Sejarah Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia

A. Sejarah Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia

Sejarah perkembangan ilmu sosial tidak terlepas dari per- kembangan ilmu alam. Ilmu pengetahuan tentang manusia di Barat (sosial dan humaniora) berkembang setelah ilmu alam, ter- utama fisika dan biologi, memantapkan dan mengkonstruksi dasar-dasar ilmiahnya. Ilmu fisika memberi acuan dalam melihat masyarakat sebagai suatu mekanisme yang terkontrol oleh hu- kum, sementara biologi memberi cara pandang tentang masya- rakat sebagai organisme yang diperlengkapi dengan struktur dan fungsinya. 4

Demikian pula perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Ia tidak pernah secara langsung atau sengaja dikembangkan di Indonesia pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia hanya menjadi keahlian tambahan untuk mendukung keber- hasilan tugas di Hindia Belanda. Sejak 1842, pemerintah kolo- nial memperkenalkan ilmu indologi yang di dalamnya dikaji masalah linguistik, geografi, dan etnologi. Sebagai sebuah akade-

3 Ahmad Nashih Luthfi, “Sajogyo, Pembangun Kajian Agraria Indonesia”, Jurnal Nasional,

19 Juli 2008. 4 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1988),

hal. 22.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria mi, indologi kemudian berkembang dengan dukungan kerajaan

menjadi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde ) di Leiden (1851) dan Koloniaal Instituut di Amster- dam (1871), dan tidak pernah diselenggarakan di Hindia Belan-

da. 5 Keterkaitan antara semangat yang muncul pada abad XVIII

tentang Revolusi Ilmu Pengetahuan (Scientific Revolution) dari ilmu alam dan konteks kekuasaan kolonial sangat terlihat gamblang memberi pengaruh dalam perkembangan ilmu sosial di

Hindia Belanda. 6 Pada abad XIX ekspedisi saintifik banyak dila- kukan di Hindia Belanda. Ekspedisi mengkombinasikan, meski

tidak selalu, dua tradisi pengetahuan, yakni antara ilmu kemanu- siaan dan ilmu alam. Berbagai ekspedisi besar dilakukan di Su- matera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), dan New Gui- nea (Papua).

Tampak logis melihat keterkaitan antara ekspedisi dan fase ekspansi negara kolonial Hindia Belanda. 7 Pelembagaan antara

ekspedisi ilmu pengetahuan alam dengan tujuan ekspansi koloni- al bertitik temu dengan berdirinya Botanical Garden, yang dikenal dengan Kebun Raya Bogor, pada tahun 1817 oleh C. G. Rein-

wardt. 8 Lembaga yang semula hanya mengoleksi “keragaman hayati” 9 ini kemudian berkembang menjadi pusat penelitian un- tuk tanaman-tanaman komoditas yang menjawab tantangan eko-

nomi kolonial. Pasca Agrarische Wet 1870, pada tahun 1876 didirikan pusat penelitian tanaman ekonomi (cultuurtuin) yang kemudian menjadi cikal bakal Lembaga Penelitian Pertanian

5 Mestika Zed, “Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Methodenstreit”, dalam Taufik Abdullah, Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman (Jakarta: Rajawali Press, 2001),

hal. 57-58. 6 Peter Boomgaard, “The Making and Unmaking of Tropical Science Du-

tch Research on Indonesia, 1600-2000”, Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde (BKI), 162-2/3 (2006), hal. 191-217.

7 Ibid. , hal. 204. 8 Ibid ., hal. 205. 9 Sampai dengan tahun 1863 telah terkumpul 10.000 jenis tanaman yang

dikoleksi. Simak, Jan H.M. Oudejans, Perkembangan Pertanian Indonesia (Yog- yakarta: GMU Press, 2006), hal. 29.

Ahmad Nashih Luthfi Bogor, dan Plantentuin pada tahun 1880 yang dikepalai oleh

Melchiour Treub. 10 Nama Melchiour Treub menjadi terkenal dengan gagasan-

nya tentang pendirian Departemen Pertanian. Ia sekaligus menja- di direktur pertamanya. Menyadari ketertinggalan riset yang terkait dengan pertanian rakyat, dan berkutatnya pada riset-riset cash crops , maka atas inisiatifnya, didirikanlah Departemen Perta- nian pada tanggal 1 Januari 1905. Departemen ini bertugas memperbaiki kondisi pertanian rakyat, usaha pemeliharaan ter-

nak dan perikanan. 11 Treub mengusulkan ke pemerintah agar Departemen Pertanian meniru bentuknya yang ada di Amerika,

dengan penekanan pada penelitian pertanian dan tanpa banyak tugas administratif sebagaimana yang ada di Inggris dan Jerman. 12

Secara khusus pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak memberikan dukungan pada fakultas-fakultas negeri terhadap pelatihan ilmu sosial, dalam hal ini sosiologi. Pengajaran sosiologi didapatkan di Rechthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta pada tahun 1924. Perkuliahan diberikan dalam konteks mendukung secara umum kurikulum kajian hukum. Bahkan pada tahun 1934 pelajaran sosiologi dilarang dan tidak pernah diajarkan lagi. 13

Kajian sosiologi mendapat perhatian melalui kehadiran para sarjana baik mereka sebagai individu, administratur, dan misionaris yang tertarik pada kajian organisasi sosial. Di antara mereka adalah Wilken, Schrieke, van Leur dan Wertheim. Para sarjana yang menaruh minat pada kajian hukum adat dan

10 Ibid. , hal. 30. Secara berturut-turut dibangun stasiun penelitian swasta dan proefstation (statsiun percobaan) sesuai dengan komoditas masing-masing: tiga

stasiun penelitian tebu di Tegal, Semarang, dan Pasuruan; kopi dan kakao di Salatiga dan Malang; teh di Bogor; tembakau di Klaten dan Jember; dan karet di Medan. Kesemuanya terkait dengan lembaga penelitian di Bogor. Ibid., hal. 32- 33.

11 Ibid. , hal. 35. 12 Ibid. , hal. 37. 13 M. A. Jaspan, Social Stratification and Social Mobility in Indonesia (Jakarta:

Gunung Agung, 1960), hal. 7.

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria ekonomi juga mewariskan materi yang signifikan tentang

pemahaman masyarakat Indonesia bagi kajian sosiologi. Dalam kajian hukum adat terdapat van Vollenhoven, ter Haar, Soepomo, Djojodigoeno, Korn, Mallincrockdt, Vergouwen, Tirta- winata dan Hazairin. Dalam etnologi dapat dicatat nama Kruyt, Adriani, Snouck Hurgronje, Kleiweg de Zwaan, Matthes dan Chabot. Sementara dalam ekonomi terdapat Boeke, van Gel- deren, dan van der Kolff. 14

Setelah generasi itu, perhatian pada kajian masyarakat menurun drastis. Ada beberapa alasan. Pertama, adanya pendu- dukan Jepang yang diikuti pergolakan revolusi yang menuntut kedaulatan RI dan mengakibatkan berubahnya susunan masya- rakat Indonesia. Akibatnya, banyak data deskriptif pada periode kolonial saat itu berubah dan bernilai sebagai dokumen sejarah. Kedua , proses itu berakibat pada penilaian akan keraguan akurasi dan reliabilitas atas apa yang ditulis selama masa kolonial. Ketiga, berbagai hasil karya ilmuwan yang disebut di atas, menjadi tidak lagi relevan secara epistemologis, sebab apa yang dihasilkan itu memilki karakter khas, yakni colonial apologetic dan religious propagation. 15

Meski demikian, tidak semua karya sarjana Belanda memi- liki ciri yang seragam. Dalam hal ini, W. F. Wertheim adalah su- atu perkecualian, dengan berbagai karyanya yang berpihak pada rakyat Indonesia. Perhatiannya pada sosiologi baik sebelum mau- pun setelah Perang mendapat tempat tersendiri dalam sejarah sosiologi Indonesia. Dia terkenal dengan penolakannya pada identifikasi dirinya sebagai bagian dari kolonialisme bahkan keti- ka ia menjabat sebagai pegawai pemerintah Belanda.