Ekonomi liberal, riset tentang penguasaan tanah dan pe- negasan prinsip “domein verklaring”
5. Ekonomi liberal, riset tentang penguasaan tanah dan pe- negasan prinsip “domein verklaring”
Di parlemen Belanda, terjadi pertarungan gagasan antara pihak konservatif dan liberal terkait pilihan keterlibatan pihak swasta di tanah jajahan. Apakah pihak swasta boleh ikut andil dalam melakukan aktivitas ekonomi di negara jajahan, ataukah mempertahankan sistem lama melalui cultuurstelsel sebagaimana yang dikehendaki oleh pihak pertama. Perdebatan dimenangkan pihak liberal dengan dikeluarkannya Regerings Regelmen (RR) 1854. Dalam pasal 62 disebutkan bahwa pemerintah diperbo- lehkan menyewakan tanah kepada swasta yang akan ditentukan melalui ordonansi.
Peraturan di atas mempunyai maksud ganda. Pertama, adanya pengakuan hak eigendom (milik mutlak) pada masyarakat. Dengan kepemilikan itu dimungkinkan dilakukannya transaksi sewa-menyewa dengan pihak luar (perusahaan swasta). Kedua, tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai milik pribadi statusnya menjadi tanah milik negara yang dapat disewakan kepada perusahaan swasta (hak erfpacht). Diusulkan oleh Gubenur Jenderal saat itu, van der Putte, bahwa penyewaan dapat dilakukan dalam jangka waktu 99 tahun. Usulan ini di- tolak bahkan oleh mitra liberalnya di parlemen. 42
Guna memuaskan kedua belah pihak, pemerintah memu- tuskan melakukan penelitian hak-hak atas tanah pada masya- rakat pribumi. Maka keluarlah Dekrit Pemerintah Hindia Timur No. 2 dan 34, Tahun 1867, yang berisi 26 pokok-pokok perma-
42 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan KPA, 2000), hal. 125-126.
Bandingkan, Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX”, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa , (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hal. 33-34.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria salahan yang perlu diteliti. Riset dilakukan di wilayah Jawa dan
Madura selain Jakarta, Kedu dan vorstenlanden. Penelitian berlangsung satu tahun (1868-1869), dan hasilnya terhimpun dalam 3 jilid yang terbit dalam waku yang berbeda. Hasil akhir penelitian ini diberi judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond (Resume Akhir Hasil Penelitian tentang Hak-hak atas tanah Masyarakat Pribumi), atau dikenal dengan Eindresume.
Di antara berbagai pertanyaan penting dalam survei adalah tentang hak pribumi atas berbagai kategori tanah, kepemilikan secara individual atau komunal, darimana sumber hak tersebut berasal, jaminan dalam mempertahankan hak, berlaku-tidaknya suatu hak, pemindahtanganan hak, yang kesemuanya ini mem- beri kaitan pada bentuk dan pemerintahan desa. 43
Secara singkat, penelitian itu menyoroti sistem tenurial dan tenurial security dan jejaring sosial yang terajut dari hubungan antara manusia dengan manusia yang berbasiskan pada sumber- sumber agraria (tanah). Hasil penelitian memberi potret kera-
gaman sistem tenurial yang ada. Kepemilikan baik komunal mau- pun individual ditemukan. Akan tetapi, hasil akhir dari riset itu hadir terlambat setelah kebijakan ekonomi liberal dikukuhkan melalui Agrarische Wet tahun 1870. Aturan ini diundangkan melalui Lembaran Negara (Staadsblad) No. 55 Tahun 1870, disusul dengan aturan No. 118, 1870, yang di dalamnya terdapat pernyataan domein verklaring, “bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, baik secara individual ataupun komunal, maka tanah itu menjadi domain/milik negara”. 44
Di satu sisi, terdapat kepastian hak kepemilikan tanah pada masyarakat pribumi, di sisi lain kebijakan itu membuka peluang investasi modal Barat bekerja di perkebunan swasta. Masyarakat tani menerima pemasukan dari biaya sewa perusahaan atas tanah
43 Uraian tentang hasil riset ini diringkas dari Hiroyoshi Kano, Ibid.
44 M. Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmu- ran Rakjat Indonesia (Yogyakarta: Pewarta, 2009), hal. 19.
Ahmad Nashih Luthfi mereka sekaligus mendapatkan keuntungan dengan mempe-
kerjakan diri di perusahaan itu sebagai buruh perkebunan. Pada komoditas tertentu, tebu misalnya, buruh bekerja di perkebunan dengan tetap menempati rumah asal mereka tinggal (desa). Berbeda dengan komoditas kopi yang mengharuskan mereka terpisah dari tempat tinggal semula dan menjadikan me- reka tinggal di huma-huma atau enclave di sekitar perkebunan yang dibuka. Dalam periode inilah dicatat perubahan status mereka yang semula petani menjadi buruh (from peasant to labor 45 ).
Dengan demikian, berakhirlah cultuurstelsel yang digantikan dengan sistem perkebunan swasta, yang kemunculannya sebe- narnya telah dimulai sebelum tahun 1870. Sampai dengan tahun 1860, dilihat dari segi tenaga kerja yang terserap, produksi, dan bidang tanah yang digunakan, perkebunan swasta itu kebera-
daannya cukup penting. 46 Tahun 1870 merupakan titik ekska- latif di mana semakin ekstraktifnya perekonomian Barat melalui liberalisasi perekonomian di Jawa.
Cultuurstelsel telah memberikan dasar-dasar bagi kontrol sosial dan tenaga kerja yang berarti bagi perkembangan perusahaan perkebunan. Dalam periode inilah kita melihat bahwa kebijakan pengelolaan dan penguasaan atas sumber- sumber agraria didasarkan pada pertimbangan politik, dan bukannya hasil riset, yang digerakkan kepentingan ekonomi liberal. Undang-undang Agraria tahun 1870 merupakan titik tolak sejarah pertanian Barat di Hindia Belanda. Dalam konteks ekonomi politik, peraturan itu menciptakan kondisi bagi akumulasi kapital dengan cara merongrong kontrol masyarakat atas sumber-sumber produksi.
Peraturan itu setidaknya memberi tiga arti penting. Pertama, memfasilitasi ambisi perusahaan untuk mentransformasikan organisasi produksi Hindia Belanda, dari sistem kontrol negara
45 W. F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change (Bandung: Sumur Bandung, 1964 [cetakan kedua]), hal. 80-81.
46 Vincent J. H. Houben, “Perkebunan-perkebunan Swasta di Jawa Abad ke- 19”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), op.cit., hal. 97-98.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria dengan cara menggunakan hirarki tradisional untuk proses
ekstraksi surplus, menuju sistem dimana perusahaan swasta dapat secara langsung melakukan pengambil-alihan (appropri- ation ). Kedua, kondisi semacam itu mengakibatkan bergantinya bentuk kontrol ekonomi ala Sistem Tanam menjadi kontrol eko- nomi yang bersifat kapitalis oligopolistik. Ketiga, transisi itu mencerminkan kuatnya penegasan kembali kontrol ekonomi dan politik perusahaan swasta. 47
Benar bahwa ekonomi liberal memberi dampak pada pening- katan populasi dan pengenalan ekonomi uang pada penduduk pribumi. Akan tetapi sedikit bukti yang menunjukkan bahwa pada masa ini standar hidup petani mengalami kenaikan. Inves- tasi modal dalam perkebunan-perkebunan besar di bawah sistem Barat tidak mengakibatkan perubahan mendasar struktur sosial masyarakat di Jawa. Boeke dengan tepat menggambarkan periode
itu sebagai “static expantion”. 48 Satu kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya.