Penelitian S. Dingley, The Peasant’s Movement in Indo- nesia
2. Penelitian S. Dingley, The Peasant’s Movement in Indo- nesia
Sumira Dingley adalah nama samaran Iwa Kusuma Su- mantri. Pada tahun 1927 ia menulis The Peasant’s Movement in Indonesia 28 . Bukunya berisi tentang perjuangan dan konflik pe-
tani melawan perusahaan perkebunan Eropa, beratnya beban pa- jak, pemilikan tanah yang luas dan para “raja-raja” lokal, aktivi- tas lintah darat Cina dan para haji, juga tentang petani tak ber-
26 George McTurnan Kahin, “Preface”, dalam Coolie Budget Commission, op.cit., hal. i
27 Lihat, Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 (Yogyakarta: KARSA, 2005).
28 S. Dingley, The Peasant’s Movement in Indonesia (Berlin: R.L. Prager, 1927). Iwa Kusuma Sumantri berasal dari Garut, Jawa Barat. Setelah menyelesaikan
studi hukum di Leiden, ia lalu melanjutkan ke Moskow pada tahun 1925. Penelitannya ini ditulis dalam bahasa Perancis yang disajikan untuk Organisasi Internasional Petani (Krestintern). Ia menuliskannya agar dapat menambah uang sakunya yang sangat kecil. Ketika Indonesia merdeka, Iwa Kusuma Sumantri menjadi Menteri Pendidikan dan Rektor Universitas Padjajaran, Bandung. Ben White, op.cit., hal. 111.
Ahmad Nashih Luthfi pendidikan yang tidak mengetahui hak-hak politiknya, dan
berbagai pengalaman organisasi tani. Sebagaimana yang disebutkan dalam Bab II terdahulu, se- jarah (pedesaan di) Indonesia adalah sejarah agraria, yaitu ten- tang bagaimana tanah sebagai ruang fisik, geografis, dan kemu- dian ruang sosial-kultural diatur, dikelola, dan dikuasai. Iwa Ku- suma Sumantri menegaskan hal itu. Ia melihat sejarah koloni- alisme di Indonesia sebagai sejarah agraria, dan berbagai perso- alan agraria yang ada di dalamnya, para aktor terutama petani melakukan pergerakan sebagai respons dari sistem penguasaan sumber-sumber agraria yang ada.
Ia menunjukkan berbagai perlawanan dalam sejarah Indone- sia sebagai sejarah pergerakan petani. 29 Dalam Bab I, ia menya-
jikan overview bahwa gerakan petani terkait dengan eksploitasi sumber-sumber agraria melalui sistem Barat maupun feodal.
S. Dingley menunjukkan bagaimana eksploitasi terhadap kaum petani Indonesia ini pada gilirannya memicu perlawanan yang diwujudkan dalam berbagai macam pemberontakan, perang, serangan-serangan individual atas para penindas. Berbagai eks- presi keagamaan dalam melakukan pergerakan tersebut seringkali terjadi. Ia mencontohkan perang Belanda melawan para pengu- asa kepulauan Maluku, Ternate dan Tidore, pada tahun 1618- 1619, dan pada tahun 1856-1858 adalah bentuk dari resistensi dan penolakan memproduksi rempah-rempah dan bahan maka- nan, karena Belanda membayar mereka dengan harga yang terla- lu murah. Resistensi dari para petani ini didukung oleh Raja (Sul- tan) Ternate dan Tidore sehingga Belanda menyatakan perang atas mereka.
Demikian juga pemberontakan petani di Minangkabau pada tahun 1822 hingga tahun 1841. Gerakan petani ini dalam historiografi Indonesia sering dikenal dengan “Perang Padri”, konflik budaya dan agama antara kelompok adat dan agama, tua
29 Uraian didasarkan pada naskah tersebut yang telah diterjemahkan dan belum dipublikasikan, S. Dingley, Gerakan Petani di Indonesia (Penerjemah:
Ruslani), tt., tt.
Melacak Sejarah Pemikiran Agraria dan muda. Namun Dingley menarasikannya sebagai pemberon-
takan petani yang mengeluhkan wajib kerja dan “Pajak Tanah” yang sebagian telah disalahgunakan oleh para pegawai kecil dan sesepuh desa. Peristiwa “Perang Jawa” tahun 1825-1830 di Yogyakarta yang dipimpin oleh Diponegoro dan Sentot Alibasjah Prawiradirdjo, pemberontakan petani di Cilegon 1888, pembe- rontakan di Aceh pada tahun 1893 dan 1906 dengan pemimpin- pemimpinnya seperti Toha Oemar, Tjoet Ali, dan Blang Pidi, memberi kesamaan narasi. Semua itu memiliki karakter pembe- rontakan yang muncul karena kondisi para petani yang sangat mengenaskan akibat eksploitasi dan ekstraksi atas sumber- sumber agraria yang mengalienasikan kehidupan petani setem- pat.
Pada Bab II, selain menggunakan data dari Statistical Abstracts of the Netherlands Indies, yang menarik adalah, Dingley mengutip brosur karya Wongso berjudul Kitab Tani. Brosur itu merupakan pamflet berbahasa Melayu untuk para petani. Dengan itulah Dingley menyajikan struktur penguasaan tanah dan berapa rata-rata tanah yang dikuasai oleh petani, yakni ku- rang dari satu bau. Analisis kelas yang dicirikan atas penguasaan tanah menjadi analisis yang cukup kuat dalam naskah tersebut.
Uraian tentang organisasi tani ada dalam Bab 3. Ia secara khusus membahas tentang aktifnya sarekat-sarekat tani yang ber- ada di bawah organisasi Partai Komunis Indonesia (suatu partai yang pertama kali menggunakan kata “Indonesia” sebagai nama organisasinya), yang dalam praktik di berbagai kota memiliki karakter yang berbeda-beda. Ia misalnya, menunjukkan sarekat yang ada di Solo di bawah kepemimpinan Haji Misbach. Orga- nisasi-organisasi tani yang hendak didirikan oleh pemerintah kolonial ia pandang dengan skeptis. Menurutnya,
“Kita lihat bahwa pemerintah Indonesia pada saat ini tengah memberikan tawaran yang serius untuk mendukung para petani. Oleh karenanya, adalah salah satu tugas terpenting dari setiap komunis militan untuk memasuki berbagai organisasi petani, dengan maksud untuk membongkar permainan dari para pemeras,
Ahmad Nashih Luthfi yang mengalienasi massa petani dari kaum proletariat, dengan
berpura-pura mendukung mereka.” 30
Dalam historiografi Indonesia, karya Iwa Kusuma Sumantri tersebut tidak dicatat sebagai salah satu tonggak dari apa yang disebut dengan “historiografi Indonesiasentris”. Jika jenis tulisan sejarah ini bercirikan “orang Indonesia sebagai aktor sejarah”, dan “bukan hanya kehidupan keraton-sentris, namun petani juga dapat ditulis dalam sejarah”, maka karya Iwa Kusuma Sumantri
memenuhi syarat-syarat itu. 31 Apakah historiografi Indonesia telah sejak awal bersikap diskriminatif terhadap teks-teks dengan tema gerakan agraria, ataukah disebabkan ia diproduksi oleh kelompok kiri Indonesia? Pada masa pergerakan pun, para intelektual progresif tidak menaruh perhatian pada isu kemis-
kinan pedesaan dan kondisi agraria. 32 Dua perkecualian dapat disebut di sini, yakni Iwa Kusuma Sumantri sebagaimana uraian di atas dan Soekarno dalam berbagai tulisannya, terutama ten- tang Marhaen dan Marhaenisme.