Perintah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah
1) Perintah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tersebut. karena tujuan (ghardun) ini memiliki nilai tambah dalam keterpautan dalam kajian kequr’anan dan memiliki korelasi yang kuat (ittishâlu al-matîn) dengan dengan penafsiran. Disebabkan instrumen-instrumen yang terkait dengannya (mâ yatahqqaqu fîhi) sangat diperlukan (yuntafa’u bihi) dalam mayoritas tema-tema pada pembuka-pembuka surah (fawâtihu al-suwar) al-Qur’ân, dan ketertautan munâsabah antara satu (ayat/surah) dengan yang lain, sebagai bekal yang cukup bagi mufassir
dalam penafsiran. 354
353 Lihat Muhammad Sayyid Thanthâwi, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) hal. 27-28. bandingkan dengan pandangan Mutawalli al-Syârâwî dalam Tafsir al-
Sya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991), hlm 91-97) karena ketawadhu’annya al-Sya’râwi menyatakan karyanya bukan sebagai tafsir namun dia menyebut sebagai khawâtir (betikan/interpretasi), dalam surah al-bawarah terdapat pijakan Iman atas risalah (al-Imân bi al-ba’ts), pendasaran metode Da’wah di Makkah, ayat ayat yang turun di Madinah disinyalir sebagai sumber hokum-hukum social Islam, dan hokum Mu’âmalah, disebutkan hikmah al-Qur’ân dan ‘ilmu yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam, kisah penciptaan manusia pertama Adam,kisah Nabi Ibrahim dalam kontemplasinya mencari Tuhan (pengokohan keimanan, dan kisah peletakan bat pertama ka’bah, dan penyampaian tentang musuh Islam yang nyata selain Syetan yaitu Yahudi). Lihat juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Dhilâl al-Qur’ân, (Dâr al-‘arabiyyah- Beirut, tt), hlm 24. Sayyid Quthb menyatakan didalamsurah ini digambarkan pondasi keimanan kepadaNabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkannya, dan kaitan pembukaanya dan penutupan terdapat dua sifat yaitu sifat orang-orang mu;min dan Khashâish Iman.
354 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr Muqaddimah al-Tsâminah, vol. 1, hal. 70. baca dalam mukaddimah sebelumnya (hal. 8) ia mengatakan “amma al-bahtsa ‘an Tanâsub mawâqi al-suwar
ba’dlahâ itsri ba’dlin falâ arâhû haqqan alâ al-mufassir“. bandingkan dengan pandangan Abdullah Dirâz dalam, Al-Naba’ al ‘Adzîm, Nazharât al-Jadîdah fî al-Qur’ân,hal. 211. Ia menyatakan bahwa setiap hal dalam al-Qur’an merupakan bentuk kemu’jizatan, kebalaghahan ungkapannya juga mukjizat,
Perintah shalat dan zakat sebagai pondasi agama ayat 43 dalam surah Al- Baqarah [2]:43); َ ﻥْﻴ ِﻌِﻜﺍﱠﺭﻟ ﺍَ ﻊﻤ ﺍْﻭُ ﻌﹶﻜْﺭﺍَ ﻭ ﺓﺎﻜﱠﺯﻟ ﺍﻭﹸﺘﺁَ ﻭ ﺓﻼﱠﺼﻟ ﺍْﻭُ ﻤﻴ ِﻗ ﺃَ ﻭ .....
yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku.” Adalah perintah melakukan syiar
Islam setelah perintah memeluk akidah Islam. 355
pola pendidikannya termasuk dari mukjizat, validitas informasinya merupakan mu’jizat, formulasi syariatnya yang abadi adalah mukjizat, ilmu-ilmu didalamnya nafsiyah maupun kauniyah mengenai keduanya adalah mu’jizat, dalam keserasian dan sistematisasi ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk yang kita kenal ini merupakan bentuk kemukjizatan diatas mukjizat. Al-Sayûthi, Tanâsuq al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, hal. 69.
Lihat juga pandangan Saîd Hawwâ (w.1989) misalnya, mufassir berkebangsaan Siria ini mengatakan bahwa kesatuan dalam dalam ayat atau kelompok ayat adalah keberadaan satu ayat atau satu kelompok ayat dalam surah-surah al-Qur’ân yang memiliki kerunutan dan ketertautan konteks yang sistematis yang terikat dalam satu hubungan yang kuat antara bagian-bagian dalamstruktur ayat atau kelompok ayat tersebut. kemudian Saîd Hawwa berusaha mengelaborasi hubungan bagian satu ayat dengan bagian lainnya. Seperti ketika menafsirkan ayat 148 dari surah al-Nisâ’ [4] yang berbunyi:
∩⊇⊆∇∪ $¸ϑŠÎ=tã $·è‹Ïÿxœ ª!$# tβ%x.uρ 4 zΟÎ=àß tΒ ωÎ) ÉΑöθs)ø9$# zÏΒ Ïþθ¡9$$Î/ tôγyfø9$# ª!$# =Ïtä† ω * Kalimat ًﺎﻤﻴﻠﻋ ًﺎﻌﻴﻤﺱ ﷲا نﺎآو klausa yang mengiringi lafal ﻢﻠﻇ ﻦﻡ dalam ayat tersebut. Saîd Hawwa melihat
bahwa kata ًﺎﻌﻴﻤﺱ mengacu kepada pengaduan kepada pihak yang terdzalimi (syakwâ al-madzlûm), dan kata ﺎًﻤﻴﻠﻋ sebagai bentuk yang mengacu pada kedzaliman yang dilakukan oleh pihak yang berbuat dzâlim (zulm al-mazlûm). Saîd Hawwa‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa al- tawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld II. hal.1217
355 Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472. bandingkan dengan penafsiran Musthafâ al-Marâghî yang menafsirkan ayat ini dengan gambaran (rûh
al-shalâh), setelah ajakan Iman kepada bani Israîl telah disampaikan, kemudian mereka diperintah mengerjakan shalat sebagai amal shâlih dan pondasi iman, dan untuk membersihkan kepribadian mereka (litutahhir nufûsahum) sebagaimana mereka diminta untuk membayar zakat sebagai bentuk syukur dan mempererat hubungan sosial kemasyarakatan, dengan mengeluarkan sebagian hartanya, sebagai bentuk solidaritas kepada sesama (limuwâsâh ‘iyâlullâh wa hum al-fuqarâ’) (antara yang kaya dan miskin saling bergotong royong, dan memberi perlindungan satu dengan yang lain), kemudian al- Marâghi menyebutkan hadits ‘al mu’minu lil mu’mini kal bunyân yasyuddu ba’dlahum ba’dlan’ lihat Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 99.
lihat juga redaksi penafsiran Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manâr yang menafsirkan setekah ajakan iman yakin kepada bani isrâîl mereka diminta untuk menunaikan shalat dan membayar zakat sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (muwâsâh l’iyâlihi wa musâ’adah’alâ mashâlihim alltî hiya malâku mashlahatihi) bagi ‘Abduh ketiga perintah diatas tertata rapi secara hirarkis; menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rûhul ‘ibadah dan ujian keikhlasan dalam mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri dan kekuatan iman, berikutnya ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ sebagai gambaran (sûrah) shalat/sebagiannya, sebagai penghambaan diri secara khusu’ dihadapn keagungan-Nya. Lihat Muhammad Abduh dengan ta’lif Râsyid Ridhâ tafsîr al-Manâr (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
Dalam tafsir ayat ini Mahmûd syukrî al-Alûsi (w. 1270 H) menafsirkan dalam karya monumentalnya Rûh al-Ma’ânî diterangkan bahwa shalat dan zakat sudah menjadi maklum (lâm lil’ahdi awi al-jinsi) sebagaimana dilakukan kaum muslimin. Didahulukan perintah shalat karena tujuannya yang utama (lisyumûli wujûbihâ), yaitu dituntut dengan ikhlas dan senantiasa mengharap ridha Allah (al-tadlarru’ lilhadrah), dan ia merupakan aktifitas tubuh/badan (ibadah) yang paling utama, dan membayar zakat merupakan pembersihan harta dari kotoran dan diri dari sifat
kikir. 356 Perintah bertunduk (ruku’) setelah perintah zakat, karena shalat orang-orang
Yahudi berbeda dengan shalatnya orang-orang Muslim, mereka (Yahudi) tidak menggunakan ruku’ sebagaimana orang muslim. Keterangan selanjutnya tentang “‘al-Râki’în” ada pendapat yang menyatakan mereka adalah para Sahabat Nabi, disisi lain diartikan sebagai isyarat (jins al dhâhir), ruku’/ketundukan merupakan tanda-tanda keridhaan dan meumbuhkan sifat mulia. Sebagai bukti keikhlasan dalam
beribadah atas kecintaan kepada sang Khâliq. 357 Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang Aku (Allah)
turunkan .....([2] :41) maksudnya (al-maqshadu) adalah Iman kepada Nabi Muhammad shallawwâhu ‘alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan tujuannya. Yang menjadi pengantarnya adalah ayat; “Dan ingatlah nikmatku..... .([2]:40), sampai ayat .....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya (ghâyah) adalah ayat ”Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena membenarkan apa yang bersamamu. Kemudian impementasi tujuannya adalah ayat dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ([2]:43). Dibalik itu juga terdapat larangan dari perbuatan merusak yang dan menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan,
sesuai dengan bentuk perintahnya. 358
356 Lihat Syihabuddîn Sayyid Mahmud al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, (idârah thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon), hlm 248.
357 Al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, hlm 248-9. 358 Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472. lihat dan
bandingkan juga perbedaan penafsiran Ibn ‘Âsyûr dengan Abu Bakar al-‘Arabi mengenai syarat
Firman Allah, " ةﻼﱠﺼﻟاْﻮُﻤﻴِﻗأَو " adalah perintah pada pondasi Islam yang paling agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan sebaliknya (ta’ridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan bahwasannya iman adalah perjanjian primordial (‘ahdun qalbiyyun) antara (hamba dengan Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (lâ yadullu ‘alaihi illa al- nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau hati tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang dilukiskan oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu mereka
dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. Demikian juga dengan zakat, karena dengan menyisihkan secara tulus sebagian harta yang dimiliki tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang percaya kepada hari kemudian, lebih-lebih bila disalurkan kepada upaya pengukhan agama atau menghadapi musuh-musuh Allah dan Rasul- Nya. sebagaimana ayat yang menyebutkan “wa idzâ laqûlladzîna âmanû qâlû
âmannâ.........(al Baqarah 2:14). 359
Seseorang yang tidak menghubungkan ayat tentang perintah shalat dan zakat dengan ayat sebelumnya yaitu tentang ayat yang menunjukkan syukur atas nikmat (udzkurû ni’matiya allatî an’amtu ‘alaikum.....) dan pelaksanaan janji (promise) antara hamba dengan tuhannya, tidak akan dapat menyingkap tujuan-tujuan ayat (aghrâdh al-âyât), untuk mewujudkannya juga memerlukan instrumen hubungan
wudhu sebelum diturunkannya penjelasan dalam surah al-Mâidah [5:6], Abu Bakar al-‘Arabi menafsirkan bahwa wudhu merupakan kebiasaan orang Makkah sebelum adanya ayat yang menjelaskan tentang kewajiban wudhu ini sebelum shalat, karenanya ia ada dan sedah diwajibkan sebelum ayat ini turun, hal ini dibantah oleh Ibn ‘Âsyur yang menyatakan bahwa ditetapkannya ‘ightisâl’ sebelum wudhu, dan Nabi tidak melakukan shalat kecuali mengambil wudhu sebelumnya. Disebutkannya hukum wudhu oleh al-Qur’ân saat itulah mulai diberlakukannya [kewajiban] wudhu sebelum shalat. Lihat perbedaan ini dalam, Abû Bakar Ibn al-‘Arabi, ahkâm al-Qur’ân, tahqîq ‘Ali Mumammah al-Bajâwî,(Dâr al-Ma’rifah) jld. 2. hal. 558. dan Thâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa al- Tanwîr, (Dâr Tûnîsiyyah linnasar, t.th) juz1. hlm 331.
359 Lihat Thâhir Ibn ‘Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472- 4, 359 Lihat Thâhir Ibn ‘Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472- 4,
Al-Râzi (544-604 H) 361 menafsirkan ayat “aqîmû al-shalâh” bahwa Allah menyeru kepada mereka (yahudi) mereka beriman kemudian melarang untuk berbuat
keji dan mencampuradukkan yang haq dan bâthil (lubsu al-haq bi al-bâthil) dengan menyembunyikan keterangan risalah kenabian (wa kitmânu dalâil al-nubuwwah ),
kemudian disebutkan perintah syari’at dengan suatu keharusan (lazamahum) syari’at bagi mereka seperti shalat ia merupakan ibadah yang paling utama (a’dham al-
‘Ibâdât al-badaniyah) dan zakat yang merupakan ibadah kekayaan yang paling utama (a’dham al-‘Ibâdât al-Mâliyah). 362
Terdapat beberapa keterangan/penjelasan mengenai hal ini: pertama tidak diperbolehkan mengakhirkan keterangan yang global dari waktu diturunkannya/diwajibkannya (khitâb), setelah keterangan yang disampaikan Nabi Muhammad tentang rukun-rukun shalat, seakan Allah berfirman ’dirikanlah shalat seperti yang kalian ketahui’. Kedua; pandangan golongan mu’tazilah bahwa shalat adalah jenis-jenis syari’ah (asmâ’ syar’iyyah), ia merupakan hal baru dalam ajaran syari’at maka mustahil keberhasilan atas perintah tersebut berhasil sebelum ditetapkannya syari’at. Kemudian mereka berbeda pandangan pada definisi shalat;
ada yang berkata secara etimologi shalat berarti doa (al-Du’â’) berkata al-A’syî ; 363 yang lain mengatakan shalat berarti suatu keharusan (alluzûm) 364 , ketiga; firman
360 Lihat Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol 1. hal. 472. lihat juga Muhammad Ahmad al- Gharmawiy, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah al-Sa’âdah, Kairo, 1978, h. 405.
361 Nama yang dikenal adalah Fakhruddîn, ‘Allâmah alkabiîr dzû al-Funûn Muhammad ibn ‘umar ibn al Husain ibn Hasan ibn ‘Ali al-Taymî al-Bakrî al-Tihbri al-Ashl, al-Râzî lihat dalam ‘sair
a’lâm Nubalâ’ (16/54/t.5411), juga dalam Bidâyah wa al- Nihâyah (8/560). Tafsîr al-Fakhru al-Râzi , jld.1.juz 1, hal. 5.
362 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al- dirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005) jld.1. juz 3, hal. 44.
363 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al- dirâsât fî Dâr al-Fikr, 1426 H) cet.1, jld.1. juz 3. hal. 44. redaksi syairnya;
ﻢﺴﺗراو ﺎﻬﱢﻥِذ ﻲﻠﻋ ﻲﻠﺻو ﺎﻬﱢﻥذ ﻲﻓ ﺢیﺮﻟا ﺎﻬﻠﺑﺎﻗو،ﺎﻌﺠﻄﻀﻡ ءﺮﻤﻟا ﺐﻨﺠﻟ نﺈﻓ ًﺎﻨﻴﻋ ﻲﻤﺼﺗﺄﻓ ﺖﻴﻠﺻ يﺬﻟا ﻞﺜﻡ َﻚﻴﻠﻋ Muhammad Fakhruddîn al-Râzi, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al- dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 44 redaksi syair ﻲﻟﺎﺻ مﻮﻴﻟا ﺎهﱢﺮﺤﺑ ﻲﻥإو ﷲا ﻢﻠﻋ ﺎﻬﺑﺎﻨﺝ ﻦﻡ ﻦآأ ﻢﻟ
Allah dalam surah al-baqarah [2;43] kepada orang Yahudi, menunjukkan bahwasannya mereka tidak mengimani syariat-syari’at yang dibawa oleh Nabi. 365
Berbeda dengan pandangan Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr ia menafsirkan ayat (al Baqarah [2:40-43]) khitâb/redaksi ayat diperuntukkan kepada keturunan Nabi Shalih Ya’kûb as. (putra Nabi Ishak) agar mereka mengikuti jejak orang tua mereka dalam penunaian hak-hak Allah, dan diseru untuk berfikir dan mensyukuri nikmat Allah atas keselamatannya dari provokasi Fir’aun dan bala tentaranya (min al-anjâ’i min fir’aun), dan mereka diseru agar bersyukur atas nikmat
yang telah dianugrahkan Allah dengan mengaplikasikan perintah-Nya dengan taat (wasysyukrûllâh ‘alâ ni’amihi biimtitsâli al-awâmirihi wa ithâ’atihi), (dan tidak lupa menjauhi larangan-larangan-Nya-penulis).
Larangan untuk berkhianat terhadap perjanjian primordial antara hamba dan Khâliq dengan Iman kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya dalam perintah shalat al-Zuhaili menulis shalat digambarkan dengan ruku’, ini disebabkan shalatnya Yahudi tidak menggunakan ruku’ (sebagaimana al-Râzi, ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ, Ibn ‘Asyûr), dan perintah zakat perintah yang berkaitan langsung dengan shalat. Korelasi antar keduanya shalat sebagai tiang agama untuk menyucikan diri (dari keji dan munkar-penulis)(tazkiyatun nafs), dan zakat sebagi bentuk (amal) untuk
berkata yang ain redaksi shalat diambil dari al mushallî yang berarti kuda (al-faras) yang diikuti sesamanya.
365 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa al- dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45. bandingkan dengan pandangan Abû Hayyân (w. 745
H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H) juz 1. hal. 325-337. Abû Hayyân (w.745 H) menafsirkan bahwa ketiga ayat tersusun sedemikian tepat dan serasi. Hal ini terlihat jelas dengan perintah-Nya pertama kali kepada Bani Israil untuk mengingatkan nikmat Allah yang Dia anugrahkan kepada mereka, karena ini akan mengantar mereka untuk mencintai-Nya dan taat kepada- Nya, selanjutnya untuk memenuhi perjanjian primordial yang telah dijalin antara mereka dengan Allah swt. Yang didorong dengan janji Allah untuk untuk memenuhi pula janji-Nya kepada mereka, kemudian diperintahkan-Nya agar takut terhadap mereka takut akan siksa-Nya jika mereka tidak memenuhi janjinya tersebut. dengan demikian perintah untuk memenuhi janji diapit oleh perintah mengingat nikmat anugrah-Nya dan perintah agar takut kepada-Nya. Perintah beriman merupakan perintah meninggalkan kesesatan dan larangan mencampur adukan yang hak dan yang bathil serta menyembunyikan kebenaran dan sekaligus merupakan perintah untuk meninggalkan penyesatan terhadap orang lain.
penyucian harta kekayaan, dan keduanya sebagai bentuk syukur atas ni’mat yang telah dianugrahkan Allah. 366
Zakat disini mampu menstimulasi tumbuhya asuransi bersama (al-takâful al- ijtimâ’iy) diantara sesama manusia sebagai (makhluk sosial), si Kaya membutuhkan pertolongan si miskin dalam (suatu hal), demikian juga simiskin membutuhkan bantuan secara materi dari si kaya. Berkata al-Jashshâsh dalam ahkâm al-Qur’ân; bahwa yang dintisarikan dari perintah ayat diatas tidak lain adalah; penunaian shalat-
shalat fardhu dan mengeluarkan/membayar zakat-zakat yang wajib. 367 Perintah shalat dan penunaian zakat adalah perbuatan/amal yang mulia disisi
Allah yang menunjukkan keagungan dengan bersujud kepada-Nya, serta berserah diri kepada-Nya. Perbuatan demikian ini tidak dilakukan oleh kalangan musyrik dikarenakan mereka berbuat syirk (yang tampak dengan perbuatannya), sementara ahlu al-kitâb tidak melakukannya (menunaikan ibadah ini) karena kebiasaan (ibadah) mereka berbeda. Diterangkan juga bahwa esensi dari zakat adalah dengan berinfak sebagai pencitraan diri (‘azîzun ‘ala an-nafs), bagaimana seseorang melakukan hal ini sementara dirinya tidak meyakini akan kemanfaatan ukhrawi dari tindakan/perbuatan baik ini, lebih-lebih zakat tersebut dapat sampai kepada kalangan musuh (tawanan)
yang dimaksud dalam agama. 368
366 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Dâr al- Fikr Mu’âsir, Beirut Libanon) juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. lihat juga Ahkâm al-Qur’ân juz 1/24.
367 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. 368 Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 473. lihat penafsiran Quraish
Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 165-173. ayat 43 dalam surah al-Baqarah ditafsirkan setelah mengajak untuk memeluk Isam dan meninggalkan kesesatan dan penyesatan, maka perintah utama yang disampaikan setelah larangan itu adalah shalah yakni dengan melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun dan saratnya secara bersinambung dan mnunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta menyampaikan dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua kewajiban pokok ini merupakan rangakaian hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Keduanya ditekankan, sedangkan kekwajiban lainnya dicakup oleh penutup ayat ini, yaitu ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ dalam arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama orang-orang yang taat dan tunduk. Penampilan ayat diatas merupakan susunan yang serasi, yang pada awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi, kemudian guliran akhirnya berisi perintah untuk tunduk dan patuh kepada-Nya.
Oleh karena itu perintah menunaikan pondasi (untuk) penguatan agama Islam yaitu shalat dan menunaikan zakat yang targetnya (ghâyah) adalah penunaian perintah beriman. Perbuatan amal/ibadat (shalat dan zakat) tidak akan dapat ditunaikan secara maksimal (lâ yatajasysyamahuma) kecuali mereka benar-benar
memiliki integritas dan kualitas keimanan yang benar-bebar kokoh kepada Allah. 369 Keterangan ayat mengenai (ketidakseriusan dan faktor kemalasan) orang-
orang munafik dalam beribadah terekam pada (surah al-Nisâ’ [4:142], surah al-Mâ’ûn [107:3-5]), ditegaskan juga dalam redaksi hadits “shalat isya’ merupakan shalat yang
paling berat (penunaiannya) bagi kalangan munafik” Pada keterangan ayat dijelaskan bahwa mereka yang meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i dari waktu- waktu yang telah ditetapkan sampai habis masa/waktu shalat, merupakan bukti bahwa mereka meninggalkan shalat (tariku al-Shalâh) sebagai bukti nyata robohnya (intifâ’) iman dalam diri mereka, namun menurut madzhab Maliki (sebagaimana Ibn ‘Âsyûr- penulis) apabila mereka masih mengklaim dirinya beriman maka; boleh diperangi sebatas dan/ sampai (mereka menunaikan shalat), sebagai bentuk pencegahan hal yang berimplikasi pada keburukan dan menjaga stabilitas pemeluk agama itu sendiri.
(man’an li-Dzarî’ah hazm al millah). 370 Kemudian keterangan ayat selanjutnya menyebutkan َﻦْﻴِﻌِآاﱠﺮﻟا َﻊﻡ اْﻮُﻌَآْراَو
merupakan penekanan (ta’kîd) makna shalat, karena praktek shalat orang-orang Yahudi tidak memakai ruku’, sehingga tidak ada alasan/bantahan bagi mereka (yahudi) yang mengaku shalat sebagaimana shalat orang-orang muslim dengan dalil diatas. Kalimat râki’în adalah isyarat dan penjelasan agar prasyarat shalat (rukun,
369 (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr vol. 1 hal. 473
370 lihat l penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 473, redaksi ayatnya;
š χ ρ ã .ä ‹õ Ÿ ƒt ω } ρu ¨ Ζ¨$ #$9 βt ρ #!â ƒãt ’4 $<n ¡| .ä θ#( Βã %s$ οÍ ¢=nθ4 Á #$9 ’ )Î<n θþ#( Βã %s$ # Œs ρu)Î Νö γß ãã ‰Ï y≈ z θu δè ! © ρu #$ βt θ ãã ‰Ï ƒs≈ †ä t )É Ï Ζu≈ ϑß #$9ø β¨ )Î ∩ ∪∈ βt θ δè $ ™y Νö ŸEÍκÍ ξ | ¹ ãt Νö δè t %Ï #$!© ∩ ∪⊆ š |#jÍ, Á ϑß 9jÏ=ù ≅× ƒ÷ θu ùs dan ayat : ∩ ⊆⊇ ∪⊄ ξ W =Ί %s ω © )Î ! #$ š χ ρ ã .ä ‹õ Ÿ ƒt ω } ρu ¨ Ζ¨$ #$9 βt ρ #!â ƒãt ’4 $<n ¡| .ä θ#( Βã %s$ οÍ ¢=nθ4 Á #$9 ’ )Î<n θþ#( Βã %s$ # Œs ρu)Î Νö γß ãã ‰Ï y≈ z θu δè ! © ρu #$ βt θ ãã ‰Ï ƒs≈ †ä t )É Ï Ζu≈ ϑß #$9ø β¨ )Î ∩ ∪∈ βt θ δè $ ™y Νö ŸEÍκÍ ξ | ¹ ãt Νö δè t %Ï #$!© ∩ ∪⊆ š |#jÍ, Á ϑß 9jÏ=ù ≅× ƒ÷ θu ùs dan ayat : ∩ ⊆⊇ ∪⊄ ξ W =Ί %s ω © )Î ! #$
Penafsiran ayat berikutnya (ayat [2:44]) adalah mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi yang sering kali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Kata (al birr) berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam keduniaan dan akhirat, maupun interaksi. Sementara mayoritas pandangan Ulama’ menyatakan bahwa al- birr mencakup tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah swt. Kebajikan dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang
lain. Namun apa yang dikemukakan diatas belum mencakup semua kebaikan, karena agama menganjurkan hubungan yang serasi dan seimbang dengan Allah, sesama manusia, lingkungan dan siri sendiri. Segala sesuatu yang berkaitan dan menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah suatu kebajikan,
demikian Quraish Syihab menambahkan. 372 Pada ayat (45:2) ‘ َﻦﻴِﻌِﺷﺎ َﺨْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﺎﱠﻟِإ ٌةَﺮﻴِﺒَﻜَﻟ ﺎَﻬﱠﻥِإَو ِةﺎَﻠﱠﺼﻟاَو ِﺮْﺒﱠﺼﻟﺎِﺑ اﻮُﻨﻴِﻌَﺘْﺱاَو ’ diterangkan bahwa tujuan utama (al-maqshûdu al-ashliy) ayat ini ditujukan pada Bani
371 Bandingkan dengan penafsiran Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (Maktabah al-tawtsîq wa al-dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45, yang menafsirkan
bahwa ayat yang berbunyi warka’û ma’a al Râki’în disebutkan oleh Allah redaksi ruku’ disini karena shalat Yahudi tidak memakai ruku’ sebagaimana shalat muslimin.disebutkan dua kali perintah pertama menunjukkan penunaian shalat itu sendiri, dan kedua perintah berjama’ah dalam shalat, tujuan dan maksud dari perintah ruku’ adalah ketundukan dan kepatuhan (rukû’ dan khudlû’) dalam definisi bahasa sama.
372 lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr vol. 1 hal. 474-5.
tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâß∆ù's?r& ∩⊆⊂∪ tÏèÏ.≡§9$# yìtΒ (#θãèx.ö‘$#uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ (#θà)≈n=•Β Νåκ¨Ξr& tβθ‘ΖÝàtƒ tÏ%©!$# ∩⊆∈∪ tÏèϱ≈sƒø:$# ’n?tã ωÎ) îοuÎ7s3s9 $pκ¨ΞÎ)uρ 4 Íο4θn=¢Á9$#uρ Îö9¢Á9$$Î/ (#θãΖŠÏètFó™$#uρ ∩⊆⊆∪ tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$# ∩⊆∉∪ tβθãèÅ_≡u‘ ϵø‹s9Î) öΝßγ¯Ρr&uρ öΝÍκÍh5u‘
Bandingkan dengan Mushtafâ al-Marâghi menafsirkan (al Baqarah 2:44-46) khitab ini kepada ahl kitab dari golongan (al-ahbâr wa Ruhbân) dimana mereka memberikan nasehat namun mereka tidak melaksanakannya sendiri, menyerukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mencegah kemaksiatan namun mereka tidak melaksanakan seruannya sendiri. Lihat lebih lanjut Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi wa aulâduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 101. bandingkan dengan gurunya Muhammad ‘Abduh tafsîr al- Manâr ta’lif Rasyid Ridhâ (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 296. lihat juga Quraish Syihab, Tafsîr al-Misbâh, 174-5.
Israil sebagai petunjuk guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu. Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh pada tempatnya, karena setelah mereka diajak disertai dengan janji dan ancaman, maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan kedalam hati mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan kini mereka telah bersiap siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun demikian, kebiasaan lama masih memberatkan langkah mereka. Ayat ini menyodorkan resep yang amat ampuh agar mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep ini adalah
shalat dan sabar. Al-Shabr dalam pandangan Ibn’Asyur yaitu menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan dihati, ia juga berarti ketabahan. Imam al-Ghazali dalam karyanya ihya ulûmuddîn mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian pokok: pertama; kesabaran jasmani yang berarti menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam menerima ujian dan cobaan penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Kedua adalah sabar Rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan, seperti sabar dalam menahan amarah, ataupun menahan nafsu
seksual yang bukan pada tempatnya. 373 Kemudian as-shalah dari segi bahasa adalah do’a, dari segi syari’at islam ia
adalah suatu “ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam” ia juga mengandung pujian atas limpahan dan anugrah karunia- Nya.mengingat Allah dan karunia-Nya akan dapat mengantar seseorang terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Serta dapat mengantarnya tabah dalam menerima cobaan atau tugas yang berat. Demikian juga shalat akan dapat
373 Ibn ‘Âsyûr, al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al-Imâm Abû Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshâri al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-
Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.
membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka dengan tegar, tenang dan tabah.
Penegasan ayat ini bermakna Mintalah pertolongan dengan mengukuhkan jiwamu dengan sabar yakni menahan diri dari segala tantangan dan ujian hidup- penulis- dan dengan shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah swt. Serta mermohon kepada-Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala
beban karena sesungguhnya yang demikian itu (shalat dan sabar). 374 Sesungguhnya ia sungguh berat atau beban yang akan kamu pikul sungguh
berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’ yaitu orang-orang yang tunduk dan yang hatinya merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ia juga berarti sabar dan shalat harus menyatu sebagaimana diisyaratkan oleh penggunaan bentuk tunggal untuk menuju keduanya (innahâ – ﺎﻬﻥإ- sesungguhnya ia, bukan innahumâ - ﺎﻤﻬﻥإ- sesungguhnya keduanya). Ini berarti ketika kita shalat atau bermohon, kita haruslah bersabar dan ketika menghadapi kesulitanpun harus bersabar, dan kesabaran itu harus
dibarengi dengan Do’a kepada-Nya. 375 Pada penafsiran ayat ini al-Qurtûbi memulainya dengan keterangan; pertama
sabar adalah menahan diri (al habsu fi al lughah) dari sesuatu yang tidak berkenan dihati; kedua; Allah memerintah hambanya untuk bersabar dalam melaksanakan keta’atan (al-shabru ‘ala al-Thâ’ah) sebagaimana pandangan al-Ghazali (w.505 H) tentang sabar –penulis. Dan apabila seseorang yang telah bersabar tidak melakukan kemaksiatan maka ia telah bersabar dalam ketaatan. Namun al-Nuhâs menambahkan dengan mengatakan orang yang bersabar atas musibah tidak dikatakan kepadanya sebagai penyabar (shâbirun), namun diakatakan kepadanya bersabar dalam hal ini
374 Lihat Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 474. lihat juga al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.redaksi ayatnya: ∩⊇⊃∪ 5>$|¡Ïm ÎötóÎ/ Νèδtô_r& tβρçÉ9≈¢Á9$# ’®ûuθム$yϑ¯ΡÎ)
375 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al- al- Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon),
hal. 252-255.
(shâbirun ‘alâ kadzâ), adapun sabar dalam arti yang mutlak seperti tertuang dalam surah al Zumar [39:10]. 376
ketiga; penyebutan shalat disini adalah pengkhususan ibadah shalat dari ibadah yang lain dari segi penekanan/pengulangan, disisi lain ia padu dengan kesabaran- penulis- dan shalat disini dalam ari ta’wil menurut al-Qurtûbi adalah al-syar’iyyah, sebagaimana dalam surah al-anfâl [8:45], al-tsabât dalam ayat tersebut adalah sabar, dan al-dzikr pada ayat tersebut adalah do’a. Keempat; sabar dari segala keburukan (al-adzâ) dan keta’atan menahan hawa nafsu dari pelbagai ujian dan problematika
hidup, ini merupakan akhlaqpara Nabi dan orang-orang shaleh. Berkata al-Thabari sesungguhnya iman itu keyakinan dalam hati dan diucapkan oleh lisan dan diimplementasikan seluruh anggota tubuh, bagi mereka yang belum mampu bersabar dalam perbuatan dengan segala konsekwensinya,iman mereka belum kokoh (lam yasthiqq al-îmân bi al-ithlâq). Sabar dalam melaksanakan syariat-syariat agama merupakan pancaran sinar pada tubuh (nadhîr al-ra’s min al-jasadi li al-insâni) tidak akan dapat sempurna kecuali dengan penunaian syariat tersebut. 377
Sementara khusyu’ merupakan (sifat) ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan (sukûn wa inqibâdl ‘an tawajjuhi ilâ al-ibâyah aw al- ‘isyân). Yang dimaksud orang yang khusyu’ dalam ayat ini adalah mereka yang menekan hawa nafsunya (dzullila nafsuhu wa kasru sûratihâ) dan membiasakan dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah (serta selalu mengharapkan kesudahan yang baik (wa tathlubu husnu al-‘awâqib) (ber- khusnuzhzhan kepada Allah-penulis-). Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh nafsu (an lâ taghtarr bimâ tuzayyinuhû al-syahwah), namun senantiasa mempersiapkan dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan.
Orang yang khusu’ dimaksud oleh ayat adalah mereka yang senantiasa takut lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan
376 Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255. 377 Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.
mudah ia meminta bantuan sabar yang membutuhkan tekanan gejolak nafsu dan mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini mengharuskan disiplin waktu serta kesucian jasmani, padahal boleh jadi ketika itu ia sedang disibukkan oleh aktifitas (al-isytighâl) yang menghasilkan (bimâ yahwî aw bima
yuhashshilu) harta atau kelezatan (mâlan aw ladzdzah). 378 Urgensitas penafsiran pada perintah shalat dan zakat ini terlihat ketika tujuan-
tujuan ideal dari shalat diterangkan secara mendetail dan rinci oleh Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana dia mengklasifikasikan shalat, sabar, dan khusu’ sebagai pondasi
keimanan dalam meraih kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Intisari penafsiran dari ayat diatas sebagai berikut ; penekanan atas pentingnya ibadah shalat dan keutamaannya karena ia merupakan hubungan dialog (shilah wa liqâ) antara hamba dan Pencipta (al-Khâliq), iringan kesabaran juga merupakan satu kesatuan dengan shalat yang tidak dapat dipisahkan, khusu’ adalah dengan membiasakan untuk mendahulukan kewajiban kepada Allah dan memperbarui niat untuk selalu
mengharap ridha-Nya. 379