Penggunaan Tanah sampai dengan Tahun

Tabel 3. Penggunaan Tanah sampai dengan Tahun

1. Tanah Jawa 13.212.400 ha a. Untuk onderneming asing: 

tanah partikelir 498.829 ha 

tanah erfpacht pertanian 590.858 ha besar

11.510 ha 

tanah erfpacht pertanian 89.624 ha kecil

59.965 ha 

sewa dari rakyat 

tanah konversi (Yogya, 3.370.600 ha Surakarta)

b. Tanah pertanian rakyat : 

sawah 4.692.000 ha 

ladang dan pekarangan [sawah yang sekian itu

3.106.100 ha dikurangi dengan

1.057.400 ha persewaan tanah untuk

onderneming ] c. Berupa hutan d. Tambak, dll

2. Sumatera Timur 3.370.600 ha a. Tanah onderneming

888.000 ha b. Tanah pertanian rakyat

252.000 ha c. Hutan cadangan

519.000 ha d. Hutan rimba liar

1.372.000 ha 3. Daerah Bali

a. Onderneming asing [karet, 2.559,28 ha randu, kelapa, kopi, merica, akar tuba]

347.700 ha b. Tanah pertanian rakyat

96.400 ha 

sawah 155.000 ha 

tegalan, dengan tanaman 26.000 ha umur panjang

63.000 ha 

kebun kopi 7.300 ha 

kelapa 138 ha 

tanaman lain-lain 214.292 ha c. Tanah pegaraman

d. Hutan cadangan, jurang dan vrije landsdomein

55 M. Tauchid, op.cit., hal. 206-207

Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Ketika Belanda telah memutuskan membuka Hindia Timur

untuk ekonomi internasional dan pasar bebas melalui berdirinya perusahaan-perusahaan yang dilindungi oleh Undang-undang Agraria 1870 dan berbagai aturan lainnya, maka “syarat dan pelengkap” bagi berdirinya negara guna menjamin aktivitas niaga itu segera diciptakan.

Dalam proses penciptaan negara–bangsa itu, cara-cara yang ditempuh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, 56 adalah pertama, perlunya modal ekonomi para pengusaha perkebunan dan pengusaha pertambangan untuk membeli peralatan, menggaji buruh dan menopang mereka, sampai keuntungan yang memadai mulai bertambah. Kedua, modal sosial: jalan, jawatan kereta api, pelabuhan, rumah sakit, sekolah dan segala kebutuhan infrastruktur yang sangat penting untuk melayani investor dan administrasi. Ketiga, impor untuk segala jenis barang yang dibutuhkan: mulai dari mesin, perkakas, baja dan berbagai tipe barang modal lainnya untuk orang Eropa dan barang-barang konsumsi mewah untuk penduduk kulit putih. Keempat, dan ini yang paling penting karena kegagalan di bidang ini akan membahayakan bidang lainnya (jika bukan menutup seluruh opsi itu), yakni pasukan, mesiu dan dana yang dibutuhkan untuk menciptakan Rust en Orde. Maka dengan kon- figurasi itu sempurnalah sebuah bentuk negara yang kita kenal dengan Hindia Belanda, suatu cikal bakal yang kelak menjadi ne- gara Indonesia! 57

56 Lihat Malcolm Caldwell dan Ernest Utrecht, Indonesia: An Alternative History , (Sydney: Alternative Publishing Co-operative Limited, 1976), terutama

Bab III. 57 Cara pandang kedua penulis dalam melihat sejarah Indonesia dengan

menghadapkannya pada pertumbuhan kapitalisme sangatlah menarik. Penulis menunjukkan bagaimana praktik pemerintah kolonial melalui berbagai eksperimen kebijakannya (mulai dari periode VOC, Daendels, Raffles, van Der Capellen, Cultuurstelsel, Ekonomi Liberal, Politik Etis, hingga ekonomi Orde Baru) adalah bagian dari pemantapan aktivitas ekonomi kapital (internasional), dan dalam konteks inilah negara Indonesia dibentuk (state formation). Berbagai kebijakan itu merupakan “previous accumulation” guna memberi jalan lempang bagi kapital masuk. Cara pandang ini mewarnai dalam setiap bab. Dalam konteks akselerasi dan akumulasi kapital yang difasilitasi oleh negara kolonial hingga

Ahmad Nashih Luthfi Satu tugas yang semestinya diemban oleh sebuah negara

ialah, kemampuannya menjadi provider, protector, dan liberator, bagi warga negaranya: massa rakyat. Cara mengujinya adalah dengan melihat pada siapakah yang paling diuntungkan dari kebijakan itu (beneficieries). Sayangnya, uraian di atas memberi- kan gambaran umum yang negatif. Tugas negara itu seperti jauh panggang dari api.

negara Orde Baru itulah, proses marjinalisasi dan ketercerabutan rakyat dari sumber-sumber produksi terjadi. Kekerasan kemanusiaan, persoalan HAM, kemiskinan, dan ketidakadilan menjadi sorotan penulis. Dengan itu, “Bukanlah komunisme yang radikal, tapi kapitalisme”, sebagaimana pernyataan Bertolt Brecht, menemukan kebenarannya. Cara pandang semacam itu sangatlah berbeda jika dibandingkan, misalnya, dengan perspektif sejarah nasional yang melihat terbentuknya Indonesia sebagai satu kekuatan gerak evolusi ke arah integrasi, sebagaimana yang diusung Sartono Kartodirdjo. Kekuatan gerak itu bisa berakar pada “kejayaan masa lalu” (sebagaimana dikemukakan M. Yamin) atau spirit apokaliptis, yakni suatu imajinasi tentang kegemilangan yang menjelang, seperti ideologi Ratu Adil.

Bab III Revolusi Hijau Di Asia Tenggara Dan Transformasi Agraria Indonesia

B terjadi pada paruh kedua abad XX, yakni Revolusi Hijau (Green

ab ini berusaha menguraikan gagasan yang melatarbelakangi satu proyek besar pembangunan pertanian-pedesaan yang

Revolution ) 1 . Bagian berikut akan melihat bagaimana proses gagasan ter- sebut di Asia Tenggara dan dalam konteks itu akan tampak ba- gaimana transisi dan transformasi agraria Indonesia terjadi. Jika “transisi” agraria hanya terkait dengan perubahan dari “tra- disional” ke “modern”, maka “transformasi” agraria adalah “peru- bahan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan”. Transformasi itu dapat menuju pada arah kapitalis, sosialis, dan neo-populis.