletak Ilmu Ushûl Fiqh itu Imâm Syâfi'I dan pengembangannya dilakukan oleh Al-Syâtibi-lihat lebih lanjut dalam Ensiklopedia Hukum Islam, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta cet VII h. 1699-0.

181 Lihat kembali dalam A-Muwâfaqât tahqîq dirâsah Abdullâh Darrâz wa I'dâd Ibrahîm Ramadhân, (Beirut, dar el-Ma'rifah cet-2 1416 H/1996) juz 1, hal. 30. , dan lihat kembali Ibnu 'Âsyûr

Maqâshid al-Syarî'ah al-Islâmiyah (Dar al-Nafais Linnasar, Urdun 2001) tahqîq M. Thâhir al-Maisâwi hal. 92, 93, 300-2. bandingkan dengan Muqaddimah Ibn Khaldûn tahqîq Durwaeisy al-Juwaydî, (Beirutal-Maktabah al-‘Ashriyyah cet-2 1997/1416 H), hal. 43. ditulis bahwa Maqâshid al-Syarî’ah Fî al-Ahkâm kulluhâ mabniyyatun ‘ala al-Muhâfazah ‘Ala al-‘Umrân. Lihat juga Dirâsat fî fiqh Maqâshid al-Syarî'ah karya Yusuf al-Qaradhâwî.(Dâr-el-Syurûq, 2006), lihat juga tulisan Hammâdî Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99.

182 Ibnu ‘Âsyûr Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (tahqîq Muhammad Thâhir al-Maisawi, Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) h. 301, Lihat lebih lanjut al-Ghazâli dalam karyanya al-Mustasfâ fi 'ilmi al-

'ushûl tahqîq Dr. Muhammad Sulaiman Asyqar (Beirut Muassasah ar-Risalah 1417 H/1997) jld. 1 h. 417-421. lihat lebih lanjut uraian Maqâshid syarî’ah dalam sejarah teori hukum Islam terj. Dari A

Dharûriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang medesak/primer), Pandangan Ibnu ‘Âsyûr mirip dengan taksonomi al-Ghazâli (w.505) dalam al- Mustasfâ-nya, dan al-Syatibi (w.1388 H) terhadap kebutuhan primer yang harus dipelihara sejalan dengan kemaslahatan yaitu; hifdzu ad-Dîn, an-Nufûs,wa al-'uqûl, wa al-amwâl, wa al-ansâb, kemudian al-Qarâfi dan Tajuddin as-Subkî menambahkan al-a'râdh sebagai sub kategori dharûriyyat, penambahan tersebut ditolak oleh Ibnu 'Âsyûr karena menurutnya (kehormatan/harga diri) termasuk dalam kategori hâjiyyat (sekunder), sebagaimana al-Ghazâli tidak menempatkan a'râdh

dalam kategori dharûriyat, menurutnya harga diri telah ditanamkan sejak dini dan telah tertancap kuat dalam kebiasaan, yang kemudian pada perkembangannya dengan memanfaatkan syariat semaksimal mungkin untuk dapat mencapai keutamaannya

(harga diri). 183 Hâjjiyat (secara bahasa berarti kebutuhan/sekunder), adalah merupakan aspek

hukum yang meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa beban, tertekan dan terkekang, dan harus ditunaikan/dilaksanakan sesuai karena kebutuhan. Seperti; nikah, kebolehan jual beli dengan cara 'araya yang

history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-256.

183 Ibnu ‘Âsyûr , Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah 306, Hammâdî Ubaydi menambahkan Ibnu Rusyd (lahir 520H/1126M), Ibnu Rusyd wa al-‘Ulûm al-Syarî’ah al-Islâmiyah,(Dâr-el Fikr al-Arabiy,

1991) h.99-101, bahwasannya :"keberlangsungan kehidupan manusia tidak stabil apabila kelima hal diatas tidaklah tercukupi (terselamatkan). Demikian Ibnu Rusyd mengutip pernyataan al-Syâtibi dalam Muwâfaqâtnya juz 1,hal. 13. disisi lain Ibn Rusyd seperti yang ditulis Hammâdî Ubaydî (tahqîq Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hal.17) mengadaptasi Ibn Âsyûr yang mengatakan bahwa seorang fakih tentu membutuhkan pemahaman Maqâshid al-Syarî’ah dan belum cukup kalau hanya memiliki keahlian dalam ilmu ushul untuk melakukan penafsiran karena secara global ia hanyalah kumpulan dari segenap kaidah-kaidah yang mengartikulasikan makna lafadz-lafadz dan pemahamannya serta menyingkap makna dibalik teks dengan menggunakan metode qiyâs.

menimbulkan resiko, 184 kemudian dengan memperingan pelaksanaan ibadah dalam keadaan sakit. 185

Tahsîniyyat (secara bahasa berarti sebagai hal penyempurna/terrier) dengan menyempurnakan keadaan dalam berkehidupan yang bermasyarakat, sehingga hidup dengan aman, tentram dan sentausa. Saling bahu-membahu sebagai makhluk sosial yang berperadaban dan berbudi luhur, dengan menciptakan lingkungan yang

kondusif. Seperti bersedekah, memerdekakan budak, dll. 186

184 ‘Araya merupakan jual beli dimana buah belum masak (masih dipohon) namun dijual dengan harga yang sudah masak. Meskipun hukum Islam melarang transaksi jual beli yang mengandung

resiko ini, jual beli 'araya diakui tanpa mengabaikan resiko dan ketidak pastian yang meliputinya, Lihat kembali as-Subki, takmîlât al-majmû'; XI hal. 2

185 Lihat kembali Hammâdi Ubaydî, hal.100. seperti dikutip dari Maqâshid al-syarî’ahnya Ibnu 'Âsyûr, hlm 306, ia mengadopsi pandangan al-Syatibi dalam Muwâfaqât hal.326.

Ibnu 'Âsyûr Maqâshid al-syarî’ah al-islâmiyah 307, lihat juga Al-Ghazali al-mustasfâ juz 1 hal. 418.lihat lebih lanjut sejarah teori hukum Islam terj. Dari A history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247- 256.