Syari’ah dan interpretasi al-Qur’ân

a. Syari’ah dan interpretasi al-Qur’ân

Secara etimologis; syarî’ah berarti jalan menuju kesumber air, jalan ke arah sumber (al-Mawrid al-‘adzb alladzî turidhu al-Syâribah wa yastaqî minhu) pokok

bagi kelangsungan hidup manusia (idzâ kâna ‘adan lâyanqathi’u sahl al-Tanâwul). 96

Kata ini merupakan derivasi dari kata syara’a yang berarti menetapkan atau mendekritkan. Dalam al-Qur’ân kata syarî’ah muncul satu kali dalam (QS. 45:18) dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Sedangkan kata syara’a muncul dua kali dengan Tuhan sebagai subyeknya (QS.42;13), dan yang berkaitan dengan orang membangkang kepada agama Tuhan (QS. 7:163). Karenanya kata tersebut lebih populer dikenal dengan Dîn (agama) yang secara harfiah berarti ketaatan atau kepatuhan. Namun perbedaannya jika syarî’ah adalah penentuan jalan yang subyeknya adalah Tuhan, maka Dîn adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia itu sendiri.

Jadi, syarî’ah dalam pengertian awal yang dipakai hingga kini adalah jalan yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang menyangkut seluruh

95 Ibnu ‘Âsyur “Muqaddimah al-Ûlâ al-Tahrîr wa al-Tanwîr” hal. 12-13. 96 Lihat Muhammad Ibn Ya’kûb al-Fairuz Abadî, al Qâmus al-Muhîth (Mathba’ah al-Sa’âdah,

Mesir 817 H) juz 3. hal. 44. bandingkan dengan Ibn Manzur, Lisan al-’arab, (Dâr Dâr al-Shâdir) juz. 8. hal. 175. nama aslinya Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim ibn ’Ali.... Ibn Manzûr al-Anshârî al- Mishrî ia lahir pada tahun 630 H, ia mempunyai karya yang banyak selain it ia juga mahir dalam bahasa adab dan sastra dan lainnya, lihat, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-Suyûthi Bughyah al-Wu’ât fî thabaqât allughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqûq Abû Fadl Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1) juz 1.hal. 248. lihat lebih lanjut Abdur Rahmân ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’al- Sâbiqâh, (Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh) cet-1 hal. 17.

tingkah laku manusia, spiritual, mental, dan fisik untuk keberlangsungan hidup sekarang dan yang akan datang. 97

Kata syarî’ah biasanya digunakan dengan dua pengertian; Pertama, ajaran Islam secara umum yang meliputi akidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Kedua; ajaran Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia seperti ibadah dan

mu’amalat. 98 Disisi lain syarî’ah juga dipahami juga dengan suatu penekanan terhadap absolutisme teks suci yang teraplikasikan dalam interpretasi-interpretasi atas

teks itu sendiri sebatas kemampuan manusia (tafsir), syarî’ah merupakan suatu konsep yang komprehensif, mencakup kebenaran spiritual Sufi (haqîqah), kebenaran

rasional (’aql), para filsuf dan teolog, serta hukum. 99 Dalam pemikiran Islam kontemporer ia hanyalah kesimpulan logis yang

ditarik dari suatu pikiran bahwa teks adalah ucapan verbal Realitas Absolut Ketuhanan yang pasti. Tetapi sekalipun konsep ini merupakan doktrin ekstrimis dalam Kristen bahwa teologi berjalan dan tidak pernah melepaskan problematika

ekslusifis. 100 Bahkan konsep ini juga merupakan doktrin esensial teologi Islam sejak abad 3 H/ 8 M yang secara politis dilarutkan untuk memenuhi (doktrin) ortodoksi

bahkan heterodoksi. 101

97 lihat juga Fazlur Rahmân dalam Islam terj. Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h. 140-141 Rifyal Ka’bah, penegakan syarî’ah Islam di Indonesia, Jakarta Khairul Bayân, 2004, h. 3-4.

Bandingkan dengan; Zakaria al Anshâri, al-Hudûd al-anîqah wa al-Ta’rîfat al-daqîqah, hal 14. Bairut, Dâr al Masyari’ cet. I 2004.

98 Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al kulliyah wa al nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20.

99 Ibnu Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321 H, I, hal 48 (buku ini dicetak pada pinggiran kitab Minhâj al-Sunnâ karangan Ibn Taimiyyah). Lihat juga uraian

Fazlur Rahman dalam Islam Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h.158-159 100 Sikap bertahan teologi ini dapat dipahami; bahwa filsafat fakta keagamaan itu tidak segera

mengantarkan pada tujuan (berbagai agama). Namun sebaliknya agama-agama yang sedang ditransformasi dibawah tindakan yang merusak dari berbagai faktor yang cenderung menyisihkan hingga pada (tingkat) kerisauan filosof (seperti yang disinyalir Al-Ghazâli dalam Tahâfut al- Falâsifah-penulis). Arkoen dalam Lectures du the Coran G.P. Maissoneuve et Larose, 1982, (terj. Hidayatullah dalam kajian Kontemporer Al-Qur’ân) Pustaka, Bandung, 1998 hal. 66.

101 Ortodoksi atau pemahaman ekslusif merupakan fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, namun juga terjadi dalam pelbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi.

Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University

Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas problematika kehidupan di masyarakat, pakar tafsir kontemporer termotivasi untuk merealisasikannya dalam penafsiran yang solutif dari pelbagai metode pendekatan dan beragam corak penafsiran dijadikan tumpuan untuk mewujudkan penafsiran tematik dengan nuansa sosial kemasyarakatan (adab Ijtimâ’iy), corak ini disinyalir

menjadi rujukan pakar tafsir modern. 102 Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’ân yang keadaannya seperti

digambarkan oleh ‘Abdulah Darrâz dalam An-Naba’ al-‘Azhîm; Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain

memandangnya, maka akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.” 103

Dalam hal ini Muhammad Arkoun seorang pemikir Al-Jazair berpandangan bahwa; Al-Qur’ân memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi )

Press, 2004), hal. 142. lihat juga ulasan Norman Calder dalam, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86

102 Râsyid Ridhâ, Tafsir Al-Manâr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hâyy Farmawi, al Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih

lanjut uraian Quraish Shihab dalam membumikan al-Qur’ân (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123. juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyid Ridha dalam Rasionalitas al- Qur'ân (studi kritis atas tafsir al-Manâr), Lentera hati 2006, hlm 24Abdul Ghoffar, Abdurrohim, Al Imam 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980. Lihat corak penafsiran Ibnu ‘Âsyûr dalam tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr juz 1 hal. 222. lihat juga Iffat Syarqâwi, Qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Mufassirûn Hayâtuhum wa manhâjuhum, Mu'assah [Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi] cet-1. hal.109-151.

103 ‘Abdullah Darrâz, Al-Naba’ Al-‘Azhîm, Dar al-‘Urubah Mesir, 1960, hal. 111. lihat uraian J.J.G.Jansen dimana dia mensinyalir diantara tafsir modern yang perlu mendapat perhatian karena

dianggap mempunyai elaborasi konsep penafsiran seperi Izzat Darwaza dengan al-Tafsir al-Hadîts, Muhammad ‘Abduh dengan Tafsir Juz ‘Amma dan Muhammad Thâhîr Ibn ‘Âsyur dengan al-Tahrîr wa al-Tanwîr, dalam The Interpretation of the koran in modern Egypt, (Leiden,: E.J.Brill 1974), h. 17. Bandingkan dengan J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation S.A. Kamalî, Abuk kalâm azad’s commentary on the Qur’ân’, in The Moslem world, vol. 49, 1959; hal. 1-18. lihat juga Isa.J.Boullata dalam ‘modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents Status of Tafsir Studies’ inth moslem world, vol. 72, 1982, hal.224-238. Bandingkan Abdul Fattah al-Khâlidi, Ta’rîf al- Dârisîn bî Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus; Dâr al-Qalam, t.th), hal. 562-563. juga dengan tulisan‘Abdul Hayy Farmâwi al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-maudhû’î, hal. 23.

baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal dan selalu berkembang. 104

Dalam kesempatan lain Jeffery menekankan bahwa apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern, sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern

untuk tafsir al-Qur’an. 105 Sebenarnya, yang dimaksud dengan pendekatan modern oleh Jeffery adalah

metode kritis-historis (the historical-critical method). Metode tersebut memang sangat mapan dalam studi Bibel. Metode tersebut diformulasi oleh para sarjana bibel karena persoalan teks Bibel. Metode tersebut diformulasikan oleh para sarjana Bibel karena persoalan teks Bibel. Berbagai jenis analisa muncul disebabkan problematika teks Bible. Diantaranya: analisa teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), analisa sumber (source criticism) dan analisa sejarah (historical criticism). Jeffery mengaplikasikan berbagai analisa Bibel tersebut untuk mengkaji sejarah al- Qur’ân. Dalam perkembangannya metodologi tersebut juga sudah menyebar ke sebagian kalangan cendekiawan Muslim kontemporer. Mohammad Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-kristen. Ia berkata: “sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks- teks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat

kesarjanaan muslim. 106 Mohammed Arkoun juga menegaskan bahwa studi al-Qur’ân sangat

ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Quranic Studies lag considerably behind

104 Muhammad Arkoun, “Algeria dalam shireen T.Hunter (ed.) the politics of Islamic revivalism, Bloomigton Indiana University Press, 1988, h,182-183.

105 Arthur Jeffery, Proggerss in the Study of the Qur’an texts, The Moslem World 25 (1935), No 1, hal. 4., (What we needed, hoever, was a critical commentary which should embody the work done by

modern orientalists as well as apply the methods of modern research to the elucidation of the Koran). 106 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answer, pen robert D

Lee, hal. 25. dia menulis ”It is unfortunate that philosophical critique of sacred text which has been applied to the hebrew bible. And to the new Testamen without thereby ergendering negatif consequences for the notion of revelation-continues to be rejected by muslim scholary opinion”.

biblical studies to which the must be compared). 107 Menurutnya metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin ia kembangkan.

Arkoun berkata: “Intervensi ilmiah Wansbrough menemukan tempatnya di dalam framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang—seperti bacaan antropologis-historis— menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan untuk disiplin-disiplin lain dan tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat

ini. 108 John Wansbrough yang dimaksud oleh Arkoun adalah seorang orientalis

kontemporer (2002) yang menerapkan form criticism dan redaction criticsm kepada al-Qur’an. Metodologi tersebut menggiring John Wansbrough untuk menyimpulkan bahwa teks al-Qur’ân yang tetap itu tidak ada sehingga tahun 800 M. riwayat-riwayat mengenai al-Qur’ân versi Utsmân adalah fiksi terkemudian yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk mengambarkan asal

mulanya dan melacak mereka ke Hijaz. 109 Mohammed Arkoun juga memaparkan alasan mengapa kaum Muslimin

menolok pendekatan kritis-historis al-Qur’ân. Dalam pandanganya, alasan tersebut sebernarnya bernuansa politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, karena kegagalan pandangan muktazilah, tegasnya, mengakibatkan kaum Muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah Kalam Allah. Al-Qur’ân yang ditulis dan yang dibaca, dalam pandangan kaum Muslimin, adalah

107 Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books,2002), hal. 42.

108 Moh Arkoun, (Wansbrough’s scientific intervention finds its place in the framework I propose. It gives priority to method of literay criticism which, like the historical anthropological

reading, lead to questions left to other disciplines and a level of reflection unimagineabale in the curren fundamentalist context).“Contemporay critical Practices an the Qur’an”, di Encyclopedia of the Qur’an, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), Jilid I, A-D hal. 430.

109 Issa J. Boullata, “the traditions about the “Utsmanic recension of the Qur’an are later fiction desihgend by the emerging Muslim community in its effort to describe its origins and trace them

to the Hijaz“, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977), No 4, hlm 306-07.

emanasi langsung dari Lawh al-Mahfuz. 110 Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Ustmâni tidak lain adalah hasil sosial budaya masyarakat yang kemudian

dijadikan Unthinkable dan makin menjadi Unthinkable dikarenakan kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. 111 Istilah yang lebih tepat untuk menyebut Mushaf

Utsmani, sebut Mohamed Arkoun, adalah Mushaf Resmi Tertutup (Close Official Corpus). 112

Selain itu Mohammed Arkoun juga berpendapat apa yang dilakukannya sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abû Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasika pendekatan sastra

kotemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. 113 Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Qur’ân adalah ‘produk budaya’ (muntaj

tsaqafi). Artinya, teks al-Qur’ân, kata dia, terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Namun al-Qur’ân juga mengubah budaya, karena ia juga produsen budaya (muntij li al-thaqâfah). Al-Qur’ân menjadi teks yang hegemonik

dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. 114 Bagi Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh

sebab itu, al-Qur’ân juga merupakan teks bahasa (nash lughawî). Ketertarikan realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan al-Qur’ân sebagai teks historis sekaligus teks manusiawi. Al-Qur’ân adalah teks manusiawi karena berada di dalam ruang dan waktu tertentu. Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw menyampaikan wahyu itu ke para sahabat. Nasr Hamid berpendapat bahwasannya teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah

Issa J. Boullata, “Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977), No 4, hal. 37.

111 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 237 seterusnya di ringkas Islam

112 Arkoun, “Rethinking Islam Today” Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 238. 113 Mohammed Arkoun, The Unthought, hal. 60-61 114 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz al-

Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994).

dari sebuah nash ilâhiy (teks Ilahi) menjadi sebuah konsep atau nash insâni (teks manusiawi), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal

manusia.” 115